• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN BERMULA DENGAN KEMATIAN

Dalam dokumen Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang 28 (Halaman 150-155)

kejahatan Dia yang menaklukkan roh-roh jahat selama pelayanan-Nya di atas dunia telah menghancurkan kuasa roh-roh itu serta memastikan

KEHIDUPAN BERMULA DENGAN KEMATIAN

Mungkin prinsip yang paling mendasar dan unik tentang kehidupan Kristiani adalah bahwa kehidupan Kristiani itu dimulai de- ngan kematian—sesungguhnya, dengan dua peristiwa kematian. Pertama, kematian Kris- tus di salib memungkinkan adanya kehidup- an baru kita—yang bebas dari kekuasaan Se- tan (Kol. 1:13, 14), bebas dari penghukum- an karena dosa (Rm. 8:1), bebas dari kema- tian sebagai hukuman dosa (Rm. 6:23)—dan kematian itu membawa pendamaian dengan Allah dan manusia. Kedua, kematian diri me- mungkinkan kita menerima kehidupan yang Kristus tawarkan. Ketiga, sebagai hasilnya, kita berjalan dalam kebaruan hidup.

Kematian Kristus. Salib menjadi pusat dari rencana keselamatan Allah. Tanpa sa- lib, Setan dan kekuatan-kekuatan jahatnya tidak akan dikalahkan, masalah dosa tidak akan terselesaikan, dan kematian tidak akan dihancurkan. Rasul itu mengatakan kepada kita: “Darah Yesus, Anak-Nya itu, menyuci- kan kita dari pada segala dosa” (1 Yoh. 1:7). “Karena begitu besar kasih Allah akan du- nia ini,” bunyi nas yang paling digemari da- lam Alkitab itu. Jika kasih Allah menghasil- kan dan menjadi awal dari rencana kesela- matan, pelaksanaan rencana itu dijelaskan dalam bagian kedua dari ayat itu: “sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tung- gal.” Keunikan pemberian Allah bukanlah karena Dia memberikan Anak-Nya tetapi karena Dia memberikan Anak-Nya untuk mati karena dosa-dosa kita. Tanpa salib itu, tidak ada pengampunan dosa, tidak ada ke-

hidupan kekal, dan tidak ada kemenangan atas Setan.

Melalui kematian-Nya di salib, Kristus menang atas Setan. Mulai dari pencobaan- pencobaan yang berapi-api di padang belan- tara hingga penderitaan Getsemani, Setan dengan tanpa ampun memimpin penyerang- an melawan Anak Allah ini—untuk mele- mahkan kemauan-Nya, untuk menggoyah- kan rencana-Nya, untuk menuntun-Nya ti- dak mempercayai Bapa-Nya, dan untuk me- nekan Dia menyimpang dari jalan untuk me- nanggung cawan pahit dosa umat manusia sebagai suatu korban pengganti. Salib itu adalah serangan penentu. Di salib itu, “Se- tan bersama malaikat-malaikatnya, dalam

rupa manusia, hadir,”1 untuk mengadakan

peperangan besar melawan Allah sampai pada akhirnya, sambil berharap bahwa Kris- tus bahkan akan turun dari salib dan gagal menggenapi maksud penebusan Allah dalam menawarkan Anak-Nya sebagai korban un- tuk dosa (Yoh. 3:16). Tetapi Kristus, oleh me- nyerahkan nyawa-Nya di salib, telah meng- hancurkan daya Setan, “telah melucuti peme- rintah-pemerintah dan penguasa-penguasa,” dan “menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka” (Kol. 2:15). Di salib, “peperangan telah dimenang- kan. Tangan kanan-Nya [Kristus] dan le- ngan-Nya yang kudus telah memberi-Nya kemenangan. Sebagai pemenang, Dia telah menancapkan panji-Nya di tempat-tempat tinggi yang kekal…. Seluruh surga menang dalam kemenangan Juruselamat itu. Setan telah dikalahkan, dan dia tahu bahwa kera- jaannya telah hilang.”2

Gambaran yang jelas yang diberikan ra- sul itu dalam kitab Kolose patut diperhati- kan. Pertama, Kristus telah melucuti peme- rintah-pemerintah dan penguasa-penguasa kejahatan. Kata bahasa Yunani untuk dilu-

cuti secara harafiah berarti “ditanggalkan.” Karena salib, Setan dalam keadaan ditang- galkan dari segala kekuatan jahat atas umat Allah, selama umat Allah itu menempatkan kepercayaan mereka pada Dia yang mem- bawa kemenangan itu di atas kayu salib. Kedua, salib telah menjadikan Setan dan pa- sukannya “tontonan umum” di hadapan alam semesta. Dia yang tadinya menyombong bah- wa dia akan “menyamai Yang Mahatinggi” (Yes. 14:14) sekarang telah dijadikan tonton- an memalukan dan kekalahan di hadapan alam semesta. Kejahatan tidak memiliki daya lagi atas orang-orang percaya, yang telah ber- pindah dari kerajaan kegelapan kepada ke- rajaan terang (Kol. 1:13). Ketiga, salib telah memastikan kemenangan penentu, pada akhirnya atas Setan, dosa, dan kematian.

Dengan demikian, salib telah menjadi suatu alat kemenangan Allah atas kejahatan: • Suatu cara yang memungkinkan adanya pengampunan dosa (Kol. 2:13).

• Suatu pertunjukan di alam semesta ten- tang pendamaian seluruh dunia (2 Kor 5:19). • Suatu kepastian akan kemungkinan saat ini untuk memiliki kehidupan yang menang serta pertumbuhan dalam Kristus, yang oleh- nya dosa tidak akan berkuasa dalam pikiran atau tubuh kita (Rm. 6:12)—dan suatu ke- pastian akan kedudukan kita sebagai putra- putri Allah (Rm. 8:14).

• Suatu kepastian masa mendatang bahwa dunia yang jahat ini, yang tadi adalah wila- yah kekuasaan yang dirampas Setan, akan dibersihkan dari adanya dosa dan dari kua- sa dosa (Why. 21:1).

• Pada setiap anak tangga dari tangga pe- nebusan dan kemenangan, kita melihat ke- genapan dari nubuatan Kristus sendiri, “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Luk. 10:18).

Kristus yang disalibkan itu adalah tindak- an penebusan Allah bagi masalah dosa. Ja- ngan sampai kita melupakan fakta itu, Ye- sus menegaskan bahwa darah-Nya akan “di- tumpahkan bagi banyak orang untuk peng- ampunan dosa” (Mat. 26:28). Tercurahnya darah itu sangatlah penting bagi adanya pe- ngalaman dan penghargaan akan keselama- tan. Untuk satu hal, pencurahan darah itu berbicara tentang dosa. Dosa itu nyata. Dosa itu menuntut pengorbanan. Genggaman dosa itu begitu kuat dan mematikan sehingga pe- ngampunan dosa dan kebebasan dari kuasa- nya dan rasa bersalah yang diakibatkannya tidaklah mungkin tanpa “darah yang mahal, yaitu darah Kristus” (1 Pet. 1:19). Kebenar- an tentang dosa ini perlu disebutkan beru- lang-ulang, karena kita hidup dalam suatu dunia yang menyangkal kenyataan dosa atau tetap tidak peduli dengan dosa itu. Tetapi di salib, kita dihadapkan dengan sifat yang ja- hat dari dosa, yang dapat dibersihkan hanya oleh darah “yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” itu (Mat. 26:28).

Janganlah kita pernah lupa atau merasa tidak peduli dengan kenyataan bahwa Yesus telah mati karena dosa-dosa kita dan bahwa tanpa kematian-Nya, tidak mungkin terda- pat pengampunan. Dosa-dosa kitalah yang membawa Yesus ke salib. Sebagaimana yang Paulus nyatakan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang- orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah… karena Kristus telah mati un- tuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:6, 8). Atau, sebagaimana Ellen White menyata- kan, dosa “menindih Kristus dengan berat, dan rasa sadar akan murka Allah terhadap

dosa sedang menghancurkan hidup-Nya.”3

Tidak ada dalih untuk tidak meneguhkan dan mengumandangkan hakikat dari kematian

Yesus yang “sekali untuk semua” (lihat Rm. 6:10; Ibr. 7:27; 10:10) sebagai korban dan sebagai pengganti.

Kita tidak diselamatkan oleh Kristus, ma- nusia baik (good man) itu, atau oleh Kris- tus, manusia Allah (God-man) itu, atau oleh Kristus, Guru agung itu, ataupun oleh Kris- tus, Teladan yang tak bercela itu. Kita dise- lamatkan oleh Kristus yang tergantung di salib itu: “Kristus diperlakukan sebagaima- na kita pantas diperlakukan, agar kita boleh diperlakukan sebagaimana Dia pantas diper- lakukan. Dia dinyatakan bersalah karena dosa-dosa kita, yang Dia tidak pernah turut lakukan, agar kita boleh dinyatakan benar oleh kebenaran-Nya, yang kita tidak pernah turut miliki. Dia menderita kematian yang adalah milik kita, agar kita boleh menerima kehidupan yang adalah milik-Nya. ‘Oleh bi-

lur-bilurnya kita menjadi sembuh.’”4

Maka, darah Yesus memberikan kepas- tian akan pengampunan dari dosa dan mena- burkan benih bagi kebaruan pertumbuhan. Salah satu segi dari kebaruan dan pertum- buhan dalam kehidupan Kristiani ini adalah pendamaian. Salib itu adalah alat Allah bagi tercapainya pendamaian umat manusia de- ngan Dia. “Sebab Allah,” kata rasul Paulus, “mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus” (2 Kor. 5:19). Oleh karena apa yang Dia telah lakukan di atas kayu salib, maka kita dapat berdiri di hadapan Allah tanpa dosa dan tanpa ketakutan. Apa yang telah memi- sahkan kita dari Allah telah diatasi. “Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya da- ri pada kita pelanggaran kita” (Mzm. 103: 12). Manusia yang tergantung di atas salib itu telah membuka jalan baru menuju hadirat Allah. “Sudah selesai,” Dia mengumumkan di atas kayu salib, dan kemudian Dia men- desak para pengikut-Nya untuk memasuki suatu persahabatan yang tetap dengan Allah.

Pendamaian dengan Allah segera mem- bukakan tahapan kedua dari proses pertum- buhan yang membawa keselamatan: penda- maian dengan sesama manusia. Salah satu dari gambar yang indah pada salib itu ada- lah beragamnya manusia yang berkumpul di sekitar salib itu. Tidak semua mereka adalah pengagum Yesus. Tidak semua mereka ada- lah orang-orang kudus. Tetapi lihatlah orang- orang itu. Ada orang-orang Mesir yang mem- banggakan diri mereka dalam kecerdikan usaha niaga mereka; ada orang-orang Roma yang bermegah dalam peradaban dan buda- ya; ada orang-orang Yunani yang unggul da- lam pengetahuan mereka; ada orang-orang Yahudi yang menganggap diri mereka seba- gai umat pilihan Allah; ada orang-orang Fa- risi yang mengira adalah orang-orang pilih- an dari umat pilihan; ada orang-orang Sadu- ki yang berpikir bahwa mereka murni da- lam hal doktrin; ada budak-budak yang men- cari kebebasan, ada orang-orang merdeka yang memanjakan diri dalam kemewahan kesenangan; ada pria, wanita, serta anak- anak.

Tetapi salib itu tidak membuat perbedaan di antara semua ini. Salib itu menghakimi mereka semua sebagai orang-orang berdosa; salib itu menawarkan kepada semua mereka jalan pendamaian Ilahi. Di kaki salib itu, ta- nahnya rata. Semua orang dikumpulkan— dan tidak ada lagi yang memisah-misahkan umat manusia. Satu persaudaraan baru telah dimulai. Satu persahabatan baru telah dimu- lai. Timur bergabung dengan barat, utara tu- run ke selatan, putih berjabat tangan dengan hitam, yang kaya melompat untuk meng- genggam tangan yang miskin. Salib itu me- nawarkan kepada semua orang curahan da- rah itu—untuk merasakan manisnya kehi- dupan, untuk sama-sama memiliki pengala- man kasih karunia, dan untuk memberitakan

kepada dunia munculnya satu kehidupan ba- ru, satu keluarga baru (Ef. 2:14-16). Dengan demikian, salib itu menjadi awal kemenang- an atas Setan dan dosa, dan karenanya, mem- bawa kehidupan baru di dalam Kristus.

Kematian terhadap Diri. Segi penting kedua dari kebaharuan dan pertumbuhan Kristiani adalah kematian terhadap diri yang lama. Anda tidak dapat membaca Perjanjian Baru tanpa tiba pada pemahaman tentang as- pek mendasar ini dari kehidupan baru orang Kristen. Bacalah Galatia 2:19, 20: “Aku te- lah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hi- dup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Atau bacalah Roma 6:6-11: “Manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita mengham- bakan diri lagi kepada dosa… bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” Tuhan kita. Atau bacalah ucapan Yesus tentang prinsip kehidu- pan baru: “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasil- kan banyak buah” (Yoh. 12:24).

Jadi kehidupan Kristiani tidak dimulai de- ngan kelahiran. Itu dimulai dengan kematian. Hingga diri mati, hingga diri disalibkan, ti- dak ada permulaan sama sekali. Harus ada suatu pembedahan diri yang mendasar, yang sengaja, dan yang menyeluruh. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Kor. 5:17). Ke- hidupan Kristiani bukanlah suatu perubahan atau perbaikan dari yang lama, melainkan suatu transformasi (perubahan menyeluruh)

kodrat. Ada kematian terhadap diri dan dosa, serta suatu kehidupan yang baru sepenuhnya. Perubahan dapat terjadi hanya oleh bekerja-

nya Roh Kudus.”5 Rasul itu menggarisbawa-

hi kematian terhadap dosa maupun kebang- kitan kepada hidup baru melalui pengalaman baptisan: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kris- tus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? De- ngan demikian kita telah dikuburkan bersa- ma-sama dengan Dia oleh baptisan dalam ke- matian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh ke- muliaan Bapa, demikian juga kita akan hi- dup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:3, 4). Baptisan dengan demikian secara lambang membukakan pintu kehidupan baru serta me- nawarkan agar kita bertumbuh di dalam Kris- tus.

Sesuatu terjadi kepada seseorang yang menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuan. Simon orang yang goyah menjadi Pe- trus yang pemberani. Saulus si penganiaya menjadi Paulus si pemberita. Tomas orang yang ragu-ragu menjadi pembawa misi ga- ris depan. Kepengecutan berganti menjadi keberanian. Ketidakpercayaan berubah men- jadi obor iman. Rasa cemburu sirna ditelan oleh kasih. Kepentingan diri menghilang menjadi perhatian seorang saudara. Dosa ti- dak memiliki tempat dalam hati. Diri telah disalibkan. Karenanya Paulus menulis, “me- nanggalkan manusia lama serta kelakuan- nya… mengenakan manusia baru yang te- rus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kol. 3:9, 10).

Yesus mendesak: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24; bandingkan Luk. 9:23). Dalam kehi- dupan Kristiani, kematian diri bukanlah se- buah pilihan tetapi suatu keharusan. Salib itu

beserta tuntutan-tuntutannya—baik saat ini maupun pada akhirnya—pasti menghadap- kan tantangan bagi status sebagai murid [Ye- sus] dan menuntut sambutan yang sepenuh- nya. Komentar Dietrich Bonhoeffer yang te- gas patut dicatat: “Jika Kekristenan kita ti- dak lagi menaruh perhatian penuh menyang- kut status sebagai murid [Yesus], jika kita telah mengencerkan Injil itu menjadi lonja- kan emosi yang tidak menuntut pengorban- an dan yang tidak dapat membedakan antara kehidupan alami dan kehidupan Kristiani, maka tak terelakkan lagi kita telah mengang- gap salib itu sebagai suatu malapetaka seha- ri-hari biasa, sebagai salah satu pencobaan dan penderitaan hidup…. Bilamana Kristus memanggil seseorang, dia meminta agar orang tersebut datang dan mati… itu adalah kematian yang sama setiap saat—kematian dalam Yesus Kristus, kematian manusia lama pada saat panggilannya.”6

Jadi, panggilan kepada kehidupan Kris- tiani adalah suatu panggilan kepada salib itu —untuk senantiasa menyangkal diri dari ke- inginannya yang kuat untuk menjadi penye- lamatnya sendiri dan untuk menuruti Manu- sia yang tergantung di salib itu, supaya “iman [kamu] jangan bergantung pada hikmat ma- nusia, tetapi pada kekuatan Allah” (1 Kor. 2:5).

Menghidupkan suatu Kehidupan Ba-

ru. Aspek ketiga dari bertumbuh dalam Kris-

tus adalah menghidupkan kehidupan baru. Salah satu dari kesalahpahaman terbesar ten- tang kehidupan Kristiani adalah bahwa ke- selamatan adalah suatu pemberian cuma- cuma kasih karunia Allah—dan itulah akhir ceritanya. Tidaklah demikian. Ya, memang benar bahwa di dalam Kristus “oleh darah- Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengam- punan dosa, menurut kekayaan kasih karu- nia-Nya” (Ef. 1:7). Adalah juga benar bah-

wa “karena kasih karunia kamu diselamat- kan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, te- tapi pemberian Allah, itu bukan hasil peker- jaanmu: jangan ada orang yang memegah- kan diri” (Ef. 2:8, 9).

Ya, kasih karunia itu cuma-cuma. Tetapi kasih karunia itu menuntut Allah mengor- bankan nyawa Anak-Nya. Kasih karunia yang cuma-cuma tidak berarti kasih karunia murahan. Dengan mengutip Bonhoeffer lagi: “Kasih karunia murahan adalah mengajar- kan pengampunan tanpa mengharuskan per- tobatan, baptisan tanpa adanya disiplin gere- ja, perjamuan tanpa adanya pengakuan, pem- bebasan dari kesalahan tanpa adanya penga- kuan pribadi. Kasih karunia murahan ada- lah kasih karunia tanpa tuntutan sebagai mu- rid [Yesus], kasih karunia tanpa salib, kasih karunia tanpa Yesus Kristus, yang hidup dan

yang menjadi daging.”7

Kasih karunia murahan tidak ada kaitan dengan panggilan Yesus. Bilamana Yesus memanggil seseorang, Dia menawarkan ke- padanya salib untuk dipikul. Menjadi seo- rang murid [Yesus] berarti menjadi seorang pengikut, dan sebagai seorang pengikut Ye- sus bukanlah sebuah tipuan murahan. Ke- pada orang-orang Korintus, Paulus menulis- kan dengan tegas tentang kewajiban-kewa- jiban kasih karunia. Pertama, dia berbicara tentang pengalamannya sendiri: “karena ka- sih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras da- ripada mereka [para rasul] semua; tetapi bu- kannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Kor. 15:10). Dengan demikian Paulus mengakui keunggulan ka- sih karunia Allah dalam kehidupannya. Dan segera dia menambahkan bahwa kasih karu- nia ini tidak diberikan dengan sia-sia. Kata bahasa Yunani eis kenon secara harfiah diter-

jemahkan “untuk kehampaan.” Itu berarti, Paulus tidak menerima kasih karunia untuk menghidupkan suatu kehidupan sia-sia, yang kosong—melainkan suatu kehidupan yang dipenuhi buah Roh, dan bahkan, bukan da- lam kekuatannya sendiri, tetapi oleh kuasa kasih karunia yang tinggal di dalam dirinya. Demikian juga, dia memohon kepada orang- orang percaya agar “jangan membuat men- jadi sia-sia kasih karunia Allah” (2 Kor. 6:1). Kasih karunia Allah tidak datang untuk menebus kita dari satu jenis kehampaan, un- tuk menempatkan kita pada suatu jenis ke- hampaan yang lain. Kasih karunia Allah ada- lah usaha giat-Nya untuk mendamaikan kita dengan diri-Nya, untuk menjadikan kita ba- gian dari keluarga Allah. Kita, setelah ma- suk menjadi keluarga itu, tinggal dalam ke- luarga itu sambil menghasilkan buah-buah kasih Allah melalui kuasa dari kasih karu- nia-Nya yang menakjubkan itu.

Jadi, bertumbuh dalam Kristus berarti suatu pertumbuhan dalam kedewasaan se- hingga hari demi hari kita memantulkan ke- hendak Kristus dan menjalani jalan Kristus. Karena itu, pertanyaannya adalah: apakah tanda-tanda pasti dari kehidupan yang de- wasa ini serta tanda-tanda pertumbuhannya yang terus-menerus? Tanpa menuliskan daf- tarnya, kita dapat merenungkan tujuh tanda pasti tersebut.

TANDA-TANDA BERTUMBUH

Dalam dokumen Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang 28 (Halaman 150-155)