• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Darah, Bahasa Peradilan, dan Bahasa Kode Etik

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 128-133)

1. Opsi Bahasa Darah

Pernah terjadi kasus: seorang bupati di salah satu daerah di Jatim ditusuk oleh seorang warga, yang warga ini kecewa dengan apa yang dipidatokan bupatinya, yang dianggap isi pidatonya “melukai” perasaannya. Pertanyaannya, mengapa oknum masyarakat sampai berani menusuk pimpinannya? Mengapa “bahasa darah” bisa sampai dialamatkan pada elite kekuasaan?

Pertanyaan seperti itu sudah pernah pula dilontarkan oleh kriminolog JE. Sahetapy187, mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah, tamah, sopan, santun, religius, tolong menolong, gotong royong, dll, berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal, dalam hampir seluruh bidang kehidupan, dan strata.

Belajar dari kasus tersebut, dapat dijadikan sampel refleksi, bahwa yang bisa membahayakan elite strategis kekuasaan, mengganggu, atau mencederai elite pejabat adalah elemen komunitas gelap mata yang sedang hidup dalam kesulitan ekonomi, menderita kelaparan hebat atau terluka jiwanya, sementara negara tidak peduli dengan penderitaannya ini, atau negara membiarkan rakyatnya kehilangan peluang

memanusia-186

Mustofa, dkk,Op.Cit, hal. 67. 187

kan dirinya, atau termarjinalisasikan dari perlakuan yang serba beradab dan berkeadilan.

Atmosfir masyarakat lapar merupakan cermin realitas sosial yang sedang terhimpit oleh keakraban dalam bingkai kosakata ”penderitaan, kekalahan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan”, yang bagi elemen masyarakat manapun di muka bumi, tentu akan dilawannya, meski terkadang dengan menempuh cara-cara yang berlawanan dengan norma hukum dan agama, termasuk kemungkinan menerima ”proyek” atau pesanan menggalang aksi..

Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, “akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan dan keputus-asaan”. Hernando de Soto juga menguatkan pendapat ini, bahwa “rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan”.188

Paradigma ”ketidakpuasan atau keutusasaan lahirkan perlawanan” atau ”ketidakberdayaan” seperti kelaparan lahirkan ”pengganyangan” (gerakan radikal) merupakan bahasa lain dari realitas kesenjangan yang tidak terurus, ketidakadilan sosial yang masih dimenangkan, atau ketidakmerataan sumberdaya pangan atau ekonomi, yang berefek pada lahirnya sikap kritis dan terbentuknya kondisi ”kritis” yang bercorak kerawanan atau keterancaman kemapanan harmoni sosial-politik, termasuk terganggunya harmoninya kepala negara.

Elit kekuasaan sekarang bisa saja terancam bukan oleh “koboi-koboi Senayan”, tetapi oleh ketidakberdayaan atau ketidaksejahteraan sebagian elemen masyarakat, yang masyarakat ini sudah tidak tahan terkerangkeng dalam kondisi inferioristik dan dehumanistiknya. Ketidaksejahteraan (kemiskinan) masyarakat merupakan akar kriminogen fundamental, yang bisa mengancam siapapun yang berkuasa di level tertinggi maupun terendah, apalagi kalau ketidaksejahteraan ini terkait dengan dosa pemimpin negara yang sedang mengidap amnesia kewajibannya dalam menyejahterakan masyarakat.

Amnesia kewajiban berbasis kerakyatan itu mengakibatkan masyarakat bisa saja semakin terpuruk dalam kemiskinan, baik yang kemiskinannya memang akibat kesulitan mencari sumber pendapatan, tidak cukupnya upah kerja, atau ketrampilannya jauh dari mendukung, maupun akibat bencana alam yang telah merenggut keberdayaan ekonomi yang pernah dimilikinya.

Angka kemiskinan yang semula tersusun rigid di BPS bisa berubah mendadak seiring dengan ”membanjirnya” bencana alam yang 188

mengakibatkan ”membanjirnya” angka kemiskinan, atau membanjirnya kebijakan pemerintah yang tidak populis dan terus menerus menindas rakyat. Katakanlah kebijakan menaikkan cukai rokok yang ”kebetulan” pihak yang menjadi korban utamanya industri kecil, yang kemudian akibat kenaikan mencekik ini, industri rokok gulung tikar, maka kebijakan dehumanistik ini diniscayakan akan mendorong percepatan ledakan angka pengangguran atau kemiskinan bisa tumbuh subur dimana-mana.

Membajirnya kemiskinan itulah yang diniscayakan diikuti dengan ”membanjirnya” perilaku radikal dan ekstremis yang bercorak menggoyang negara, apalagi jika mereka sampai terhimpit penderitaan berlapis seperti kelaparan, anak sedang sakit, sementara tidak ada tetangga yang menunjukkan jiwa karitasnya, atau menghadapi problem lain yang mengancam keberlanjutan hidupnya, namun (elit) negara ber-sikap masa bodoh dan bahkan menjadikannya sebagai obyek komoditi politik dan jalan tembus memprodiuk penyimpangan kekuasaan.

Kondisi itu merupakan suatu warning yang bersifat radikal, bahwa tatkala di dalam diri orang miskin sudah sampai pada ranah mengeksplorasikan atau membahasakan kekecewaan, maka ini menjadi sinyal membahayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pasalnya mereka sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai instrumen politik yang dimainkan atau dironotisasikan oleh pihak-pihak yang bisa menabur ”tangan-tangan kotor” (the dirty hands).

Di sisi lain, kelompok orang miskin yang sedang tidak berdaya itu tidak mengerti kalau penderitaan yang menimpanya dijadikan senjata untuk menciptakan kekacauan(chaos), karena dalam dirinya sebenarnya sudah menggumpal rasa tidak suka, benci, dan dendam terhadap ketidak-adilan yang menimpanya atau perlakuan negara yang bercorak animalistik. Ibarat gayung bersambut, hasrat untuk memperjuangkan nasibnya ada yang memediasinya, meskipun mediasi ini berpola kriminalitas.

Dapat saja terjadi bahwa ketidakberdayaan suatu komunitas (community empowerment) yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidakmanusiawian praktik sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya secara reflektif dan eksplosif menunjukkan kemarahannya dengan menjadikan opsi protes (perlawanan) yang sangat radikalistik, ekstrimistik, dan barbarianian, karena mereka sudah tidak bisa menahan desakan emosi dalam dirinya akibat ditindas secara berlarut-larut dan berlapis. Mereka sudah tidak mampu menahan “tsunami amarah” yang dipendamnya sekian lama. Mereka merasa bukan lagi saatnya bersabar terus menerus.

Hal itu menunjukkan, bahwa kekerasan individual dan massal potensial terjadi terkait secara signifikan dengan akar problematika

seperti perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, distribusi sumber pendapatan yang disparitas, praktik dehumanitas atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya negara. Ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, maka bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas berskala meluas dan memberatkan.

2. Bahasa Darah Menggugat Kode Etik Profesi

“Bahasa darah” adalah bahasa yang digunakan oleh orang miskin ketika bahasa keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan, dan kesungguhan mewujudkan pengabdian sedang lenyap dari persada pertiwi. Ia sejatinya sebagai wajah lain dari bahasa perlawanan atau kritik fundamental untuk mengancam siapapun yang tidak memberikan atau mendistribusikan keadilan kepadanya. Kasus perlawanan (pembelaan) publik melalui Prita189 juga menunjukkan, bahwa model perlawanan rakyat mulai bermacam-macam, yang bukan tidak mungkin suatu ketika nanti akan berkembang menjadi model perlawanan memutlakkan “darah tumpah” dimana-mana. Kalau sudah demikian, maka sebenarnya diantara yang digugat adalah integritas aparat penegak hukum. Mereka tidak akan sampai digugat, bilamana norma hukumnya diimplementasikan. Kalau norma hukum tidak diimplementasikan, berarti bahasa kode etik profesi tidak sampai menjadi bahasa yang mendidik dan mengawal pelaksananya.

Komunitas miskin itu tidak mungkin akan bersabar terus menerus menerima realitas ketidakadilan dan ketidakmanusiawian mengebiri, mendistorsi, dan menghegemoninya. Suatu ketika, mereka bisa saja menggoyang dan bahkan ”mengganyang” setiap pemegang kekuasaan di pusat maupun daerah untuk menuntut percepatan model pembangunan atau penyelenggaraan kekuasaan yang memanusiakan, dan bukannya yang memiskinkan dan mengundang kemarahan orang miskin secara masif.

189

Kasus Prita pernah menjadi salah satu kasus yang menyita perhatian masyarakat luas. Respon sosial kepadanya terkait dengan keberaniannya dalam melawan Rumah Sakit Omni Internasional. Prita bukan hanya mendapatkan dukungan publik, tetapi juga sejumlah elite negara. Prita kemudian dijadikan sebagai simbol oleh masyarakat kecil yang berani melakukan perlawanan terhadap korporasi besar.

BAB VI

KODE ETIK PROFESI, LEMBAGA

PEMASYARAKATAN DAN KEADILAN

A. Penjara yang Memenjara Keadilan, Quo Vadis Kode

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 128-133)