• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Ahmad

Dalam dokumen Untuk SMPMTs Kelas VIII (Halaman 195-198)

saikan pekerjaan rumah tangga di pagi hari. Ibu menyiapkan hidangan untuk sarapan sekaligus hidangan untuk makan siang. Ayah mencuci pakaian dibantu Ahmad. Fajar membersihkan rumah mungil mereka, menyapu, dan mengepel lantai. Ayah dan ibu Ahmad memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga. Mereka bertekad untuk mendidik Ahmad dan Fajar menjadi pribadi yang mandiri. Ahmad dan Fajar tidak memprotes keputus- an itu karena mereka selalu diberi pengertian, diajak musyawarah, dan lebih-lebih diberi teladan oleh orang tua mereka.

Dengan pembagian tugas, pekerjaan rumah tangga cepat selesai. Keluarga bisa sarapan ber- sama, Ahmad serta Fajar tidak terlambat berangkat sekolah, demikian juga ayah dan ibu tidak terlam- bat berangkat kerja. Pukul 06.30 biasanya keluarga Ahmad telah siap sarapan pagi bersama.

“Ahmad berangkat sekolah, Yah! Ahmad berang- kat sekolah, Bu!” pamit Ahmad sambil mencium ta- ngan ayah dan ibunya setiap berangkat ke sekolah. Tiap hari Ahmad bersepeda ke sekolahnya. Ahmad lebih senang bersepeda karena jalan-jalan di kota kecilnya belum begitu ramai dengan kendaraan ber- motor. Ahmad tidak sendirian bersepeda ke sekolah, teman-temannya dari SMP Negeri 5 seperti Andre, Dadang, Ipam, Naga, Nyoman, Maya, Inez, Putri, dan Nike juga bersepeda. Ahmad belum pernah mengalami kecelakaan di jalan karena ia selalu hati- hati. Ia selalu ingat pesan ibunya untuk tidak ter- gesa-gesa bersepeda, berjalan di sebelah kiri, dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Ahmad tidak pernah terlambat masuk sekolah. Ia bersepeda sekitar sepuluh menit dari rumahnya. Padahal hampir semua temannya pernah harus me- lapor guru piket dan menunggu di luar kelas sampai pelajaran pertama selesai gara-gara terlambat da- tang di sekolah. Bahkan beberapa temannya pernah diberi sanksi karena telah beberapa kali terlambat datang ke sekolah. Selain itu, orang tua mereka juga dipanggil ke sekolah. “Beruntunglah aku punya orang tua yang selalu mengarahkan aku sehingga aku tidak pernah terlambat,” batin Ahmad setiap kali ada temannya yang terpaksa menunggu di luar kelas atau dihukum karena terlambat.

Memang keluarga Ahmad dikenal sebagai kelu- arga muslim yang taat beribadah. Selain salat subuh, keluarga Ahmad juga melakukan salat magrib dan isya’ berjamaah. Ayah, ibu, Fajar, dan Ahmad sen- diri dikenal warga sebagai pribadi yang ramah, san- tun, dan berbudi pekerti luhur. Tidak heran keluarga Ahmad menjadi panutan keluarga-keluarga di kam- pungnya.

Diskusikan dalam sebuah kelompok kecil!

1. Kebiasaan apa saja yang dilakukan keluarga Ah- mad di pagi hari?

2. Bagaimana pandangan tetangga-tetangga se- kitar tentang keluarga Ahmad? Mengapa keluar- ga Ahmad dijadikan panutan?

3. Mengapa orang tua Ahmad tidak mempeker- jakan seorang pembantu rumah tangga? Apakah Ahmad dan Fajar keberatan dengan keputusan orang tua mereka? Mengapa?

4. Dapatkah kamu menyebutkan salah satu aturan yang diterapkan di sekolah Ahmad? Apa sanksi terhadap pelanggaran aturan itu?

5. Menurutmu apa saja fungsi sebuah keluarga ba- gimu?

1. Ahmad menjalankan “peraturan” keluarga- nya. Bersama seluruh anggota keluarga Ahmad menjalankan tugas di pagi hari yang telah di- tentukan keluarganya. Meskipun tidak tertulis, dari cerita tersebut kita bisa mengatakan salah satu “peraturan” dalam keluarga Ahmad ber- bunyi “setiap anggota menjalankan tugas yang telah ditentukan bersama.”

Coba bandingkan dengan “peraturan” yang ada di rumahmu sendiri. Pasti masing-masing kamu memilikinya. Apa “peraturan” yang ha- rus kamu lakukan ketika bangun pagi atau se- belum tidur? Coba beritahu teman-temanmu peraturan atau ketentuan tersebut!

2. Ahmad menjalankan “peraturan” agama yang dianutnya. Pasti kamu langsung bisa menebak bahwa keluarga Ahmad adalah keluarga mus- lim. Sebagai seorang muslim Ahmad menjalan- kan tata cara yang telah digariskan oleh agama- nya. Yang terlihat dalam cerita di atas adalah tata cara bagaimana berdoa/salat. Salah satu- nya sebelum salat, seseorang harus menyuci- kan diri atau wudhu terlebih dahulu.

3. Ahmad mematuhi “peraturan” berlalu lintas. Sebagai pengguna jalan raya, Ahmad mema- tuhi “aturan main” berlalu lintas. Misalnya, ia bersepeda di lajur sebelah kiri. Supaya tidak mengalami kecelakaan, Ahmad juga mematuhi nasihat ibunya untuk berhati-hati di jalan. 4. Ahmad mematuhi “peraturan” di sekolahnya.

Tiap sekolah tentu memiliki aturan, misalnya tentang waktu atau jam belajar. Biasanya su- dah ditentukan jam berapa proses belajar di- mulai. Para siswa diharuskan tidak terlambat sampai ke sekolah. Setiap sekolah punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah siswa yang terlambat datang. Di sekolah Ah-mad misalnya, siswa yang terlambat diharus-kan melapor ke guru piket dan menunggu sampai pelajaran pertama selesai. Bila bebera-pa kali telat diberi peringatan dan orang tua siswa dipanggil ke sekolah.

Dari cerita singkat dan pembahasan di atas kita bisa mengatakan bahwa ada banyak kelompok so- sial dengan “peraturan” sendiri-sendiri. Seorang individu bisa menjadi anggota dari beberapa ke- lompok sosial dan harus mematuhi “peraturan” kelompok-kelompok sosial tersebut. Dalam cerita di atas, Ahmad adalah anggota dari kelompok so- sial keluarga, masyarakat, agama, dan sekolah. Tampak Ahmad harus mematuhi “peraturan” keluarga, agama, lalu lintas, dan sekolah. Tentu ka- mu juga menjadi anggota dari beberapa kelompok sosial, bukan? Apa saja kelompok sosial itu dan apa saja “peraturan” yang ada?

Ada kalanya peraturan kelompok sosial yang satu selaras dengan peraturan kelompok sosial lainnya. Misalnya, dalam keluarga Ahmad diten- tukan bahwa anggota keluarga melakukan salat subuh berjamaah. Apa yang ditentukan keluarga Ahmad tersebut selaras dengan anjuran agama Is- lam untuk salat berjamaah. Namun, ada kalanya ada gesekan atau pertentangan antara aturan ma- in kelompok sosial yang satu dengan kelompok so- sial yang lain.

“Peraturan” suatu kelompok sosial selalu berkembang menjawab kebutuhan kelompoknya. Ketika sebuah keluarga hanya terdiri dari suami dan istri dan belum ada anak-anak, maka “per- aturan” keluarga tersebut sebatas mengatur kebu- tuhan suami dan istri. Namun ketika sudah ada anak-anak, peraturan berkembang. Keluarga terse- but mulai membuat “peraturan” yang memasuk- kan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka. Peran suami yang semula hanya sebagai pasangan seorang istri bertambah menjadi seorang ayah da- ri anak-anaknya. Demikian juga istri, ia sekaligus berperan sebagai pendamping suami dan ibu dari anak-anaknya. “Peraturan” baru yang mengatur hubungan sosial antara suami (ayah), istri (ibu), dan anak akan membantu pemenuhan kebutuhan masing-masing anggota keluarga itu.

Biasanya “peraturan” yang dinilai baik oleh anggota kelompok dipertahankan. “Peraturan” yang dinilai kurang memuaskan diubah, disempur- nakan, atau bahkan dibuang. “Peraturan-peratur- an” yang ada menjadi patokan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dari kebiasaan itu muncul pola perilaku yang terlembaga. Maksudnya, ada pola perilaku yang ditetapkan secara resmi dan berlaku umum. Yang bertugas menetapkan pola perilaku supaya berlaku umum adalah masyara- kat sendiri, yakni kelompok sosial.

“Peraturan-peraturan,” yang dianggap baik oleh anggota kelompok sosialnya tersebut diwaris- kan kepada generasi berikutnya. Lama-kelamaan

Gambar 6.2.1

Keluarga Ahmad melakukan salat berjamaah sesuai dengan anjuran dalam agama Islam.

dok.

“peraturan-peraturan” begitu menyatu dengan kelompok sosial yang memilikinya. Dapat diumpa- makan bahwa “peraturan atau ketentuan” menjadi roh atau jiwa dan lembaga menjadi bentuk fisik suatu kelompok sosial.

Apa yang telah kita bahas sampai saat ini da- lam sosiologi dikenal dengan istilah pranata sosial.

Ada banyak pranata sosial yang harus kita patuhi dalam hidup ini. Dalam bahasan lebih lanjut kita akan mengulas secara umum apa itu pranata sosial, kemudian akan dibahas juga bentuk-bentuk dan fungsi pranata sosial yang mendasar.

6.2.1 Pengertian Pranata

Sosial

Coba carilah dalam kamus Bahasa Indonesia arti kata lembaga, institusi, dan pranata! Dalam kamus sering ketiga kata tersebut saling menjadi padanan atau makna dari kata yang lain. Meskipun begitu, dalam pembicaraan sehari-hari muncul kesan spontan bahwa kata lembaga dan institusi berarti or- ganisasi atau asosiasi. Misalnya kita mengenal ada lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendi- dikan, lembaga kesehatan, institusi sosial, dan se- bagainya. Sementara pranata lebih mengarah ke seperangkat aturan atau norma. Misalnya pranata agama, pranata adat, dan sebagainya. Benarkah kesan itu?

Ketiga kata di atas, lembaga, institusi, dan pra- nata, sebenarnya ingin menerjemahkan kata social institution. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soe- mardi menerjemahkan social institution dengan kata “lembaga kemasyarakatan.” Sementara Koentjara- ningrat, Mely G. Tan, dan Harsja W. Bachtiar me- nerjemahkan kata social institution dengan istilah “pranata” (Lihat Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fa- kultas Ekonomi Universitas Indonesia. hlm. 55). Je- laslah sekarang, dalam pengertian sosiologi kata

pranata, institusi, dan lembaga sosial dapat disejajarkan. Ketiga kata ini (dalam pembahasan selanjutnya akan disebut pranata sosial) berbeda artinya dengan organisasi atau asosiasi. Perbedaan kedua hal ini akan kita bahas setelah kita membahas mak-na pranata sosial.

Apa sebenarnya pengertian pranata atau insti- tusi sosial itu? Sejumlah ahli mencoba memberikan definisi pranata sosial, di antaranya sebagai beri- kut.

1. Menurut Robert MacIver dan C.H. Page prana- ta sosial adalah prosedur atau tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antarmanusia yang tergabung dalam suatu kelompok masyarakat.

Cerita di atas dapat dipakai untuk mema- hami definisi ini. Dalam keluarga Ahmad ter- dapat tata cara yang diciptakan secara sengaja untuk mengatur hubungan antaranggota kelu- arga. Dalam praktiknya, tata cara ini akan men- jadi panduan bertingkah laku. Demikian pula dengan tata cara yang diciptakan untuk me- ngatur ketertiban lalu lintas, ketertiban di se- kolah, di masyarakat, dan sebagainya. Jadi, sekali lagi harus diingat, bahwa tata cara atau aturan dibuat secara sengaja untuk mengatur hubungan antaranggota suatu kelompok sosial. 2. Menurut Leopold Von Wiese dan Becker pra- nata sosial adalah jaringan proses hubungan antar- manusia dan antarkelompok yang berfungsi memelihara hubungan itu serta pola-polanya sesuai dengan minat dan kepentingan individu dan kelompoknya.

Sebagai mahkluk sosial, manusia harus hidup berdampingan dan bersama dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama itu sa- ngat diperlukan peraturan. Nah, peraturan inilah yang mengatur bagaimana kepentingan masing-masing individu tidak saling berten- tangan. Peraturan juga akan menjamin kelang- gengan atau keberlangsungan hidup bersama. Berdasarkan definisi ini, hubungan atau interaksi sosial dalam sebuah kelompok sosial diatur oleh peraturan. Nah, peraturan yang mengatur bagaimana individu berinteraksi dengan kelompok sosialnya atau kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial lainnya menunjukkan adanya jaringan proses hubungan.

3. Menurut Bruce J. Cohen, pranata sosial adalah sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat.

Di sini Cohen menekankan salah satu aspek yang juga penting dari pranata sosial, yakni sifat permanen. Ini mau menegaskan bahwa pranata sosial diadakan atau diciptakan manu- sia untuk waktu yang relatif lama. Masyarakat

Gambar 6.2.2

Pengendara motor tidak mengikuti aturan main lalu lintas, dan berhenti di zebra cross.

Sumber:

atau suatu kelompok sosial akan menjadi ter- ganggu dan cenderung tidak stabil kalau prana- ta sosial berubah terlalu cepat.

4. MenurutKoentjaraningrat, pranata sosial ada- lah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas untuk memenuhi kompleks ke- butuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.

Di sini tampak yang lebih ditonjolkan adalah pranata ekonomi. Manusia memiliki kebutuhan hidup yang tidak terbatas, sementara sumber daya alam yang tersedia untuk memenuhi ke- butuhan itu bersifat terbatas. Karena itu, perlu ada pranata sosial yang mengatur dan menge- lola sumber daya alam tersebut. Inilah pranata ekonomi. Pranata ini yang nantinya akan mengatur aktivitas dan hubungan antarma- nusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, Perusahaan Air Minum (PAM) ada- lah sebuah pranata ekonomi. Tugas utama dari PAM adalah mengolah air (sumber daya alam) menjadi air yang bersih, sehat, dan layak di- gunakan. PAM kemudian menjual air tersebut kepada masyarakat.

5. Menurut Soerjono Soekanto pranata sosial adalah himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu pokok di dalam kehidupan masyara- kat. Di sini Soerjono Soekanto berusaha merang- kum seluruh pranata sosial yang ada dalam satu definisi saja.

Dari beberapa definisi di atas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang pranata sosial, anta- ra lain sebagai berikut.



Pranata sosial berisikan seperangkat norma yang yang saling berkaitan, saling bergantung, dan saling memengaruhi. Seperti yang ditun- jukkan dalam cerita di atas. Pranata sosial ke- luarga mengajarkan nilai dan norma tertentu kepada Ahmad yang ternyata juga sejalan de- ngan apa yang akan diajarkan pranata pendi- dikan, politik, dan sebagainya.



Pranata sosial dibentuk, dipertahankan, dan diubah untuk memenuhi kebutuhan hidup ter- tentu. Di sini pranata sosial dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan karena banyak- nya kebutuhan yang harus dipenuhi.



Pranata sosial membentuk pola-pola perilaku

Dalam dokumen Untuk SMPMTs Kelas VIII (Halaman 195-198)