Bidang Perumahan dan Permukiman
4.3. Aspek-aspek etika dalam ber-arsitektur Aspek Historis
[66]
etika, yang bersumber dari nilai luhur keyakinan spiritual yang dianutnya, sebagai pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawab profesional”, bahwa setiap landasan kode etik arsitek berangkat dari spiritual sebagai landasan yang membentuk dua kecerdasan selajutnya yaitu kecerdasan emosional yang dicerminkan melalui bersikap, serta kecerdasan intelegensia yang diekspresikan dalam berpikir.
Sehingga bila kita gambarkan lebih lanjut sepatutnyalah bahwa seorang arsitek di Indonesia harus memiliki landasan spiritual yang kuat, yang berasal dari agama yang dianutnya.
Disain sebagi sebuah produk dari etika akan memberikan nilai kebaikan bagi manusia dengan lingkungannya, ketika dalam proses disain etika arsitek tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, hal ini disampaikan juga oleh Andrian S dan Richard C yaitu “Architecture provides the quintessential interpretation of divinity, or at least of the relationship between the human and the divine”. Bahwa aspek ketuhanan merupakan nilai-nilai terdalam dari wujud arsitektur, sehingga kelahiran estetika tidak dapat dilepaskan dari aspek nilai- nilai ketuhanan, dalam hal ini bahwa dalam proses disain, seorang perencana harus memiliki tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelegensia (ESIQ), ESIQ seharus menjadi modal dasar dari seorang perencana untuk dapat menuangkan karya-karya yang memiliki keabadian, walaupun dalam hal ini keabadian diterjemahkan bukan keabadian mutlak, karena tak satu pun produk manusia memiliki keabadian mutlak, karena hanya satu yang memiliki sifat abadi dan Maha Abadi, yaitu Tuhan yang memiliki sifat kekal “Al Badii” atau “The Everlasting”. Namun bukan berarti manusia tidak boleh memiliki keabadian, hanya keabadian yang sifatnya tidak mutlak, masih ada batas-batas.
Level etika pada tingkat ketuhanan menunjukkan pada bentuk pertanggung- jawaban dari sebuah karya seorang arsitek, melalui nilai-nilai spiritual bahwa setiap tindakan manusia senantiasa akan diperhitungkan tidak saja hanya di dunia akan tetapi akan diminta pertanggung-jawabannya di akhirat nanti.
Ketika keyakinan ini dijalankan ketika berkarya dengan memegang etika disain bagi seorang arsitek profesional.
4.3. Aspek-aspek etika dalam ber-arsitektur
pada bangsanya ,dan telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Ketika moralitas baik ditinggalkan ,maka titik awal kehancuran suatu bangsa itulah yang menjadi catatan sejarah.
Demikian halnya dengan kejayaan arsitektur, merupakan pengejawantahan dari kejayaan nilai-nilai moral yang dianut oleh suatu bangsa, seperti kita ketahui bahwa beberapa bangunan megah yang masih memiliki keabadian, seperti Partenon, Piramida, Candi Borobudur dibangun oleh suatu bangsa yang bercita-cita untuk meraih nilai-nilai pengabdian pada ketuhanan, walaupun berbagai jenis tuhan yang dicari berbeda, akan tetapi keyakinan kepada super kekuatan yang diwujudkan dalam ketuhanan tersebut, telah membangun moral para pemimpin dan masyarakatnya untuk melakukan pembangunan.
Proses pembangunan tersebut telah membangun peradaban dalam bentuk nilai- nilai etika dan moral baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti kita dapat pahami nilai-nilai Feng Shui dapat saja sebagai sebuah pengejawantahan dari etika mendirikan bangunan pada masyarakat Cina, yang berkembang dan terasah oleh perjalanan waktu. Pada tahap ini dapat diperhatikan adanya keterkaitan antara geografis yang memengaruhi nilai-nilai tersebut, dimana dalam Feng Shui tersebut keberadaan alam menjadi pertimbangan disain, hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa sebuah etika tidak hanya berlaku bagi kepentingan hubungan antara manusia saja akan tetapi hubungan manusia dengan alam juga hubungan manusia dengan Tuhan-nya.
Atas dasar amanat kode etik arsitek pada mukadimah alenia ketiga, dimana
“Profesi arsitek mengacu ke masa depan dan bersama anggota profesi lainnya selalu memelihara dan mengacu perkembangan kebudayaan dan peradabannya demi keberlanjutan habitat”, demikian juga dalam kisi-kisi mata kuliah Etika Profesi dan Praktek Arsitektur menyatakan perkembangan etika tidak terlepas dari kesejarahan, seperti berikut “etika tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah budaya dan peradaban”. Yang juga tidak terlepas dari sisi geografis dan budaya yang dimiliki oleh konteks tempat tersebut.
Etika sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, dan nilai-nilai sangat tergantung terhadap kondisi sosial budaya yang dibatasi oleh waktu dan tempat, sehingga nilai-nilai yang dianut dalam etika dari satu tempat ke tempat lain dari satu waktu ke waktu lain dapat terjadi pergeseran. Terjadinya pergeseran nilai-nilai tersebut dapat memicu gugatan terhadap tindakan yang telah dilakukan berdasarkan nilai-nilai terdahalu, sebagai suatu gambaran etika yang digunakan dalam suatu keputusan disain yang dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai yang berlaku pada masanya, dan periode tersebut bila diwakili oleh periode kekuatan politik tertentu dan ketika kekuatan politik tersebut berganti maka keputusan disain yang diambil atas dasar arahan dari kekuatan politik lama, maka akan membuka peluang gugatan dari kekuatan politik baru.
[68]
Kondisi ini yang dinyatakan oleh Wasserman sebagai Uneasy Profession, dimana keputusan disain yang saat ini dianggap benar menurut nilai-nilai yang dianut oleh masanya belum tentu kelak masih dianggap benar. Seperti para arsitek yang beraliran modernism pada akhirnya digugat oleh generasi berikutnya yang menyatakan sebagai aliran post-modernism. Pada era kondisi sosial budaya saat itu sangat memungkinkan terbangunnya gerakan modernism, akibat perkembangan industrialisasi yang mengakibatkan urbanisasi besarbesaran serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan yang bekerja disektor industri, telah mendorong berkembangnya kawasan-kawasan kumuh dan menurunnya kondisi kesahatan lingkungan permukiman saat itu, akibatnya banyak keputusan disain yang dibuat untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut dengan mengabaikan unsur-unsur yang sifatnya humanisme serta estetika yang berlebihan. Bahkan para modernist sedikit mengharamkan ornamen pada bangunan, ornamen dianggap unsur-unsur tidak penting.
Diagram 3. Perjalan dan tahapan sejarah perkembangan arsitektur Dari Diagram 3. kita dapat lihat bahwa antara satu periode dengan periode lainnya saling menggugat, hal ini menunjukkan bahwa seorang arsitek tidak hanya cukup berpedoman pada nilai-nilai saja pada saat mengambil keputusan disain, akan tetapi yang paling penting dibalik nilai-nilai tersebut adalah keputusan disain yang di latar belakangi oleh moral dari asriteknya dalam menjunjung tinggi kebenaran dan kebaikan yang hakiki.
Aspek Sosial-Budaya
Sebagai tindak lanjutan dari amanah kode etik mukadimah alenia kedua“di dalam berkarya, selalu menerapkan taraf profesional tertinggi disertai integritas dan kepeloporannya untuk mempersembahkan karya terbaiknya kepada pengguna jasa dan masyarakat, memperkaya lingkungan, dan khasanah budaya”, sebagai gambaran kondisi kepedulian profesi terhadap keadaan sosial politik diperlihatkan oleh Architects and Planner for Justice in Palestine (APJP) berbasis di London, yaitu organisasi yang beranggotakan para perencana bangunan dari Inggris dan Israel, kelompok ini mendesak agar rekan-rekan seprofesi mereka di Israel serta dimana di belahan bumi ini agar senantiasa dapat menolak proyek-proyek yang apa kata mereka sebut sebagai
“penjajahan sosial, ekonomi, dan sosial”, dan bagi siapapun perencana yang
melakukan kegiatan tersebut dinyatakan sebagai penjajah, hal ini dinyatakan oleh APJP bahwa “Para arsitek dan perencana bangunan, dengan sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari situasi ini. Permukiman-permukiman Israel yang dibangun setelah perang tahun 1967 dan dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional, tidak akan terwujud tanpa bantuan arsitek”. Bahkan menurut laporan APJP bahwa Israel telah menghapuskan beberapa situs sejarah milik rakyat Palestina, yang keberadaannya dihapus oleh Israel dari peta.
Beberapa tahun yang lalu dikabarkan bahwa kelompok ini telah melakukan kampanye boikot terhadap arsitek Israel yang mengambil bagian dari proyek- proyek pemerintah Israel tersebut.
Hal ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari IAI, dimana kode etiknya mengatur hal tersebut, pokok pengaturan tersebut sesuai dengan standar etika 1.4. kode etik arsitek dimana dinyatakan bahwa “arsitek sebagai budayawan selalu berupaya mengangkat nilai-nilai budaya melalui karya, serta wajib menhargai dan membantu pelestarian, juga berupaya meningkatkan kualitas lingkungan hidupnya yang tidak semata-mata menggunakan pendekatan teknis-ekonomis tetapi juga menyertakan azas pembangunan yang berkelanjutan”, namun apakah dengan adanya pokok pengatur ini bahwa di negeri ini tidak terjadi proses penghapusan situs sejarah atau situs lingkungan seperti yang terjadi di Israel.
Sebagai satu gambaran kita akan bahas kasus Proyek Babakan Siliwangi, dalam konteks ini terjadi penjajahan ekonomi, dimana proyek tersebut oleh pengembang dan arsiteknya lebih mengedepankan aspek ekonomi ketimbang aspek lingkungan dan budaya. Jadi jelas perkotaan dan arsitektur saat ini sangat dikuasai oleh kepentingan bisnis, sadar atau tidak pertentangan Babakan Siliwangi antara sekelompok masyarakat yang mengusung kehidupan sosial yang diwakili oleh para seniman dan kepedulian lingkungan harus berkonflik dengan pengembang, dan peran pemerintah kota Bandung yang gamang, merupakan pencermikanan kekuatan dalam sistem kehidupan yang berpengaruh dalam perwujudan kota dan arsitektur. Pada kasus tersebut dapat kita lihat bahwa pengembang dalam hal ini lebih mengedepankan kepentingan ekonomi dan bisnisnya dalam pengembangan kawasan dan arsitektur Babakan Siliwangi, sedangkan kelompok masyarakat sangat peduli dengan kepentingan sosial masyarakat kota Bandung, Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau, sebagai nilai Historis berkaitan dengan Perjuangan Pasukan Siliwangi.
Dalam konteks pengembangan-pengembangan tersebut wujud arsitektur digunakan sebagai sarana untuk menjadi kaya, entah siapa yang kaya arsiteknya atau pemilik dan pengelola Babakan Siliwangi tersebut, yang jelas bahwa dalam kasus ini seorang arsitek seharusnya mampu menjadi penengah antara kepentingan politik, ekonomi dan sosial, karena kemampuan menengahi
[70]
tersebut dapat memberikan image arsiteknya yang pintar, baik dan kekayaan serta keterkenalannya juga dapat diraih.
4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur