• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN TERBALIK KELAS X IPS 1 DI SMAN 3 KABUPATEN TANGERANG TAHUN PELAJARAN 2016/2017

174

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA

175 disetiap jenjang pendidikan. Mata pelajaran matematika juga merupakan mata pelajaran yang cukup penting, serta merupakan mata pelajaran menghitung, serta membutuhkan proses penyelesaian dalam proses pengerjaannya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Roida bahwa matematika merupakan ilmu pasti yang menuntut pemahaman dan ketentuan berlatih (Siagian, 2004). Hasil pendidikan yang belum maksimal dalam mata pelajaran matematika dapat dilihat dari berbagai kriteria, salah satunya adalah dengan belum maksimalnya hasil belajar yang diperoleh peserta didik. Salah satu hasil belajar yang diraih siswa adalah ujian nasional yang dilakukan secara serentak oleh kementrian pendidikan Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan laporan hasil ujian nasional tahun 2014 yang menyatakan bahwa daya serap terendah berada pada kelompok IPS adalah mata palajaran matematika, yakni sebesar 53,51% (balitbang, 2014). Untuk Untuk menjadikan pendidikan berkualitas adalah sangat ditentukan oleh kualitas pemrosesan dan pengelolaannya, dengan asumsi bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan maka proses belajar mengajar harus dibenahi dengan baik (Supardi, 2004).

Berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan di SMAN 3 Kabupaten Tangerang pada tahun ajaran 2016/2017, ditemukan beberapa permasalahan seperti siswa di kelas X IPS 1 seringkali tidak merespon terhadap pelajaran matematika, serta tidak disiplin terhadap pelajaran matematika. Siswa tidak fokus saat mengikuti pelajaran matematika, beberapa siswa berbincang saat guru tengah menyampaikan materi, kemampuan bertanya yang rendah dan hanya sebagian siswa yang mampu menyelesaikan soal matematika. Hal tersebut yang menjadikan faktor penyebab belum

maksimalnya hasil belajar siswa yang dilihat dari hasil ulangan matematika siswa kelas X IPS 1 untuk materi relasi dan fungsi didapat bahwa hanya 12 siswa dari 40 siswa yang mendapatkan hasil diatas KKM (KKM = 75) dan nilai rata- rata yang diperoleh hanya sebesar 58,65.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlu ada perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran persamaan dan fungsi kuadrat. Hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu (susanto, 2013).

Dari beberapa hasil temuan riset pada permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya maka perlu adanya suatu inovasi dalam kegiatan pembelajaran.

Salah satu solusi yang bisa digunakan adalah model pembelajaran terbalik (reciprocal teaching).

Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Peter E Dolittle, dkk.

Didapat bahwa reciprocal teaching provides the higher education instructor with a useful tool for engaging students, individually and socially, in the exploration and critical evaluation of text (Dolittle, 2006). Model reciprocal teaching menyediakan instruktur pendidikan tinggi dengan alat yang berguna untuk melibatkan siswa secara individu dan kelompok dalam mengeksplorasi dan evaluasi teks. Dari penjabaran tersebut diketahui bahwa model reciprocal teaching ini lebih menekankan pada pembelajaran yang melibatkan banyak kalimat, serta lebih memperdalam pemahaman pada suatu kalimat. Pembelajaran terbalik (reciprocal teaching) adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa meliputi membaca bahan ajar, merangkum, mengajukan pertanyaan,

176 menyelesaikan masalah, dan menyusun prediksi (zarkasyi, 2015).

Menurut Triono pembelajaran terbalik dikembangkan untuk membantu guru menggunakan dialog-dialog belajar yang bersifat kerja sama untuk mengajarkan pemahaman bacaan secara mandiri di kelas (triono, 2007). Dialog belajar disini diartikan sebagai interaksi antara siswa dengan gurunya untuk saling bertukar informasi. Sehingga diharapkan dengan adanya dialog belajar yang bersifat bekerja sama siswa dapat memperoleh informasi yang lebih dari berbagai sumber. Sedangkan menurut Palincsar dan Annemarie yang dikutip oleh Nurul Atikah Herman bahwa model reciprocal teaching memiliki 4 tahapan pembelajaran, yaitu 1) summarizing; 2) question; 3) clarifying dan 4) predicting (herman, 2014).

Berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan tersebut maka manfaatnya adalah dapat meningkatkan antusias siswa dalam pembelajaran karena siswa dituntut untuk aktif berdiskusi dan menjelaskan hasil pekerjaannya dengan baik.

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan dengan hasil bahwa pembelajaran terbalik dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sebesar 78,84% dan juga pembelajaran terbalik efektif untuk mengatasi kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal statistika (niken, 2012). Dari penjabaran diatas maka didapatkan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan model Pembelajaran Terbalik yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat kelas X IPS 1 SMAN 3 Kabupaten Tangerang tahun pelajaran 2016/2017.

B. Metode

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X IPS 1 SMAN 3 Kabupetan Tangerang dengan jumlah siswa sebanyak 40 orang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) untuk mengetahui bagaimana proses penggunaan model pembelajaran terbalik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

Prosedur dan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart dimana kegiatan penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi masalah, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan tahap refleksi (madeamin, 2017). Instrumen penelitian meliputi instrumen tes dan intrumen observasi.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini meliputi instrumen tes hasil belajar matematika, lembar observasi, catatan lapangan dan dokumentasi.

Penerapan pembelajaran

menggunakan model pembelajaran terbalik dilakukan dalam beberapa siklus. Kegiatan siklus berhenti apabila pada tahap refleksi didapat hasil belajar matematika sudah memenuhi target yang ingin dicapai oleh peneliti. Target tersebut adalah apabila nilai rata-rata hasil belajar siswa lebih dari KKM yaitu sebesar 75 dan saat pencapaian siswa yang mencapai nilai KKM mencapai 75 dari 40 siswa di kelas X IPS 1 SMAN 3 Kabupaten Tangerang tahun pelajaran 2016-2017.

C. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan analisis seluruh hasil belajar dengan menggunakan instrumen penelitian, diperoleh hasil belajar matematika sebelum tindakan dan setelah menggunakan model pembelajaran terbalik dalam Siklus I dan Siklus II disajikan dalam tabel 1 berikut:

177 0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

42.50% 72.50% 55.00% 63% 82.50% 85%

siklus 1 siklus 2 Tabel 1

Data Nilai Rata-Rata Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Model

Pembelajaran Terbalik

No. Kriteria

Persentase siswa belum mencapai

KKM

Persentase siswa sudah

mencapai KKM

Nilai rata-

rata

1. Sebelum

tindakan 60% 30% 58,65

2. Siklus I 40% 60% 70,4

3. Siklus II 22,5% 77,5% 78,5

Secara umum hasil belajar matematika mengalami peningkatan di setiap siklusnya, namun pada siklus I hasil belajar yang diperoleh belum sesuai dengan target pencapaian yang iinginkan oleh peneliti sehingga peneliti memutuskan untuk mengadakan siklus II.

Persetasi hasil observasi dari aktivitas siswa dalam Siklus I dan Siklus II disajikan dalam gambar 1

Gambar 1

Persentase Aktivitas Siswa Setiap Pertemuan

Dari gambar 1 didapat bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran terbalik mengalami kenaikan disetiap pertemuan pada siklus I dan siklus II, hal tersebut merupakan salah satu faktor pendorong meningkatnya hasil belajar matematika siswa. Hasil analisis butir soal tes hasil

belajar matematika dihubungkan dengan analisis jawaban yang diperoleh siswa pada siklus I disajikan pada tabel 2

Tabel 2

Analisis Butir Soal Siklus I

No Tingkat Kesukaran Tingkat Penguasaan

1. Mudah 92,5%

2. Mudah 95%

3. Sedang 58,25%

4. Sukar 76,5%

5. Sukar 72,5%

6. Sukar 62,25%

7. Sukar 60%

8. Sedang 59%

Dari tabel 2 didapat bahwa tingkat penguasaan siswa dari setiap nomor soal yang diberikan beberapa diantaranya memiliki persentase yang rendah, misalnya pada soal nomor 3 dan 8 dengan kategori tingkat kesukaran memiliki persentase penguasaan dibawah 60% sehingga perlu adanya perbaikan-perbaikan yang dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada siklus selanjutnya. Hasil analisis butir soal tes hasil belajar matematika dihubungkan dengan analisis jawaban yang diperoleh siswa pada siklus II disajikan pada tabel 3

Tabel 3

Analisis Butir Soal Siklus II

No Tingkat

Kesukaran Tingkat

Penguasaan

1. Mudah 71%

2. Mudah 82,1%

3. Sedang 53%

4. Sukar 88%

5. Sukar 97,5%

6. Sukar 75,5%

Dari tabel 3 didapat bahwa tingkat penguasaan siswa pada instrumen tes hasil belajar siklus II memiliki persentase yang cukup tinggi dimana dari 6 soal yang diberikan hanya 1 soal saja yang memiliki persentase rendah. Dari tabel 3 ini juga dapat dilihat bahwa pada soal nomor 3, 4, dan 5 yang memiliki tingkat kesukaran sukar memiliki persentase pencapaian diatas 80% yang tersebut mengindikasikan

178 bahwa dengan adanya perbaikan-perbaikan kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran terbalik yang dilakukan pada siklus II ini dapat meningkatkan tingkat penguasaan siswa.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan sebanyak II siklus dan hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran terbalik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat di kelas X IPS 1 SMA Negeri 3 Kabupaten Tangerang. Selain itu model pembelajaran terbalik juga dapat meningkatkan aktivitas siswa di dalam kelas dan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas.

Dengan menggunakan model pembelajaran terbalik pada materi persamaan dan fungsi kuadrat, rata-rata hasil belajar matematika siswa meningkat dari 58,65 ke 70,4 pada Siklus I dan meningkat kembali menjadi 78,5 pada Siklus II. Selain itu persentase siswa yang sudah mencapai kriteria tingkat keberhasilan minimum juga mengalami peningkatan dari keadaan awal yang hanya 30% meningkat menjadi 60% pada Siklus I dan meningkat kembali menjadi 77,5%

pada Siklus II.

Hasil yang didapat dari kegiatan PTK ini adalah bahwa adanya peningkatan hasil belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran terbalik pada materi persamaan dan fungsi kuadrat.

Peningkatan yang terjadi memberikan dampak positif pada kegiatan belajar siswa, di mana siswa menjadi lebih aktif, lebih percaya diri serta lebih mandiri dalam menjalani kegiatan pembelajaran.

E. Referensi

Balitbang, 2014. laporan hasil ujian nasional tahun 2014. [Online]

Available at:

http://puspendik.kemendikbud.go.i Dolittle, P. E., 2006. Reciprocal Teaching

for Reading Comprehension in Higher Education: A Strategy for Fostering the Deepeer Understanding of Texts, Volume 17 No. 2, p. 115.

Gegne, R. M., 1984. Learning Outcomes and Their Effects: Usefull Categories of Human Performance., p. 379.

Herman, n. a., 2014. penerapan model reciprocal teaching pada pelajaran matematika siswa kelas VII SMPN 26 Padang. jurnal pendidikan matematika, Volume III, p. 14.

Madeamin, i., 2017. model PTK (3): model spiral dari Kemmis & Taggan.

[Online]

Available at:

www.ishaqmadeamin.com [Diakses 14 juni 2017].

Niken, d., 2012. Penerapan Pembelajaran Matematika Melalui Model Pembelajaran Reciprocal Teaching dalam Mengatasi Kesalahan Siswa Menyelesaikan Soal Matematika Kelas IX SMP N 1 Pakusari Pokok Bahawan Statistika Semester Ganjil Tahun Ajaran 2012/2013. Volume 3 No 3, p. 96.

Siagian, R. E. F., 2004. pengaruh minat dan kebiasaan. jurnal formatif, p.

125.

Supardi, 2004. pengaruh adversity qoutient terhadap prestasi belajar matematika.

jurnal formatif, p. 62.

179 Triono, 2007. model-model pembelajaran

inovatif berorientasi konstruktivistik:

konsep, landasan teori-praktis dan implementasinya. Dalam: jakarta:

tim prestasi pustaka, p. 96.

Yensy, n. a., 2012. penerapan model pembelajaran kooperatif tipe examples non examples dengan menggunakan alat peraga untuk meningkatkan hasil belajar siswa di kelas VIII SMPN 1 Argamakmur.

jurnal exacta, Volume X, p. 28.

Zarkasyi, w., 2015. Dalam: penelitian pendidikan matematika. bandung:

PT refika aditama, p. 69.

180

PEMBELAJARAN PENDEKATAN PROBLEM POSING BERBANTUAN SOFTWARE GEOGEBRA UNTUK KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIK

SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR

1Annisa Larasati, 2Wahidin, & 3Krisna Satrio Perbowo

1Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, alarasati06@gmail.com

2Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, wahidinmtk@uhamka.ac.id

3Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, krisna_satrio@uhamka.ac.id ABSTRACT

This research aimed is is to found wheter there is or there is not any effect of Problem Posing approach assissted by Software Geogebra on conceptual understanding of mathematics. Comparative quantitative method was used in this research was using cluster random sampling for experiment class and control class. For collecting data this research used test which consist of 9 items which already valid and reliable. From the data we got = 3,786 > 1,669 = with significance 0,05. Which means there is effect of Problem Posing approach assisted by Software Geogebra on conceptual understanding of mathematics ability of student’s. The effect size value is 0,829 which has in high category.

Keywords : Problem posing approach, software geogebra, conceptual understanding of mathematics ability of student’s

A. Pendahuluan

Kemampuan pemahaman konsep merupakan salah satu kemampuan yang penting dikembangkan kepada siswa. Hal ini dikarenakan pemahaman konsep merupakan landasan berpikir dalam menyelesaikan masalah baik masalah matematika ataupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika dalam Permendiknas yaitu memahami konsep matematik, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

(Permendiknas, 2006)

Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus dirancang sedemikian rupa sehingga para siswa dapat mengembangkan kemampuan pemahaman konsep dalam segala aspek matematika, seperti bilangan, aljabar, geometri, maupun statisika dan peluang. Namun kenyataannya, berdasarkan data PISA (OECD, 2016) pada tahun 2012 Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara, sementara pada tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 63 dari 72 negara, yang berarti data tersebut menunjukkan kelemahan siswa dalam menghubungkan

konsep-konsep matematika yang bersifat formal dengan permasalahan dalam dunia nyata (Murtiyasa, 2015).

Selain itu, berdasarkan hasil Ujian Nasional, kemampuan memahami sifat dan unsur bangun ruang dan menggunakannya dalam pemecahan masalah merupakan kemampuan pemahaman dengan persentase terendah pada tingkat nasional (Puspendik, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memahami bangun ruang untuk SMP/MTs tergolong rendah apabila dibandingkan dengan kemampuan pemahaman pada materi lain seperti bangun datar, bilangan, aljabar, maupun statistika dan peluang.

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya pemahaman konsep pada aspek geometri khususnya bangun ruang adalah kesulitan siswa dalam membentuk konstruksi nyata yang diperlukan secara akurat pada geometri. Berdasarkan realita pembelajaran matematika di dalam kelas, guru hanya menggunakan media papan tulis untuk menjelaskan materi bangun ruang. Padahal materi bangun ruang yang disampaikan hanya dengan media papan tulis akan membuat siswa terkecoh dan menganggapnya serupa dengan bangun

181 datar. Selain itu, penggunaan pendekatan pembelajaran yang dirasa kurang tepat juga menjadi salah satu faktor rendahnya kemampuan pemahaman konsep khususnya pada aspek geometri ini. Guru masih menekankan pembelajaran matematika yang hanya berpusat pada guru itu sendiri, seperti pendekatan ekspositori. Dimana guru aktif memberikan penjelasan atau informasi tentang materi pembelajaran, sementara siswa hanya menerima bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Sehingga pembelajaran dengan pendekatan ekspositori ini termasuk ke dalam komunikasi satu arah.

Sagala (2013) berpendapat bahwa komunikasi satu arah menyebabkan kegiatan belajar siswa kurang optimal, sebab terbatas pada mendengarkan, mencatat, dan sesekali bertanya kepada guru. Dengan penggunaan pendekatan ekspositori, siswa tidak dibiasakan untuk membentuk pemahamannya sendiri, serta tidak dibiasakan untuk memperkuat konsep-konsep dasar yang telah dimilikinya. Siswa hanya menerima kemudian menghafalkan apa yang telah disampaikan guru kepadanya.

Berdasarkan permasalahan yang disebutkan di atas, maka diperlukan upaya untuk memperbaiki pembelajaran matematika. Salah satunya adalah dengan melakukan inovasi dalam pembelajaran.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk aktif, kreatif serta memberi kesempatan siswa untuk mencari tau lebih dalam apa yang ingin diketahuinya untuk terwujudnya pembelajaran yang bermakna adalah pendekatan problem posing.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2013) mengungkapkan bahwa melalui pembelajaran dengan metode problem posing dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar, terutama berinteraksi dan berbagi ide pada siswa satu sama lain dan guru, sehingga kegiatan belajar menjadi bermakna. Lebih jauh, Suryosubroto (2013) menegaskan, pendekatan problem posing diharapkan

memancing siswa untuk menemukan pengetahuan yang bukan diakibatkan dari ketidaksengajaan melainkan melalui upaya mereka untuk mencari hubungan-hubungan dalam informasi yang dipelajarinya.

Dengan pendekatan problem posing, siswa mampu menemukan informasi-informasi baru terkait apa yang tengah mereka pelajari. Pendekatan problem posing menjawab keingintahuan siswa berdasarkan apa yang dialaminya atau berdasarkan apa yang mereka pertanyakan bukan hanya berdasarkan apa yang disampaikan guru.

Suryosubroto (2013) mengungkapkan langkah-langkah dalam kegiatan problem posing adalah tahap perencanaan, tindakan, dan observasi. Dimana pada tahap perencanaan, guru menyiapkan rencana pembelajaran beserta bahan pembelajaran.

Selanjutnya pada tahap tindakan setiap kelompok belajar diberikan lembar yang digunakan siswa untuk membuat pertanyaan, dan siswa bertukar lembar tersebut untuk kemudian menjawab pertanyaan pada lembar lainnya.

Selanjutnya, tahap observasi guru menilai sejauh mana kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa langkah pembelajaran problem posing dimulai dengan guru memberikan materi pembelajaran dan memberikan contoh pengajuan soal. Selanjutnya siswa mengajukan pertanyaan, baik secara individu, berpasangan, maupun berkelompok. Kemudian, pertanyaan yang telah dibuat oleh tiap-tiap individu, pasangan, maupun kelompok dikumpulkan untuk kemudian dibagikan ke individu, pasangan, atau kelompok lain untuk diselesaikan. Lalu siswa mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas.

English mengemukakan manfaat model pembelajaran Problem Posing adalah untuk memberi penguatan terhadap konsep yang diajarkan dan memperkaya konsep-konsep dasar (Pujiastuti, 2002). Aktivitas-aktivitas dalam pendekatan problem posing atau pengajuan soal cenderung melatih siswa

182 untuk memperkuat konsep-konsep dasar matematika yang telah dimilikinya, siswa akan dilatih menggali sendiri apa yang ingin diketahui oleh dirinya melalui pertanyaan-pertanyaan, baik pertanyaan bebas ataupun berdasarkan situasi atau pertanyaan lain yang telah ditentukan.

Siswa akan merasa bahwa apa yang dikerjakannya itulah apa yang akan didapatkannya.

Selain dengan penerapan pendekatan yang tepat, penggunaan media pembelajaran juga dapat membantu siswa untuk memahami konsep terhadap materi yang tengah dipelajari. Salah satu media yang dapat dimanfaatkan adalah software GeoGebra. Hasil penelitian Simanjuntak (2014) menyatakan bahwa dalam pembelajaran perlu untuk menggunakan media pembelajaran guna meningkatkan pemahaman konsep siswa dan salah satu media yang dapat digunakan adalah Software GeoGebra. Media pembelajaran software GeoGebra ini akan memudahkan visualisasi siswa agar menjadi lebih konkret dalam melihat objek bangun ruang.

Menurut Mahmudi, dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya, Software GeoGebra dapat membantu siswa memahami konsep bangun ruang, karena Software GeoGebra memiliki fasilitas dragging atau gerakan-gerakan manipulasi yang dapat memberikan pengalaman visual yang lebih jelas kepada siswa dalam memahami konsep geometri (Mahmudi, 2010). Lebih lanjut, Siswanto (2016) mengungkapkan, bahwa software GeoGebra dapat dijadikan sebagai media berbantu untuk mengenal bentuk suatu benda secara tepat, melakukan perubahan terhadap suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan tersebut, mengimajinasikan suatu hal atau benda dan menuangkan ke dalam bentuk nyata.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra terhadap kemampuan pemahaman konsep matematik siswa.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan desain the nonequivalent postest-only control group design. Penelitian dilaksanakan di kelas VIII SMP Negeri 147 Jakarta pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.

Populasi yang menjadi target dari penelitian ini adalah seluruh siswa di SMP Negeri 147 Jakarta, sedangkan populasi terukur dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 147 Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu cluster random sampling.

Melalui teknik ini didapat sampel kelas VIII-A sebagai kelas eksperimen yang diajarkan dengan pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra dan kelas VIII-B sebagai kelas kontrol yang diajarkan dengan pembelajaran biasa.

Jumlah siswa pada kelas eksperimen adalah 34 siswa dan pada kelas kontrol adalah 35 siswa. Pengumpulan data dilakukan menggunakan tes kemampuan pemahaman konsep matematik berbentuk uraian pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar sebanyak 9 soal yang memenuhi indikator kemampuan pemahaman konsep (Wardhani, 2013) yaitu (1) menyatakan ulang sebuah konsep, (2) mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya), (3) memberikan contoh dan non-contoh dari konsep, (4) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (5) mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep, (6) menggunakan, mamanfaatkan, memilih prosedur atau operasi tertentu, dan (7) mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah dan diberikan setelah perlakuan, instrumen tersebut terlebih dahulu diuji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitas. Data yang telah diperoleh pada penelitian dianalisis menggunakan uji-t’ yang sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai uji persyaratan analisis data.

183 C. Hasil dan Pembahasan

Perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan selama 7 pertemuan dengan pertemuan ke 8 merupakan tes kemampuan pemahaman konsep matematik siswa materi bangun ruang sisi datar. Hasil perhitungan yang diperoleh dari data penelitian hasil tes kemampuan pemahaman konsep matematik siswa adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Statistik Deskriptif Data Kemampuan Pemahaman Konsep

Matematik Siswa

Ket Kelas

Eksperimen Kelas Kontrol

N 34 35

28,676 23,914

Xmax 34 33

Xmin 16 11

Standar Deviasi 4,624 5,746

Skor Ideal 36 36

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa rata-rata skor kemampuan pemahaman konsep matematik siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan rata- rata skor kemampuan pemahaman konsep matematik siswa pada kelas kontrol. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata tersebut disebabkan oleh perlakuan atau hanya kebetulan, akan dilakukan uji-t. Sebelum dilakukan uji-t, dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu. Hasil dari uji normalitas dan homogenitas adalah kedua data berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen.

Setelah itu, dilakukan uji-t. Dari uji-t ini didapat bahwa terdapat pengaruh pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra terhadap kemampuan pemahaman konsep matematik siswa dengan besar pengaruh adalah 0,829 dan termasuk ke dalam kriteria tinggi. Selain itu, dapat pula dilihat dari persentase tiap indikator kemampuan pemahaman konsep matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut ini adalah presentase setiap indikator kemampuan pemahaman

konsep matematik siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Gambar 1. Persentase Rata-rata Kemampuan Pemahaman Konsep

Matematik Siswa

Ditinjau dari persentase rata-rata tiap indikator kemampuan pemahaman konsep matematik siswa, kelas eksperimen yang menggunakan pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra lebih unggul jika dibandingkan dengan kelas control yang tidak belajar menggunakan pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra. Dapat dikatakan bahwa pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra berpengaruh positif pada kemampuan pemahaman konsep matematik siswa.

D. Kesimpulan

Kemampuan pemahaman konsep matematik merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa. Melalui penelitian ini terbukti bahwa pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra memberikan pengaruh terhadap kemampuan pemahaman konsep matematik siswa, dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Hal ini dapat dilihat dari skor rata- rata tes kemampuan pemahaman konsep matematik siswa yang diajarkan dengan pendekatan problem posing berbantuan software GeoGebra lebih tinggi daripada skor rata-rata tes kemampuan pemahaman konsep matematik siswa yang diajarkan pembelajaran biasa. Selain itu, presentase indikator kemampuan pemahaman konsep matematik siswa yang diajarkan dengan problem posing berbantuan software

68 85 76 77 85 82 82

54 55 64 63 78

69 74

1 2 3 4 5 6 7

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Garis besar

Dokumen terkait