• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksaminasi Penegak Hukum Jalanan

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 150-153)

BAB VI KODE ETIK PROFESI, LEMBAGA PEMASYARAKATAN

B. Eksaminasi Penegak Hukum Jalanan

1. Eksaminasi Korp Kepolisian

“Polri masih lekat dengan misteri”210, demikian ujar seorang pakar dalam diskusi terbatas dengan penulis. Ia menyebut, kalau dalam tubuh polri banyak rahasia yang tidak gampang dijamah oleh publik, khususnya misteri di kalangan elitnya. Begitu ada elemen strategis polri yang sebenarnya hanya melakukan hal biasa dan tergolong wajar, seperti yang dilakukan setiap warga masyarakat pada umumnya, serta merta mengundang opini atau penilaian di sana-sini.

Dalam kasus Susno misalnya, apa yang dilakukannya dengan menghadiri persidangan Antasari adalah suatu jenis perbuatan hukum yang wajar, yang sudah terbiasa dilakukan oleh warga negara ini yang kebetulan berurusan dengan hukum. Bahkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, kehadiranpublic figuredalam persidangan tidak lagi menjadi sesuatu yang luar biasa. Masalahnya mengapa kehadiran Susno dalam persidangan Antasari harus mengundang kegundahan disana-sini.

Indonesia ini sudah digariskan oleh konstitusi sebagai negara hukum (rechstaat), yang konsekuensinya, setiap elemen masyarakat, tanpa kecuali (equality before the law) harus mempertanggungjawabkan atau dipertanggunguawabkan secara yuridis, manakala sikap dan sepak terjangnya memang bermasalah secara yuridis.

210

Anang Sulistyono, Polri dan Virus Penegakan Hukum, makalah disampaikan dalam diskusi terbatas di Fakultas Hukum Unisma, tanggal 13 Juni 2010, hal. 2.

Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan formal tapi lebih daripada itu ia merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma, seperti, kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, dan berbagai ajaran filsafat sosial, serta pengalaman hidup bangsa Indonesia. Kalau begitu masalah yang dihadapi Negara Hukum Indonesia (NHI) bukan pada ketiadaan nilai dan norma yang disepakati bersama yang mendasari eksistensi NHI tersebut. Tapi masalahnya terletak pada belum terwujudnya tata hubungan kekuasaan yang simetris dan adanya elemen-elemen kultural yang menghambat perwujudan NHI itu.211

Kosakata “setiap atau segala warga negara” mengandung makna non-diskrikiminatif, yang berarti setiap penyelenggaraan (penegakan) hukum di negeri ini, siapapapun orangnya, dari kasta manapun, dan apapun jabatannya, harus berasaskan akuntabilitas yuridis berbasis egalitarianisme. Tidak boleh seseorang yang sedang berperkara atau terlibat perkara dibedakan (didiskriminasikan) oleh penegak hukum dalam ranag pertanggungjawaban hukumnya.

Seseorang yang memasuki wilayah persidangan misalnya tidak boleh dilihat sedang mengenakan apa, baju seragam dari korp mana, atau dalam hirarkhis kekekuasaan tingkat apa, tetapi wajib diperlakukan sesuai dengan kebutuhan proses hukum yang berlaku. Persidangan merupakan bagian dari bekerjanya sistem hikum yang diamanatkan konstitusi, sehingga siapapun yang tampil, berusaha menampilkan diri, atau ditampilkan di persidangan, harus dihormatinya.

Ketika Susno hadir dalam persidangan kasus Antasari, maka apa yang dilakukannya identik yuridis dengan apa yang dilakukan orang lain yang berusaha menyampaikan keterangan atau memmberiksan kesaksian (testimoni) terhadap apa yang diketahuinya. Kesaksisnnya menjadi kebutuhan logis dalam penegakancriminal justice system,yang antara lain bertujuan demi terungkapnya kasus yang sedang dipercayakan pada pengadilan untuk membongkarnya.

Kalau dilihat dari kacamata kebutuhan peradilan dan “panggilan” konstitusi, apa yang dilakukan tersangka atau terdakwa (Susno) tidak bisa dikategorikan sebagai perlawanan terhadap korp kepolisian. Apa yang dilakukannya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan “wong alit” saat dipanggil oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengikuti proses peradilan.

211

Abdul Hakim Garuda Nusantara, www.komnasham.go.id/.../AHGN-Menuju_ Negara_Hukum_Indonesia.diakses tanggal 27 Agustus 2010.

Kebiasaan yang berlaku selama inilah yang membuat elite tertentu tampak istimewa di ranah publik, artinya saat elite berperkara secara yuridis atau dihadapkan dengan jagad peradilan, serta merta publik gencar menilai, mengevaluasi, dan bahkan mempolitisasinya, sementara saat masyarakat kecil yang berperkara secara hukum, aparat penegak hukum tidak terbiasa menjadikannya sebagai obyek istimewa. Saat masyarakat kecil memberikan kesaksian, peradilan dan jagad politik tidak gempar, sementara saat elite peradilan berperkara di peradilan, aparat penegak hukum mencoba menjadikannya sebagai obyek utama kinerjanya.

2. Penegak Hukum Jalanan di Jalan yang Benar

Memang seperti kata pakar di atas, karena di lingkaran Polri masih banyak misteri atau pola manajemennya belum keluar dari gaya eksklusifitasnya, akibatnya publik gampang tertarik untuk menilai dan menghakiminya saat mencuat sosok yang “sedikit” mengambil sikap berseberangan atau keluar dari pakem kultural dan doktrinal yang selama ini digunakan mengikat “warga” Polri. Protap misalnya, membuat Polri mempunyai pijakan yang jelas, akan tetapi jelasnya “panduan kinerja” ini bisa membuat “warga” polri kurang kreatif, takut mengambil keputusan cepat, atau miopik menghadapi kemungkinan resiko karirnya.

Marwan Has menyebut, bagi polisi, ada ungkapan ’’kaki kanan di kuburan, kaki kirinya di penjara’’. Lambat mengambil keputusan, siap-siaplah menjadi korban, atau tugas gagal dalam mengatasi problem sosial, yang mengakibatkan jatuhnya, sehingga korban dari kalangan masyarakat, atau terlalu cepat bertindak yang kemudian keliru dan tak sesuai dengan Protap (Petunjuk Tetap), sudah pasti berisiko sehingga polisi bersangkutan bisa meringkuk di penjara akibat dituduh melanggar disiplin dan norma hukum.212

Susno memang diantara yang sedikit sekali menunjukkan sikap berbeda di tubuh polri, tetapi ke depan lambat laun, orang seperti Susno, yang mencoba menunjukkan beberapa misteri di tubuh polri akan semakin banyak, minimal tidak taat mutlak pada doktrin, atau memperlakukan atasan bukan lagi sebagai sosok dewa, yang selalu harus diikuti semua perintah-perintahnya.

Atasan nantinya juga tidak dianggap sebagai pemegang otoritas tunggal atau suaranya tidak diposisikan sebagai “wahyu-wahyu” yang otomatis benar, bilamana banyak elemen komunitas polri yang gencar menuntut demokratisasi, egalitarianisasi, dan perlakuan-perlakuan inklusif.

212

Guru Besar Sosiologi Hukum, Satjipto Rahardjo, juga pernah mengatakan bahwa jaksa, hakim, dan pengacara merupakan sosok penegak hukum ’gedongan’. Sedangkan polisi adalah penegak hukum ’jalanan’, karena aktivitas kerjanya dapat dipantau publik, tersaji begitu terang, dan terbuka. Ancaman dan persoalan hukum yang dihadapi polisi di lapangan, tidak selamanya persis seperti teori–teori di dalam buku.213

3. Dari Kekurangan Menuju Prestasi

Apa yang diingatkan Satjipto itu sebenarnya mengingatkan polri secara umum, bahwa sehebat apapun Polri menyimpan atau mengamankan misteri dalam tubuhnya, namun karena aktifitas polri lebih memasyarakat atau berinteraksi terbuka dengan kepentingan publik, maka lambat laun masyarakat akan mengetahuinya. Masyarakat akan menerima kekurangan polri sebagai manusia pada umumnya yang bisa salah atau ”polri juga manusia” yang punya ambisi dan obsesi, bilamana polri tidak berusaha membentengi borok dalam dirinya sebagai kebenaran atau penyakit yang dilanggengkan bertahan.

”Warga” polri yang berusaha memberikan keterangan dalam proses peradilan merupakan wujud konsekuensi interaksi makronya dengan masyarakat, sehingga siapapun diantara ”warga” polri yang bertestimoni di pengadilan manapun, maka harus dihormatinya sebagai sosok elegan yang mencoba menunjukkan pada bangsa ini kalau polri itu memang benar-benar mandiri sesuai dengan kode etik profesinya dan siap menghadapi apapun dan siapapun demi resiko sakralitas profesinya serta masa depan korpnya.

Dalam dokumen DI ERA MALAPRAKTIK PROFESI HUKUM (Halaman 150-153)