memerdekakan diri dari penjajahan pada tahun 1945.
B. Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
a. Pengertian tanam paksa atau cultuur-
stelsel
Mulai tahun 1830, pemerintah Belanda mene- rapkan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel).Dengan sistem ini, rakyat dipaksa menanam tanaman-ta- naman tertentu yang sangat laku di pasaran Ero- pa. Tanam-tanaman yang wajib ditanam antara lain cengkeh, kopi, lada, dan tembakau. Ciri utama Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk ba- rang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka.
b. Alasan pengadaan Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda antara lain, karena alasan-alasan berikut.
Kas negara yang kosong akibat besarnya dana yang dipakai untuk membiayai Perang Dipo- negoro dan pemberontakan di Belgia.
Memburuknya keadaan di tanah jajahan.
Utang VOC yang harus ditanggung oleh peme- rintah Belanda.
Pemasukan uang sewa tanah atau cara-cara lain tidak banyak memberikan hasil.
c. Tujuan tanam paksa
Sistem Tanam Paksa ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk memasukkan uang ke kas negara. Tujuannya agar utang dapat dibayar dan keperluan pemerintah Belanda termasuk biaya perang dapat dicukupi. Cara yang ditempuh ada- lah memaksa penduduk menanami sebagian ta- nahnya dengan tanaman-tanaman yang laku di Eropa.
d. Gagasan dan pelaksanaan tanam paksa
Gagasan Sistem Tanam Paksa diajukan oleh Gu- bernur Jenderal Johannes van den Bosch. Sistem tanam paksa merupakan gabungan dari sistem VOC di Parahyangan dengan sistem pajak tanah.
Menurut peraturan yang dibuat pemerintah Belanda, Sistem Tanam Paksa dilakukan sebagai berikut.
Penduduk desa diwajibkan menyediakan se- perlima dari tanahnya untuk ditanami tanam- an yang ditetapkan pemerintah Belanda.
Hasil tanaman dijual kepada pemerintah Belan- da dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Tanah yang disediakan untuk penanaman di- bebaskan dari pembayaran pajak tanah.
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam ta- naman perdagangan tidak boleh melebihi pe- kerjaan yang diperlukan untuk menanam padi (± 60 hari).
Yang bukan petani harus bekerja 66 hari dalam setahun di kebun-kebun milik pemerintah.
Kegagalan panen kalau bukan karena kesalah- an petani menjadi tanggung jawab pemerintah.
Penanaman dan penggarapannya di bawah pe- ngawasan langsung penduduk pribumi.
Gambar 2.1.1
Johannes van den Bosch, pencetus gagasan Tanam Paksa.
Sumber:
Sistem Tanam Paksa dilaksanakan di Pulau Ja- wa, karena:
daerahnya sudah terbuka;
struktur pemerintah feodal memudahkan pe- laksanaannya;
tanahnya subur;
tenaga kerjanya cukup.
Melihat aturan tersebut, sebenarnya prinsip Sistem Tanam Paksa tidak terlalu memberatkan. Akan tetapi, dalam praktiknya banyak sekali pe- nyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan itu- lah yang memberatkan rakyat. Contoh penyim- pangan dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini, adalah sebagai berikut.
Tanah yang digunakan untuk tanam paksa da- lam praktiknya melebihi seperlima, malahan ada yang sampai setengahnya.
Tanah yang ditanami tanaman yang ditentu- kan pemerintah ternyata masih dikenai pajak.
Tanah yang dipilih pada umumnya subur, se- dangkan yang tidak subur untuk keperluan rak- yat.
Lamanya bekerja melebihi waktu yang diten- tukan, sehingga waktu kerja yang diperlukan rakyat untuk mencukupi keperluan keluarga semakin berkurang.
Panen yang gagal, walaupun bukan karena ke- salahan rakyat, pada praktiknya menjadi tang- gungan rakyat.
Adanya sistem cultuurprocenten (hadiah) kepada pegawai pemerintah, bupati, dan kepala desa yang berhasil mencapai atau melampaui tar- get produksi yang dibebankan kepada tiap-tiap desa. Hal ini sangat membebani rakyat.
e. Akibat Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa ternyata menimbulkan masalah. Berikut ini adalah beberapa akibat di- terapkannya sistem tanam paksa.
Rakyat Indonesia mengalami kemiskinan, kela- paran, dan kematian.
Tanah-tanah pertanian rusak karena dipergu- nakan untuk menanam tanaman yang berbeda dengan kebiasaan.
Tanah pertanian terlantar akibat kurangnya waktu untuk mengerjakan tanah.
Adanya perubahan dalam pelapisan sosial ma- syarakat di Jawa.
Ekonomi “uang” mulai meresapi penduduk di wilayah-wilayah pedesaan.
Munculnya pekerja upahan.
Munculnya sistem penyewaan tanah kepada pengusaha Barat.
f. Kritik terhadap sistem Tanam Paksa
Perubahan peta politik terjadi di negeri Belanda di pertengahan abad ke-20. Partai liberal meme- nangi pemilihan umum, sehingga ide-ide liberal- isme yang dipengaruhi gerakan liberalisme Peran- cis ikut mewarnai pentas politik di Belanda. Ajaran liberalisme di bidang ekonomi menegaskan bahwa kegiatan perekonomian harus dijalankan tanpa adanya campur tangan negara. Sementara kebijak- an tanam paksa di Indonesia adalah kebijakan eko- nomi yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemerin- tah, dalam hal ini adalah Gubernur Jenderal J.B. van den Bosch. Karena itu, pandangan politik ka- um liberali yang sedang berkuasa langsung ber- singgungan dengan praktik tanam paksa di Hindia Belanda. Kaum liberal menghendaki agar sistem Tanam Paksa dihapus. Beberapa tokoh kaum li- beral yang menghendaki penghapusan sistem tanam paksa antara lain Fransen van der Putte, de Waal, dan Thorbecke.
Selain golongan liberal, pada masa ini juga muncul kaum humanis yang ikut mendesak peng- hapusan sistem tanam paksa. Kaum humanis ber- pendapat bahwa sistem Tanam Paksa yang dilak- sanakan pemerintah Belanda di Indonesia harus dihapus karena tidak manusiawi dan menimbul- kan banyak penderitaan. Beberapa tokoh humanis yang memperjuangkan penghapusan sistem tanam paksa adalah Baron van Hoevel dan Eduard Dou- wes Dekker.
Gambar 2.1.2
Eduard Douwes Dekker, tokoh humanis Belanda yang membela rakyat Indonesia berkenaan dengan dilakukannya
tanam paksa (kiri) dan buku Max Havelaar, karangan Eduard Douwes Dekker menceritakan penderitaan rakyat
Indonesia akibat tanam paksa.
Melalui pidato-pidatonya, Baron van Hoevel membela rakyat Indonesia di depan DPR Neder- land. Sementara Eduard Douwes Dekker, bekas Re- siden di Lebak-Rangkasbitung, Serang, dan Banten berpendapat bahwa sistem tanam paksa harus di- hapus karena menimbulkan penderitaan bagi rak- yat. Douwes Dekker melihat sendiri penderitaan rakyat karena dibebani berbagai pajak dan kerja paksa. Karena dianggap membela rakyat, ia diberhentikan dari jabatannya. Setelah kembali ke
Sumber:
negeri Belanda, Douwes Dekker menulis buku yang berjudul Max Havelaar. Ia memakai nama samaran
Moeltatoeli (saya telah banyak menderita). Buku ini menceritakan kesengsaraan rakyat Indonesia kare- na Cultuurstelsel, khususnya pemaksaan menanam kopi yang hanya menguntungkan pihak Belanda, sehingga sistem tersebut harus segera diakhiri. Setelah rakyat Belanda membaca buku ini, mereka merasa ditipu oleh pemerintah. Banyak rakyat Belanda yang mengecam politik Tanam Paksa.
Berkat perjuangan kaum liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit Cultuurstelsel diha- puskan. Tahun 1870 dapat dianggap sebagai batas akhir Cultuurstelsel. Dengan berakhirnya Cultuurstel- sel, dilaksanakanlah politik kolonial liberal.