• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kartel Penyimpangan Reformasi Hukum

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 125-128)

1. Belajar dari Sejarah

Sejarawan kemanaan TS Illiot berpesan182, belajarlah dari sejarah, maka akan banyak “modal” besar yang kita dapat untuk melakukan perubahan. Dari sejarah, seseorang bisa berguru dalam membangun sikap dan perilaku yang baik, berkeadaban, dan berkemanusiaan.

Hal Itu menunjukkan, seseorang yang mau belajar dari sejarah, dirinya akan mempunyai kuda-kuda yang kuat dalam memainkan peran dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun elemen strategis bangsa. Dalam sejarah, terdapat hikayat sepak terjang manusia, yang diantaranya memproduk peran kebermaknaan.

Belasan tahun sudah (21 Me1 1998) sejarah perjalanan reformasi bergulir. Di belasan tahun lalu ini, sejarah telah mengukir riwayat kekalahan Soeharto akibat desakan dan perjuangan komunitas reformis. Soeharto berpidato untuk mengalihkan kekuasaannya pada Habibie, yang pengalihan kekuasaan ini bisa dibaca sebagai momentum kemenangan supremasi moral.

Kalangan reformis itu membangun gerakan bukan semata demi menggulingkan Soeharto, tetapi sejatinya demi “menggulingkan” berjalannya (mengabsolutnya) dan menghegemoninya model kartel kekuasaan yang mengakibatkan jagad hukum berpenyakit impoten, lumpuh, diskriminatif, dan gagal menyuarakan keadilan. Kekuasaan yang selama dipegang Soeharto berkibar kuat akibat sokongan elite ekonomi yang berkartel dengan birokrat dan politisi, serta militer, membuktikan kalau prinsip regime is power mampu menggagalkan bekerjanya idealisme hukum.

Kegagalan dunia hukum dalam mengapresiasi dan memediasi hak-hak pencari keadilan, serta tercengkeramnya elemen penegak hukum oleh rezim yang memanglimakan model kartel kekuasaan sebagai “hukum itu sendiri”, telah mengakibatkan masyarakat, yang diwakili oleh mahasiswa, beraksi untuk melengserkan atau memaksa Soeharto turun tahta.

Soeharto yang sering diidentikkan oleh masyarakat sebagai “Mr King” memang senyatanya, dalam 32 tahun kekuasaannya, telah mengakibatkan hukum tak lebih dari sekedar kumpulan ide-ide cerdas yang berjaya sebagai macan kertas, dan bukan sebagai macan kertas yang bisa mengaum keras dalam realitas yang dibuktikan dengan menjaring (mempertanggungjawabkan) siapa saja secara egaliter yang

182

bermasalah atau menjadi kumpulan manusia berstigma pelaku kejahatan istimewa (exstra ordinary crime).

2. Reformasi hukum yang sia-sia

Sayangnya, usia reformasi yang berjalan 13 tahun ini masih belum banyak memberikan “berkah” bagi jagad hukum. Dari sisi penerapan hukum, masih terjadi paradosal antara idealismedas sollendengan das-seinnya. Hukum tidak berjalan simetris antara apa yang diharapkan oleh rakyat dengan apa yang diterapkan oleh aparat. Harapan rakyat untuk melihat hukum menunjukkan kedaulatannya, ternyata masih sebatas perjalanan kosong atau setengah hati.

Memang kalau dari sisi das sollen produk peraturan perundang-undangan, sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998, negara benar-benar bersemangat atau bergairah besar dalam bidang produk legislasinya. Terbukti ratusan produk legislasi dengan dana sangat besar sudah dikonstribusikan oleh negara demi mengisi tuntutan penyelesaian agenda reformasi, yang salah satunya bertajuk reformasi hukum.

Dengan mengacu pada capaian (kinerja) DPR perioode 2004-2009 yang dalam lima tahun menyelesaikan 193 RUU, maka DPR perioode 2009-2014 untuk menyelesaikan RUU dalam jumlah sama, annggaran yang akan dihabiskan mencapai lebih dari Rp. 1. Trilyun dalam lima tahun. Menurur Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Ignatius Mulyono, anggaran negara yang disediakan untuk membiayai pembahasan satu rancangan undang-undang (RUU) di DPR semakin besar. Biayanya mencapai Rp 5, 8 miliar. Anggaran itu membengkak sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan lima tahun lalu yang hanya Rp 560 juta.183

Meski begitu, dari sisi das seinatau realitasnya di lapangan, aparat masih lebih akrab menyakiti atau mereduksi mimpi pencari keadilan. Keberpihakan aparat pada sosok berstigma (berdasarkan bukti permulaan) sebagai tersangka yang berdekatan atau berelasi strategis ekonomi dan politik dengan elite kekuasaan, benar-benar dibuktikan, yang mengakibatkan wajah jagad hukum tidak ubahnya berada dalam cengkeraman kartel kekuasaaan di rezim Orba.

Bagaimana mungkin negeri ini bisa menjadi negara yang benar-benar demokrasi, kalau yang dikibarkan adalah praktik-praktik pembangkangan atau pembusukan hukum (legal decay). Negara ini tidak akan mungkin terkonstruksi sebagai “negaranya rakyat” atau payung berkepastian hukum bagi para pencari keadilan ketika cengkeraman para bandit, para pembengkok, atau para ”penjagal” norma hukum masih menjadi “hukum itu sendiri”, atau sibuk membangun dan mengokohkan kartel pembusukannya.

183

Kesejatian republik demokrasi membutuhkan kawalan utama dari norma yuridis. Tanpa kawalan ini, maka demokrasi, yang menjadi nyawa atau ”jati diri” negara hukum, akan mati atau kehilangan keberdayaannya. Demokrasi tidak bisa meninggalkan hukum, mengingat norma-norma yuridis merupakan pedang yang mengawal hidup matinya demokrasi. Demokrasi yang tidak terkawal akan mudah ditelanjangi dan sebatas dijadikan pengabsahan ambisi seseorang dan golongan184.

Demokrasi yang dijadikan kendaraan politik kepentingan kalangan oportunis dewan, ongkos para pemain kekuasaan yang berkartel dengan pemodal, konglomerat hitam, broker, ”pedagang-pedagang” bermental tamak, atau “tangan-tangan gaib” (the invisible hans), yang membuat problem besar hukum sulit mencair dalam ranah peradilan independen dan berkejujuran, sejatinya sebagai cermin kekalahan fatal elemen penegk hukum dalam mengawal demokrasi.

3. Kode etik Profesi dan Negara tanpa Hukum

Label buruk yang melekat pada negeri ini sebagai “negara tanpa hukum” (state without law), republiknya para kleptokrat elite atau negerinya kekuatan fundamental bangsa yang gampang meminggirkan keadilan merupakan cermin, bahwa tidak sedikit aparat penegak hukum yang kebiasannya atau kegemarannya mempermainkan hukum, yang memperlakukan dunia peradilan tidak ubahnya toko swalayan, yang menyerahkan dan meliberalisasikan komunitas pencari keadilan atau orang-orang yang sedang terlibat dalam suatu kasus hukum untuk ”berbelanja” sesuka hati, atau merekaysa pemberlakuan hukum sebagai obyek yang dikonsumsi sesuka hati. Sementara itu, mereka yang terkena kasus menilai, bahwa dunia hukum tidak ubahnya pasar atau ”barang dagangan” yang bisa dijadikan ajang jual beli sesuai dengan kemampuan (selera) pembeli dan pihak yang menjualnya.

Sebagai contoh: masih terdapat kasus yang melibatkan oknum polisi yang idealnya sebagai aparat penegak hukum justru melakukan tindakan ilegal yang melanggar hukum itu sendiri. Lihat saja misalnya kasus tuduhan rekening gendut sejumlah petinggi polisi, dugaan keterlibatan polisi dalam beberapa kasus lllegal logging, kasus suap dan jual-beli kasus, atau kesan polisi yang tidak tegas dalam menindak ormas-ormas yang bertindak anarkis mengatasnamakan agama sebagai pembenaran. Kasus-kasus tersebut membuat kita bertanya apakah polisi di republik ini masih mampu kita andalkan untuk mewujudkan rasa aman dan tenteram kepada masyarakat.185

184

AE. Machmud,Negara Hukum dan HAM,Pustaka Mitra, Surabaya, 2009, hal. 3. 185

Ni Ketut Rai Kartini,Diperlukan Integritas dan Kredibilitas Penegak Hukum, Balipost, 26 Agustus 2010, diakses tanggal 15 Pebruari 2013.

Begitupun jika meminjam pendapat dari David Braybroke, bahwa konsepsi “rechtsstaat” maupun konsepsi “the rule of law” sebenarnya menempatkan hak-hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu ciri khasnya.186 Namun ketika kesejatian ini terus digerogoti dan ditelanjangi oleh elite kekuasaan yang berkartel dengan konglomerat dan penegak hukum, maka negeri ini tidak ubahnya ”negeri mati”. Kode etik profesi di kalangan penegak hukum menjadi kehilangan daya berlakunya akibat besarnya kepentingan yang dikedepankan oleh oknum penegak hukum.

Bagi suatu negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya pemerintahan. Kalau dalam pemerintahan ini misalnya, perlindungan HAM, seperti hak pencari keadilan baik privat maupun publik sering direndahkan, maka negara ini tersulap dengan sendirinya sebagai negeri tiran, diktator, dan otoriter, meski produk (pembaruan) legislasinya lancar (memenuhi target).

F. Bahasa Darah, Bahasa Peradilan, dan Bahasa Kode

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 125-128)