3.2.1 Mekanisme Kontrol
Sosial Internal
Yang dimaksud dengan kontrol sosial internal
adalah kontrol sosial di dalam diri seorang in- dividu. Yang menjadi pusat perhatian adalah ba- gaimana seorang individu mengontrol atau me- ngendalikan dirinya sendiri supaya tidak jatuh ke dalam perilaku-perilaku menyimpang.
Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Yang perta- ma adalah menjalankan proses internalisasi nilai dan norma secara baik dalam proses sosialisasi. Kamu sudah mempelajari berbagai macam agen atau pelaku dalam proses sosialisasi nilai dan nor- ma. Yang penting sekarang adalah bagaimana nilai dan norma yang disosialisasikan itu dapat benar- benar diinternalisasikan oleh seorang individu.
Proses internalisasi di sini dimaksud sebagai proses menjadikan nilai dan norma yang diajarkan se- bagai nilai dan norma milik sendiri. Nilai dan nor- ma tersebut menjadi bagian yang menentukan kualitas hidup sebagai individu.
Coba sekarang kamu menyebut satu contoh proses internasilasi nilai dan norma apa yang sekarang sedang kamu lakukan! Diskusikan hal ini dengan teman sebangku. Yang terpenting untuk di- ingat adalah bahwa internasilasi nilai dan norma itu sama artinya dengan proses membatinkan nilai dan norma. Artinya, kita belajar nilai dan norma tertentu, kita renungkan dan simpan dalam hati, setelah itu kita biarkan diri kita dibimbing dan diarahkan oleh nilai dan norma tersebut.
Ada keyakinan yang teguh dalam masyarakat bahwa nilai dan norma yang terinternalisasi dengan baik mampu mencegah seorang individu untuk berperilaku menyimpang. Internalisasi nilai dan norma memupuk kekuatan suara hati yang kemudian menjadi patokan tingkah laku. Pada akhirnya orang tidak mau berperilaku menyimpang bukan karena takut dilihat orang atau karena takut dihukum atau dipenjara, tetapi karena tahu bahwa perbuatan atau perilaku menyimpang itu adalah salah.
Seseorang memang tetap mempunyai kemung- kinan berperilaku menyimpang atau melanggar norma-norma tertentu. Tetapi, dengan norma yang sudah terinternalisasi ini seseorang akan merasa bahwa tindakan atau perilaku menyimpangnya telah merendahkan harga dirinya (self-respect)
sendiri sebagai manusia. Inilah mekanisme kontrol sosial dari dalam diri sendiri.
Satu contoh dapat dikemukakan di sini. Ari di- kenal sebagai seorang siswa SMP yang rajin, taat beragama, dan patuh pada orang tua, dan guru.
Suatu hari seorang temannya mengajak Ari untuk menonton film porno di rumah teman itu. Pada sa- at ini pasti suara hati Ari terus berbisik di dalam diri Ari supaya tidak mengikuti ajakan teman terse- but. Semakin temannya mengajak, semakin suara hati itu menjadi lebih kencang bersuara. Suara hati itu mengatakan, “Ari, jangan kamu nonton film tersebut.” Tetapi pada saat yang bersamaan mun- cul godaan dalam dirinya, “Nonton saja, tidak apa- apa, koq. Orang lain juga menonton, dan tidak ada apa-apa!”
Ini merupakan saat yang paling menegangkan untuk mengambil keputusan. Jika Ari sudah men- jadikan nilai dan norma yang diajarkan atau di- sosialisasikan kepadanya sebagai nilai dan norma pribadi (telah diinternalisasi), maka ada kemung- kinan dia mengikuti suara hatinya dan tidak meng- ikuti ajakan teman tersebut. Nilai dan norma yang sudah dibatinkan dan menjadi patokan hidup akan membimbing Ari untuk tidak berperilaku menyim- pang. Tetapi, jika suara hati Ari tidak kuat, dia bisa saja mengikuti ajakan temannya itu.
Nah, mengapa suara hati menjadi tidak kuat? Karena, proses sosialisasi nilai dan norma belum mencapai tahap internalisasi nilai dan norma. De- ngan kata lain, nilai dan norma yang dahulu dia- jarkan kepada Ari belum diterima sebagai nilai dan normanya sendiri.
Betapapun besarnya godaan, kalau nilai dan norma sosial terinternalisasi dan menjadi bagian dari hidup seseorang niscaya orang itu tidak akan mudah berperilaku menyimpang. Inilah orang yang memiliki perilaku sosial yang sejati atau otentik.
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa cara mengontrol atau mengendalikan diri sendiri supa- ya tidak jatuh ke dalam perilaku-perilaku menyim- pang, antara lain sebagai berikut.
Memperdalam pengetahuan agama.
Mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
Gambar 3.2.1
Seorang siswi mencontek. Suara hati anak ini tidak cukup kuat mengontrol perilakunya sehingga ia mencontek
pekerjaan temannya.
Ini beberapa cara yang dapat kamu lakukan untuk mencegah kamu melakukan perilaku me- nyimpang. Tentu saja masih ada banyak cara lagi. Kamu dapat menambahkannya sendiri.
3.2.2 Mekanisme Kontrol
Sosial Eksternal
Upaya mencegah terjadinya perilaku menyim- pang dapat dilakukan dari luar diri orang itu sen- diri. Dalam sosiologi upaya mencegah terjadinya perilaku menyimpang yang dilakukan dari luar diri seseorang disebut kontrol sosial dari luar (eksternal).
Untuk membantu pemahaman, bacalah kutipan tentang pencegahan HIV/AIDS berikut ini.
Mengembangkan bakat dan melibatkan diri dalam kegiatan positif.
Memiliki batas yang tegas dalam bergaul de- ngan teman.
Berani menolak ajakan teman untuk melakukan perilaku menyimpang. Jangan takut dicap “ti- dak gaul, banci, nggak macho, nggak modern, kuno, dan sebagainya”.
Kalau mempunyai masalah berbicaralah de- ngan orang tua, guru, atau carilah bantuan ahli.
Membaca buku-buku atau menonton acara- acara yang positif dan membuka wawasan yang baik.
Tidak mencoba-coba untuk melakukan perbu- atan yang menyimpang.
Pada kutipan di atas, dibahas mengenai masa- lah semakin cepatnya penularan virus HIV/AIDS di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah se- makin maraknya perilaku menyimpang di kalang- an masyarakat. Perilaku menyimpang itu antara lain penyalahgunaan narkoba dan perilaku seks bebas.
Kutipan tadi menyebutkan bahwa cara yang dipakai untuk meredam laju perkembangan HIV/ AIDS antara lain sebagai berikut.
Memotong peredaran narkoba dengan melibat- kan semua pihak: kepolisian, kejaksaan, dan berbagai lapisan masyarakat.
Menjalankan program mereduksi bahaya.
Merangkul para remaja dengan mengubah cara pendekatan pendidik dan orang tua terhadap anak-anak.
Melakukan penyuluhan-penyuluhan.
Para orang tua dianjurkan untuk membina ko- munikasi yang bersahabat dengan anak-anak.
Seperti dilaporkan Philippa Davie dari Tempo, di sekolah-sekolah ini pendidikan seks, penyuluhan tentang bahaya narkoba, serta ancaman AIDS bukan cuma menjadi menu diskusi sekali setahun. ‘Kami menyatukannya dalam kurikulum. Guru dari berbagai bidang bisa mengangkat subyek ini dalam pelajaran sehari-hari,’ kata Ellie Ruslim, Kepala Kon- selor di SMU Bina Nusantara, salah satu sekolah yang bergandeng tangan dengan Yakita dan Rotary Club. Agar lebih seru dan funky, murid-murid diminta membuat pertunjukan drama, esai, dan poster me- ngenai HIV.
Tentu saja, bersandar pada aktivitas sekolah saja masih jauh dari cukup. ‘Para orang tua sebaiknya membina komunikasi yang bersahabat dengan anak-anak,’ kata Baby Jim Aditya. Komunikasi yang bukan cuma meliputi percakapan normatif semisal ‘apa kabar?’ atau ‘apa cita-citamu, nak?’ ‘Anak-anak sebenarnya berharap punya orang tua yang terbu- ka, yang enak diajak ngobrol tentang keperawanan, seksualitas, juga tentang putaw,’ kata Baby. Jika wi- layah ini dijauhkan dari obrolan ruang keluarga, anak-anak akan mencari informasi dari dunia luar, dari teman, VCD, atau majalah porno yang justru berisiko.
Mudah-mudahan, Baby melanjutkan, peran aktif guru dan orang tua bisa menumbuhkan generasi yang kuat. Generasi yang paham bagaimana mem- bentengi diri dari ancaman HIV/AIDS.”
Sumber: Tempo, 12 Desember 2004, hlm. 72. “... Indonesia memiliki rantai penularan yang
lengkap: seks, perilaku yang abai, dan pecandu nar- koba dengan jarum suntik yang sembrono. Saat ini diperkirakan 90-130 ribu orang yang mengidap HIV di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyatakan Indonesia, bersama Nepal, Cina, dan Vietnam, sebagai negara dengan pertumbuhan kasus HIV/AIDS tercepat di dunia. Bukan mustahil, jutaan kasus HIV positif bakal muncul di wilayah yang padat populasi ini beberapa tahun mendatang. Lalu, tak adakah yang bisa kita perbuat demi me- redam laju HIV? ‘Tentu saja ada,’ kata Prof. dr. Zubairi Djoerban, Ketua Harian Kelompok Studi Khusus HIV/AIDS Universitas Indonesia. ‘Peredaran putaw dan heroin harus segera dipotong dengan serius,’ kata Zubairi. ... langkah ini mutlak menuntut kerja keras yang melibatkan semua pihak: kepolisian, kejaksaan, dan berbagai lapisan masyarakat.
Program mereduksi atau mengurangi bahaya ju- ga tidak bisa dilupakan.
Langkah lain yang juga harus digeber adalah me- rangkul remaja. Selama ini, pendekatan kaku para pendidik dan orang tua justru membuat para remaja mencari jalan keluar. Remaja pun terdorong pergi ke jalanan, terlibat narkoba, terjerumus seks bebas, dan akhirnya menuai HIV.
Beberapa organisasi sudah mulai melirik remaja sebagai target rangkulan program. Yayasan Per- mata Hati Kita (Yakita) dan Jakarta Sentral Rotary Club, misalnya, menjalin kerja sama dengan berbagai sekolah di Jabotabek.
Dari sini kita bisa melihat bahwa kontrol sosial dari luar ini bisa dilakukan baik secara informal maupun secara formal. Secara informal maksudnya kontrol sosial diberikan oleh orang-orang yang hi- dup bersama dalam keseharian, yaitu keluarga. Sementara secara formal diberikan oleh negara atau masyarakat.
A. Mekanisme kontrol sosial
informal
Mekanisme kontrol sosial informal adalah tugas dari kelompok sosial primer. Yang dimaksud dengan kelompok sosial primer adalah kelompok sosial uta- ma atau kelompok sosial tempat kita hidup setiap hari. Termasuk dalam kelompok ini adalah keluarga dan orang terdekat kita.
Apa yang dapat dilakukan keluarga untuk men- cegah penyimpangan sosial atau perilaku menyim- pang? Yang dapat dilakukan keluarga antara lain sebagai berikut.
Menanamkan keimanan yang kuat dan menda- lam kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh keluarga.
Menanamkan pendidikan budi pekerti yang ba- ik sejak anak masih kecil.
Membangun komunikasi yang bersahabat an- tara semua penghuni rumah.
Menyempatkan waktu untuk berkumpul ber- sama seluruh keluarga setiap hari sekadar me- lepaskan kerinduan satu sama lain.
Saling mengingatkan kalau ada yang berbuat salah.
Orang tua memberi contoh berperilaku yang baik, menjadi teladan, dan orang istimewa bagi anak-anak.
Memberikan perhatian yang cukup kepada se- mua anak dan tidak pilih kasih.
B. Mekanisme kontrol sosial formal
Untuk mengontrol atau mengendalikan pe- nyimpangan sosial sering kontrol sosial yang di- lakukan oleh kelompok sosial primer tidak efektif. Oleh karena itu diperlukan upaya kontrol sosial yang dilakukan secara formal oleh lembaga-lemba- ga sosial tertentu yang memang ditugaskan untuk menjalankan peran kontrol sosial.
Setiap masyarakat menciptakan organisasi dan posisi-posisi yang diisi oleh orang-orang yang tugasnya menjalankan kontrol sosial. Posisi-posisi dan organisasi sosial ini meliputi polisi, hakim, jak- sa, pembela, petugas penjara (sipir), legislator, gu- ru, agamawan, dokter, psikiater, dan sebagainya.
Upaya pencegahan penyimpangan sosial di ma- syarakat dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
Merencanakan dan melaksanakan program- program sosial yang melibatkan para remaja, orang tua, organisasi wanita/pemuda/agama/ profesi untuk meningkatkan kualitas hidup ma- syarakat/lingkungan. Misalnya merencanakan dan melaksanakan program kali bersih.
Membantu usaha-usaha penegakan hukum. Mi- salnya melakukan siskamling atau melaporkan kepada pihak yang berwajib bila di lingkung- annya terjadi tindak kejahatan.
Mengadakan penyuluhan-penyuluhan. Misal- nya, kerja sama antara SMU Bina Nusantara dengan Yakita dan Rotary Club melakukan pe- nyuluhan tentang pendidikan seks, bahaya narkoba, serta ancaman AIDS.
Melakukan tindakan penegakan hukum bagi para pelaku penyimpangan sosial. Misalnya, penegak hukum menangkap, mengadili, dan menghukum orang yang melakukan korupsi. Mari kita perhatikan contoh kontrol sosial yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum berikut ini.
Gambar 3.2.2
Baby Jim Aditya aktif melakukan penyuluhan HIV/AIDS di berbagai kalangan.Penyuluhan adalah salah satu cara
mencegah perilaku menyimpang.
Sumber:
Majalah T
empo, 16-12 Desember 2004
Gambar 3.2.3
Pendampingan, pengajaran, dan pembiasaan nilai dan norma yang dilakukan orangtua kepada anak-anaknya di
rumah akan memudahkan orangtua mengendalikan dan mengontrol perilaku anak-anak mereka.
3.2.3 Sikap Terhadap Pelaku
Penyimpangan Sosial
Bagaimanakah kita harus bersikap terhadap para pelaku penyimpangan sosial? Ada dua sikap yang ditunjukkan orang terhadap pelaku penyim- pangan sosial, yaitu sikap yang negatif dan sikap yang positif. Supaya lebih jelas, mari kita perhati- kan kisah Sulasih berikut ini.
A. Sikap negatif
Pada umumnya, sikap pertama yang ditunjuk- kan masyarakat adalah sikap negatif. Dalam kisah Sulasih di atas, sikap negatif yang muncul adalah: “disembunyikan” oleh seorang camat, dianggap sebagai orang berdosa yang mendapat hukuman dari Tuhan (HIV/AIDS dianggap sebagai laknat Tuhan), dan diusir dari kampung halamannya.
Ada banyak sikap negatif yang ditunjukkan masyakarat terhadap orang dengan perilaku me- nyimpang. Sikap negatif itu antara lain:
tidak peduli sama sekali terhadap orang yang mempunyai perilaku menyimpang;
tidak mau bergaul dengan orang yang mempu- nyai perilaku menyimpang;
marah terhadap orang yang mempunyai peri- laku menyimpang;
main hakim sendiri terhadap orang yang perila- kunya menyimpang;
mengusir orang yang perilakunya menyim- pang dari lingkungan masyarakat;
Suatu kejahatan yang terjadi dalam masyara- kat dapat dilaporkan kepada polisi sebagai penjaga ketentraman masyarakat. Sebagai pe- negak hukum, polisi pertama-tama menyelidiki perilaku penyimpangan sosial tersebut. Jika di- temukan bukti-bukti yang mencukupi me- ngenai adanya pelanggaran norma hukum ter- tentu, polisi segera melimpahkan suatu perkara kepada pihak kejaksaan untuk kemudian dipro- ses lebih lanjut di pengadilan.
Dalam proses pengadilan tersebut seorang ter- dakwa dapat didampingi oleh seorang penga- cara. Jika kemudian diputuskan oleh hakim di Pengadilan Negeri bahwa orang itu memang bersalah maka orang tersebut dapat dibawa ke penjara.
Di lembaga pemasyarakatan inilah sipir kemu- dian menjalankan peran kontrol sosial untuk memastikan bahwa tahanan menaati seluruh nilai dan norma yang berlaku dalam penjara tersebut. Narapidana akan disosialisasi kem- bali dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi kembali semacam inilah seorang tahanan disi- apkan diri untuk dapat kembali ke masyarakat dan hidup “normal” seperti sedia kala. Dapatkah kamu menjelaskan mengapa guru bi- sa memainkan peran kontrol sosial secara formal? Bagaimana dengan legislator dan agamawan? Co- ba berikan beberapa contoh.