• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar Teori Hukum Dalam Hubungannya dengan Etika

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 44-48)

Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika adalah “teori hukum sibernetika”. Menurut Winner, teori ini mendeskripsikan, bahwa hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang menurut premis yang mendahuluinya disebutnya sebagai “central organ”. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara demikian, setiap individu diharapkan berperilaku sesuai dengan perintah, dan keadilan dapat terwujud karenanya.64

Teori itu menunjukkan tentang peran strategis pemegang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk membuat (melahirkan) hukum. Dari hukum yang berhasil disusun, diubah, diperbaharui atau diamandemen ini, lantas dikonsentrasikan orientasinya untuk mengendalikan komunikasi antar individu dengan tujuan menegakkan keadilan. Melalui implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapkan perilaku setiap individu dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam dalam sengketa, konflik atau pertikaian, lantas dicarikan

64

lili Rasyidi dan LB Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 58.

landasan pemecahannya dengan mengandalkan kekuatan hukum yang berlaku.

Pada tahapan cita-cita ideal itu, kalangan praktisi hukum yang juga menempatkan dirinya sebagai unsur penting dan strategis dalam organ kekuasaan dituntut berupaya secara optimal untuk mengindahkan, menyesuaikan dan mempertemukan antara tugas dan kewenangannya sesuai dengan perintah hukum dengan kaidah-kaidah etika yang berlaku di tengah masyarakat.

Praktisi (penegak) hukum memiliki otoritas untuk memberlakukan dan memberdayakan hukum. Apa yang terumus dalam hukum merupakan pusat rujukan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas ini, penegak hukum dituntut untuk bisa menciptakan komunikasi hukum dan moral yang bermuatan atas dinamika kehidupan kemasyarakatan, termasuk menempatkan fenomena, pertumbuhan dan berlakunya kaidah-kaidah moral yang dijadikan pijakan solusi bagi masyarakat dalam menghadapi masalah atau kasus-kasus sehari-harinya. Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, masyarakat juga seringkali membuat kesepakatan baru atau memperbarui (mengamandemen) kesepakatan-kesepakatan lamanya yang dinilai sudah kadaluarsa atau tidak signfikan dengan perkembangan dan akselerasi kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, kalangan penegak hukum yang bermaksud memasuki jaring-jaring normatif kehidupan di tengah masyarakat, niscaya ditantang untuk merumuskan suatu paradigma sistem komunikasi hukum yang dapat mengarahkan (membimbing) masyarakat agar makin terdidik menggunakan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau setidak-tidaknya dapat mempertemukan antara kaidah-kaidah moral yang diakui dan disepakati di tengah masyarakat dengan perintah norma hukum, sementara yang kontradiksi dengan hukum dapat dieliminir dan ditinggalkan.

Meski hal itu tidak bisa dilakukan secara revolutif, tetapi jika dilakukan upaya sungguh-sungguh, sangat dimungkinkan akan terjadi transformasi atau pergeseran nilai-nilai, pemahaman dan pola berperilaku, yang bisa menyandingkan antara norma-norma sosial dengan norma hukum. Transfor-masi nilai-nilai akhirnya bukan menjadi hal yang menakutkan, tetapi mendatangkan kemanfaatan.

Cukup wajar kalau masyarakat seringkali melakukan berbagai tindakan seperti reaksi atau penolakan terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, karena memang posisi masyarakat (kelompok dindividu) dalam sistem komunikasi hukum lebih sering dijadikan “objek” dibandingkan dengan pemberian kesempatan yang berstatus sebagai “subjek hukum” yang punya hak melakukan tawar-menawar, mengajukan keberatan, penolakan dan bahkan berposisi dari berbagai pola represip

yang menggunakan pembenaran yuridis atau kekuatan hukum yang diberi “jiwa represip”. Padahal masyarakat juga memiliki landasan moral yang dapat diajukan sebagai kekuatan untuk menyelematkan kehidupannya.

Landasan moral yang dimiliki oleh masyarakat baik yang bersumber dari ajaran agama, ideologi maupun produk kesepakatan-kesepakatan sosial seringkali tidak bisa dipungkiri memiliki kekuatan yang lebih tinggi dalam hal ditaati dan dipuja-puja oleh anggota masyarakat, kelompok dan individu. Mereka ini meyakini kebenaran dan kekuatannya (moral) dinilai sanggup menyelamatkan dirinya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sebagai contoh misalnya ”ada berbagai saran dari elemen masyarakat, bahwa untuk dapat menghasilkan hakim agung yang berkualitas, maka dalam proses seleksi KY hendaknya lebih jeli melihat latar belakang calon yang ada. Jangan sampai KY kecolongan. Calon hakim agung haruslah orang yang memiliki latar belakang atau track record terbaik, terutama tidak pernah tersangkut perkara hukum. Misalnya, terkait perkara korupsi. Jika ini tidak diperhatikan tentu saja akan menghasilkan pejuang keadilan yang tidak adil. Itu hanya akan menghasilkan pejuang keadilan yang suka mempermainkan hukum dengan memperjualbelikan perkara. Di samping itu, jika calon yang muncul itu orang-orang bermasalah, maka akan dapat memperlambat atau mempersulit proses seleksi. Padahal MA sangat membutuhkan hakim agung dengan segera.65

Persepsi publik terhadap kinerja aparat hukum dalam menangani kejahatan kelas kakap yang cenderung kehilangan kepercayaan, sebaiknya dijadikan cambuk untuk lebih memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas penganganan kejahatan berskala besar. Banyaknya perkara korupsi di Pengadilan Negeri yang diputus bebas, tentu bisa menjadi potret buram pemberantasan korupsi secara nasional.66

Menurut Schrode & Voch sebagaimana dikutip oleh Satjipto,67 pemahaman dasar yang terkandung dalam sistem menyangkut adanya tujuan, keseluruhan (wholism), saling berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, transformasi, adanya kecocokan satu sama lain (keterhubungan), dan adanya kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu.

Bersandar pada karakteristik suatu sistem di atas, maka sistem hukum secara umum dapatlah diartikan sebagai kumpulan yang terdiri dari berbagai elemen yakni norma, asas, konsep, teori-teori yang saling terkait satu sama lain dan pula saling mempengaruhi dalam suatu “bangunan” hukum. 65

Oksidelfa Yanto,Memilih Hakim Agung Terbaik, Suara Karya, 28 Pebruari 2008. akses 12 Pebruari 2013

66

Marwan Mas, Buramnya Penegakan Hukum 2006, Republika, Selasa, 02 Januari 2007, akses 12 Pebruari 2013

67

Keterkaitan antara elemen itu disebabkan oleh adanya asas dan atau beberapa asas sedangkan saling mempengaruhi lebih disebabkan adanya perbedaan konsep antar elemen itu sendiri. Hukum dalam konsep kontinental berbeda dengan hukum dalam konsep Anglo-saxon dan bahkan perbedaan yang demikian dapat dilihat pula perbedaan konsep dalam hukum adat maupun dalam konsep hukum Islam.

Mengupas sistem hukum dapat berarti membahas gambaran tentang bagaimana hukum itu menampakkan dirinya atau bagaimana hukum itu ada dalam pengertian bekerjanya sesuatu yang dinamakan hukum. Membahas sistem hukum bermakna meninjau secara menyeluruh tentang apa dan bagaimana hukum itu bekerja dari sudut pendekatan sistem.

Bekerjanya suatu hukum tak lepas dari adanya bangunan hukum. Sebagai bangunan sistematis, ia memiliki beberapa hal penting sebagai penunjang yakni struktur, kategori dan konsep. Ketiga elemen ini menempati substansi mendasar dalam mana hukum bekerja untuk kemudian berperan yang menurut John Rawls menjadi “a coercive order of public rules addressed to rational persons for the purpose of regulating their conduct and providing the framework for social cooperation”. Mengakomodir pandangan John Rawls ini, bekerjanya hukum ini menurut Hari Chand disebabkan adanya beberapa rasionalitas praktis yang memenuhi tiga aspek masing-masing “value, right and moral worth, relates to social and institutions”.68

Konsepsi tentang hukum selalu ada dan sekaligus merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari adanya dalam suatu sistem hukum. Bagaimana hukum yang dipahami, gambaran hukum yang bagaimana yang menjadi

idée, serta hukum yang bagaimana yang timbul atas kebutuhan manusia merupakan wujud pemikiran mendalam dari manusia untuk memahami hukum itu sendiri. Pendapat Stammler yang menegaskan bahwa “the concept of law is the technical legal science which concerns with a legal system. It is the sum of laws which may be found in a legal system69 memiliki keterkaitan dengan pemahaman dalam menghasilkan berbagai konsep berikutnya.

Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum. Di sinilah bermula masuknya dunia politik sekaligus di sinilah hubungan kausalitas antara politik dan hukum menjadi lebih

significant. Adalah tepat ungkapan Mahfud MD70 yang menggambarkan

68

Hari Chand, Modern Jurisprudence, 1994, International Book Services, Kualalumpur, p 51. 69

Hari Chand, Op Cit, hal 49 70

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, 1999, Gramedia, Jakarta, hal. 69

kausalitas itu dengan ungkapan: “dalam realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakangi. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.”

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 44-48)