• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksaminasi Negara Hukum

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 92-96)

”Ganti pejabat, ganti mobil.” menjadi adagium lazim setiap terjadi suksesi mulai dari pusat hingga daerah. Misalnya suatu ketika negara (pemerintah) mendistribusikan mobil mewah Sedan Toyota Crown kepada sebagian pejabatnya. Penggunaan mobil dinas seharga Rp 1,3 miliar ini mendapatkan kritik keras (meski sekarang sudah dilupakan atau dianggap hanya angin lalu), karena tidak menunjukkan adanya sense of crisis pada rakyat.

Untuk mengingatkan atau menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa apa yang dilakukan oleh negara itu menunjukkan ketidak-bijakannya, karena negara tidak mempan atau mengabaikan imunitas pengritiknya. Negara seperti menganggap kalau apa yang dilakukannya sudah menjadi tradisi dan diskresi yang tidak bisa dikoreksi. Misalnya meskipun mobil dinas Sedan Camry seharga Rp 500 juta lama masih bagus, tetapi negara tetap saja memaksakan menggantinya. Bagi masyarakat yang awam, tentulah timbul tanda tanya, ada apa dengan pemaksaan kebijakan demikian?

Bandingkan dengan sejunmlah daerah, yang mencoba mengalokasikan mobil dinas untuk 50 anggota dewan atau 50 unit mobil dinas, yang secara keseluruhan menelan biaya “hanya” Rp. 2,5 miliar sudah mendapatkan reaksi penolakan dari elemen masyarakat, maka tentu saja suatu keharusan kalau satu Mobdin dengan harga miliaran rupiah juga mendapatkan reaksi penolakan yang lebih keras.

1. Negara ikut Mengumpankan Godaan

Negara memberikan fasilitas pada pilar strategis atau pejabat yang hendak menunaikan tugas berat memang sudah seharusnya, karena melalui fasilitas yang disediakan negara, pejabat ini diharapkan bisa menunaikan tugas atau menunjukkan kinerjanya secara maksimal. Sayangnya sudah seringkali negara berlaku berlebihan dalam memberikan sarana pada elite atau para pejabat strategis. Mereka bukannya diajak bagaimana seharusnya menggunakan APBN dengan selektif, efektif, dan humanistik, serta benar-benar berbasis kepentingan rakyat, tetapi digunakannya secara boros, tidak seirama dengan kondisi empirik masyarakat, dan bahkan mengandung akar kriminogen, yang memungkinkan terjadinya akselerasi (percepatan) korupsi.147 Akar kriminogen ini bernama pemborosan. Seseorang yang diberi kesempatan boros atau memanjakan diri, akan tergiring dalam kecondongan menggunakan uang secara berlebihan148

Reaksi masyarakat terhadap gaya hidup bermewah-mewah dan berkemasan “serba uang” yang dilakukan elite pejabat atau selebriti politik kita selama ini, khususnya yang meminta fasilitas negara secara berlebihan, bukan berarti melarang pejabat atau selebriti politik ini disediakan fasilitas memadai, akan tetapi yang dituntut oleh masyarakat adalah pola kebijakan negara yang berlebihan atau bercorak memanjakannya.

Kebijakan negara yang berpola berlebihan selain layak dikategorikan mendukung terwujudnya kultur hidup bermewah-mewahan di kalangan elite kekuasaan dan selebriti politik, juga dapat membuka kran terjadinya akselerasi korupsi. Kendaraan mahal menuntut pengalokasian biaya pemanfaatan atau perawatan yang cukup mahal pula. Akibat besarnya biaya ini, kita layak mempraduganya lebih lanjut, bahwa mobdin mahal ini menjadi “kendaraan” yang mempercepat laju korupsi, minimal “korupsi terselubung” yang berlindung dibalik pembenaran legalitas APBN.

Pola berlebihan atau bermewah-mewahan identik dengan pemborosan, apalagi ini dilakukan di saat negara seharusnya melakukan penghematan atau mewujudkan budaya “mengencangkan ikat pinggang”. Ironisnya lagi, pemborosan ini dilakukan oleh negara atau pilar-pilarnya, yang seharusnya di samping paling cerdas, intelektualistik, dan humanistik dalam menerjemahkan kondisi riil masyarakat, juga 147

Salah satu akar penyebab korupsi adalah ketidakmampuan seseorang mengendalikan dirinya dari kecenderungan mengikuti kemauannya, khususnya jika seseorang ini sedang menduduki jabatan. Fasilitas mewah bisa membuatnya terseret dalam arus gaya hidup serba mewah.

148

idealnya selalu memberikan teladan yang baik dalam melakukan efisiensi anggaran.

Karena pemborosan itu dilakukan oleh elite kekuasaan beratasnamakan negara dan berlindung dibalik legalitas kewenangan, diantaranya dalam memproduk legalisasi yang membuat “halal”-nya pemborosan anggaran negara, maka jenis penggunaan anggaran secara berlebihan ini masuk dalam ranah “korupsi” atas hak-hak rakyat miskin, komunitas lapar, kurang gizi, anak-anak drop out, dan elemen sosial lainnya yang sedang terpuruk dalam kepapaan atau ketidakberdayaan kompilatifnya.

Filosof Aristoteles149 pernah mengingatkan, “semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang dan kemewahan), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan, kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan”. Pernyataan filosof ini bertumpu pada rumus kausalitas, bahwa seseorang yang berkedudukan mapan sebagai elite negara, seharusnya tidak terjerumus dalam kehidupan serba mewah dan kesibukan berburu uang, mengingat pola demikian akan menghancurkan keadaban hidup bermasyarakat dan bernegara.

Kepentingan obyektif masyarakat akan banyak ditinggalkan, dipermainkan, dan bahkan dikorbankan secara sistemik, terlegalisasi, dan terorganisir oleh elite kekuasaan yang sibuk memanjakan diri atau dikerangkeng dalam kultur, kultus dan strukturisasi pemborosan anggaran (uang negara). Mereka tidak akan punya waktu luang berakrab-akrab dan memanusiakan rakyat akibat keseharian hidup dan aktifitasnya “diabdikan” demi memanjakan, mengeksklusifitaskan, dan menghedonisasikan diri dan kelompoknya.150

Kalau (sekarang) kemudian yang melakukan penolakan justru pejabat yang hendak menerima kemewahan atau pemberian negara, tentu saja sikap ini layak diapresiasi lebih lanjut, karena umumnya pejabat atau elite politik di pusat hingga daerah, umumnya lebih senang “dimanjakan” dengan berbagai bentuk fasilitas mewah, yang fasilitas ini berasal dari pemborosan uang negara.

Benar kata cendekiawan Syafi’i Ma’arif, bahwa di antara pejabat di negara ini memang banyak yang busuk atau suka melanggar norma yuridis, namun masih tidak sedikit diantaranya yang bermental baik. Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dalam kondisi hegemoni atau cengkeraman elite kekuasaan yang tidak bermoral, nakal, hobi memboroskan kekayaan negara, menyalah-alamatkan anggaran dinas

149

Abdul Wahid,Op.Cit, hal. 15 150

dan rakyat, atau suka menyelingkuhi sumpah jabatannya, ternyata masih ada cahaya yang ditunjukkan oleh pilar negeri ini.

2. Penegakan Kode Etik

Kasus pengembalian Mobdin yang berparadigma sense of crisis

atau kepekaaan pada kondisi rakyat yang masih mengidap ketidakberdayaan (empowerless) di berbagai sektor strategis layak dijadikan kiblat moral yang memberikan cahaya bagi elitis di era sekarang dan masa mendatang. Pelakunya layak ditempatkan sebagai sosok yang mengerti, peka, atau mampu menerjemahkan kondisi riil masyarakat dalam ranah komitmen jabatannya.

Cahaya tersebut akan lebih bersinar terang, bilamana diikuti oleh pejabat negara atau elite strategis lainnya untuk bersama-sama menolak pemanjaan atau tawaran pemborosan yang diberikan negara. Penolakan pemborokan secara kolektif akan berdampak luas bagi citra Indonesia. Dukungan dari elemen strategis atau pejabat lainnya bukan hanya akan memberikan koreksi pada gaya anomalitas elemen negara, tetapi juga pencitraan sejati dirinya di tengah masyarakat Indonesia dan percaturan global.

Penolakan itu juga bermanfaat bagi elite pejabat di berbagai lini strategis, termasuk lini peradilan untuk membentengi dirinya dari kemungkinan terjebak dalam kultur pemborosan hingga pembocoran APBN. Kasus Mobdin (berkategori mewah dan pemborosan) merupakan sampel eksaminasi moral negara hukum, karena bisa membuat aparatnya lebih sibuk memikirkan “negara” daripada “warga negara”.

Kemewahan yang diberikan oleh negara, secara politis akan membuat elitis peradilan lelap tertidur, terkonsentrasi pada kesibukan menjaga mobdin dari kemungkinan “diserempet” (disenggol) sepeda pancal, menikmati gaya bermalas-malasan, tidak bersahabat dengan lingkungan sosial, atau tidak pernah berkeringat saat mendapatkan tantangan berat, di samping sibuk mencari dalil yang membenarkan pemanfatan dan perawatannya. Kalau mereka sampai terkerangkeng dalam kondisi demikian, cahaya keadilan dan keadaban yang diobsesikan masyarakat bisa secepatnya menyinari negeri ini rasanya mustahil akan bisa terwujud.

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 92-96)