• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eigenrichting dan Malversasi Peradilan

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 121-125)

1. Membaca Eigenrichting

Rakyat sekarang gampang sekali marah dan menumpahkan darah, setidak-tidaknya rentan mengobarkan radikalisme dan mengorbankan kedamaian publik. Mereka tidak lagi mengenal takut terhadap pentungan, gas air mata, atau ancaman tembakan dari petugas. Belum usai penanganan secara tuntas kasus kekerasan di satu tempat, sejumlah massa muncul di tempat lain dengan gerakan radikal. Ada diantaranya yang dilakukan dengan cara membakar mobil atau fasilitas negara atau hak-hak milik rakyat. Kemarahannya dilampiaskan dengan cara ini akibat penghinaan yang dilakukan atasannya.

Kemarahan pekerja golongan akar rumput terhadap elitis atau korporasinya, sebenarnya merupakan bentuk ketidakharmonisan, ketidak-inklusifitasan, atau ketidakjalannnya relasi dan dialektika yang saling menghormati, khususnya dari atas ke bawah, atau dari pimpinan kepada anak buah.

Kemarahan suatu komunitas seperti pekerja atau elemen masyarakat akar rumput (the grassroot) lainnya yang gampang sekali diagregasikan dan diledakkan, belakangan ini, mencerminkan, bahwa mereka ini semakin berani memproduk apa yang diistilahkan oleh JK. Skolnick sebagai ”peradilan tanpa pengadilan” (trial wothout justice), atau praktik penghakiman (pengadilan) jalanan yang tentu saja landasan hukum yang digunakan menggunakan hukum yang dibuatnya sendiri.176

Mereka merasa tidak perlu lagi menggunakan produk hukum negara, yang dianggapnya produk negara ini identik sebagai produk yang mengalinasikan atau meminggirkan (mengalahkan) kepentingan dirinya sebagai ”wong cilik”, suka menindas atau tidak memberikan ruang egaliter dan beradab kepadanya.

176

Sunardi, Eigenrichting dan Malversasi kekuasaan, Kumpulan Makalah, Malang, 2009, hal. 41.

Terbukti, begitu hak dan kepekaan psikologisnya disinggung oleh atasan atau pimpinan, mereka tidak perlu melakukan perlawanan dengan cara mengajukan gugatan lewat negara bertajuk ”kalau yang dilakukan atasannya bermodus perbuatan melanggar hukum atau tidak menyenangkan, ” sebaliknya memproduk dan menggelar peradilan bertemakan ”eigenrichting” yang bermodus radikalisme, chaos, dan vandalisme.177

Istilah ”atasan” (penguasa) atau pemimpin ”rezim” (kekuasaan) sekarang tidak lagi menjadi subyek yang menakutkan. Rakyat tidak takut menghadapi kemungkinan berhadapan, ditangkap, dan ditahan oleh aparat akibat melakukan perbuatan yang jelas-jelas sebagai tindak pidana (straafbaarfeit) seperti pengrusakan, pembakaran mobil, atau penjarahan.

Kekerasan sudah dikenal sejak zaman Habil membunuh Kabil. Menurut Turpin dan Kurtz (1997: 2) “understanding human violence is one of the central tasks of our time, yet we still know very little about it, because …we have neglegted the search for fundamental cause”.178

Kekerasan adalah suatu tindakan (perbuatan) yang didasari pemaksaaan, kemarahan, kejengkelan, frustrasi, emosi, depresi, dan lain-lain, yang disebabkan berbagai alternatif faktor dalam kehidupan, baik sosial, ekonomi, psikologis, budaya, dan lain sebagainya. Sehingga adalah tidak mudah menyelesaikan kasus-kasus kekerasan (eigenrichting) yang terjadi di Indonesia. Kalau ada upaya penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud harus melibatkan banyak aspek, banyak pihak, yang harus saling sinergi antara aspek, pihak yang satu dengan aspek, pihak yang lain.179

Kekerasan, yang menunjukkan sisi lain dari keberanian masyarakat tersebut tidak lepas dari akar kriminogen makro dalam lingkaran rezim negeri ini yang membuat rakyat kehilangan kredibilitas kepadanya. Komunitas akar rumput makin diberikan tontonan sepak terjang elite kekuasaan atau pilar-pilar negara yang tidak memberi teladan dalam memegang teguh nilai-nilai kebajikan, kejujuran, kemanusiaan, dan keadilan.

Adapun yang ditonton atau mengakrabi kehidupan ”wong cilik” lebih sering pola-pola akrobat yang ditunjukkan komunitas elitis kekuasaan, apa kekuasaan ini di ranah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, yang 177

Ibid. 178

E. Sahetapy, Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Komisi Hukum Nasional (KHN), Jakarta, 2002, hal. 14.

179

Sumijati, Manusia dan Dinamika Budaya; Dari Kekerasan Sampai Baratayuda,Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF), Fakultas Sastra UGM & BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 2001, hal.8.

akrobatnya berbentuk pendegradasian amanat, menyelingkuhi jabatan, mengomoditi kepercayaan, atau memalversasi kekuasaan yang dipercayakan rakyat (negara) kepadanya.

Keberanian rakyat yang bersifat reaksioner-radikalistik juga dapat dibaca sebagai ledakan perlawanan dari kondisi psikologisnya yang selama ini tertindas, dibuat gagap bersuara, atau diterpurukkan dalam berbagai bentuk ketidakberdayaan (empowerless). Mereka merasa kalau yang dilakukannya dalam bentuk opsi radikalistik merupakan ”jawaban” (gerakan) atas keteraniaayaan atau atmsofir keprihatinan yang menimpa dan menghegemoninya.

2. Praktik Malversasi

M. Bashori Muchsin180juga mengingatkan, akibat paradigma ”darah” (represip) yang berdalih negara selalu benar atau “king no wrongs” yang dikampanyekan atau dijadikan senjata utama oleh elit-elit negara, rakyat yang sudah lama ”disumbat” atau ”dimatikan” nyalinya jika harus berhadapan dengan negara, korporasi yang berelasi dengan keluarga rezim atau pilar-pilar proyek-proyek yang membawa bendera pembangunan nasional, akhirnya tidak bisa menahan kesabaranya lagi, dan meledakkanya dalam wujud gerakan radikalistik.

Mereka itu memang telah terluka sekian lama dan berkali-kali, akan tetapi sebenarnya dibalik kondisi luka (tertindas) ini, mereka merindukan tampilnya sosok pemimpin atau elite yang bisa membahasakan ketertindasannya. Dari perlawanan yang ditunjukkan, sejatinya mereka ingin memanggil kepedulian atau menghidupkan komitmen ”atasan” atau pilar-pilar strategis di negara ini untuk jadi penguasa yang sahih dalam mengemban amanat.

Bilamana penguasa itu mampu menunjukkan peran-peran sejati dan sucinya sebagai mediator, mobilisator dan advokator atas hak-hak rakyat, maka penguasa itu layak distigma kapabel dalam menjalankan etos kepemimpinannya yang berpondasi amanat dan cinta.

Pemimpin (penguasa) yang tidak merasa bahwa kepemimpinannya mengandung amanat akan cenderung jadi pemimpin yang khianat. Sedangkan sikap khianat dapat mendatangkan (mengakibatkan) negara ini akrab dengan madarat (kejelekan/kerusakan) dan kehancuran, minimal mengundang rakyat menghalalkan ”eigenrichting”.

Rakyat akan diantarkan oleh sosok penguasa (pemimpin) pembudaya malversasi kekuasaan seperti itu pada kondisi kehinaan, banyak dihimpit penderitaan, akrab dengan kesulitan yang menyesakkan

180

sendi-sendi kehidupan atau sulit terbebaskan dari ancaman kemiskinan sistemik dan absolut.

Sosok penguasa itu tidak menempatkan atau memberdayakan sumpah jabatannya sebagai penggerak struktural atau nafas kelembagaan yang mendukung dan memperlancar kepentingan rakyat, pencari dan perindu keadilan, dan sebaliknya hanya memproduksi dan menyebar kesengsaraan, serta memperluas ”silent tsunamy” yang bukan tidak mungkin di kemudian hari meledak jadi malapetaka kemanusiaan.

Memang, sosok penguasa yang mengabaikan amanat berarti memilih jalan yang zalim (jahat), yang terjebak pada praktik mafia struktural, dehumanisasi, arogansi, despotisasi, “kriminalisasi pembangunan” atau beragam malversasi kekuasaan, yang membuka kran selebar-lebarnya bagi penderitaan rakyat.

3. Hukum, kode etik profesi, dan eigenrichting

Diingatkan oleh Firman Gumilang181bahwa dampak komplikatif yang harus dibayar dari praktik malversasi kekuasaan atau praktik patologis itu antara lain tereduksi dan terkooptasinya rasa sayang pada rakyat, rakyat kehilangan kredibilitasnya pada penguasa, rakyat mudah terjebak pada aksi ekstremis-radikalistik dan praktik “main hakim sendiri” (eigenrichting), rakyat jadi sengsara atau tercerabut hak-hak publiknya (public rights), dan rakyat juga tidak percaya dengan kode etik profesi.

Dalam kondisi seperti itu, kebijakan pembangunan (negara) yang berembrio dari negara tidak akan tulus disambut oleh masyarakat secara optimistik dan objektif. Masyarakat pesimistis kalau kode etik profesi yang disusun di berbagai institusi penegak hukum akan berjalan dengan baik, karena banyaknya penegak hukum yang diketahui oleh masyarakat telah melakukan pelanggaran norma, baik norma hukum, etika maupun agama.

Masyarakat merasa ketakutan dan menunjukkan berpraduga bersalah terhadap ucapan dan tindakan benar yang ditawarkan penguasa, sebab mereka sudah demikian akrab dengan kezaliman yang ditolelir, keadilan yang dikalahkan, kejujuran yang “mahal” harganya dan kebijakan negara atau elitis yang tidak berpondasi kebajikan, keterbukaan dan kemanusiaan. Kalau sudah demikian, apa saja produk hukum negara atau etika profesi akan dimentahkan dan dikalahkan oleh praktik seperti main hakim sendiri (eigenrichting).

181

Firman Gumilang, Rezim Gampang Membunuh, makalah disampaikan dalam diskusi

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 121-125)