• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kode etik hubungan arsitek Hubungan Arsitek dengan Client

Dalam dokumen arsitektur - perumahan (Halaman 94-102)

Bidang Perumahan dan Permukiman

4.5. Kode etik hubungan arsitek Hubungan Arsitek dengan Client

[74]

simbolis tertentu untuk meraih kesenangan bagi pemakainya. Lahirnya efek- efek simbolis merupakan cerminan dari pemikiran yang melihat jauh pada sudut pandang metafisik dan dapat mendorong ambiguitas yang cukup menonjol.

Pada uraian di atas dapat dilihat ada siasat yang dicitrakan oleh kelompok kapitalis untuk tetap mempertahankan eksistensinya, bahkan dirasakan atau tidak dirasakan oleh para arsitek, bahwa banyak arsitek di tanah air ini yang terbawa oleh siasat atau politik kapitalis tadi, sehingga banyak fungsi arsitek yang hanya mengamini keinginan pelaku kapitalis. Sebagai gambaran pada saat akan diadakan pembangunan sebuah mall di satu wilayah yang sebenarnya wilayah tersebut sudah mencapai titik kejenuhan dari fungsi mall, tersebut, maka ketika order tersebut jatuh kepada seorang arsitek, dia tidak berdaya untuk memberikan solusi terhadap apa yang akan terjadi ketika mall tersebut dibangun, ketika ada peluang mematikan mall yang lain atau mall yang sedang dirancangnya pun akan segera mati sebelum berfungsi.

Beberapa kemungkinan yang membuat seorang arsitek tidak berdaya menghadapi hal ini, mungkin dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, atau yang dikhawatirkan bila arsitek itu sendiri sudah terperangkap oleh kondisi kapitalisme dan metarialisme, sehingga yang dianut hanya nilai-nilai yang penting dapat proyek, yang penting dapat uang, bila hal ini sudah berkembang pada pemikiran para arsitek di Indonesia maka kita hanya tinggal menunggu kerusakan dan kekacauan yang akan dihasilkan. Sebagai gambaran fenomena ini mungkin sudah terjadi, kita bisa saksikan saat ini banyak mall-mall yang barus dibangun beberapa tahun akan tetapi ocupancy-nya belum terpenuhi, bahkan beberapa mall terpaksa gulung tikar (di Holis, di Jatinangor, di By Pass, dsb).

Pada persoalan ini seorang arsitek dituntut mampu berpolitik dengan client dan regulator agar objek pembangunan yang ditangani dapat memberikan nilai-nilai baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tanggung jawab kepada sesama manusia, lingkungan serta Tuhannya. Bila tidak mampu melakukannya, maka kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin bertambah parah, bahkan lingkungan binaan yang menjadi produk arsitek akan menjadi senjata kehancuran bumi ini, setidaknya turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

4.5. Kode etik hubungan arsitek

memahami tugas apa yang disampaikan kepada seorang arsitek, dan kebutuhan apa yang benar-benar diperlukan oleh pemberi tugas, untuk itu seorang arsitek perlu memberikan penjelasan serta melakukan analisis berkaitan dengan penugasannya dan menginformasikan serta menjelaskan kepada pemberi tugas tersebut.

Melalui pemahaman yang mendalam dari kebutuhan seorang pemberi tugas , yang dirinci oleh arsiteknya, memberikan konsekuensi bahwa seluruh informasi yang berkaitan dengan bangunan tersebut, maka akan diketahui sangat detail oleh arsiteknya. Pengetahuan dan informasi tersebut tentunya tidak terbatas pada bangunan saja, akan tetapi juga pada pengguna bangunan serta pemberi tugas. Untuk itu informasi yang demikian terbuka bagi seorang arsitek, dia berkewajiban menjaga informasi tersebut sebagai sebuah kerahasiaan.

Kewajiban seorang arsitek adalah menjaga kerahasiaan yang diberikan oleh pemberi tugas, baik yang berkaitan dengan identitas pemberi jasa maupun terhadap objek arsitektur yang dirancangnya. Seperti diatur pada standar etika 3.2 kaidah tata laku 3.201 dinyatakan “Arsitek akan menjaga kerahasiaan, kepentingan pengguna jasa, dan tidak dibenarkan memberitahukan informasi rahasia, kecuali seijin pengguna jasa atau yang memperoleh kewenangan hukum, misalnya didasarkan atau keputusan pengadilan”, menjaga kerahasiaan merupakan sikap etika yang mengusung moralitas seorang arsitek.

Melalui upaya menjaga nilai-nilai tersebut seorang arsitek dapat memberikan karyanya yang terbaik.

Selain itu bahwa dalam upaya menjaga kerahasiaan, juga seorang arsitek harus mampu memberikan informasi yang benar kepada client, aristek harus mampu memberikan solusi terbaik terhadap keinginan client tanpa harus mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya di luar pemiliki dan pengguna bangunan. Bahwa seorang arsitek harus mampu memberikan kebaikan melalui karyanya terhadap kehidupan dan penghidupan seluruh mahluk hidup dan lingkungannya, kelak wacana ini kita kenal dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan yang telah melahirkan eco-architecture, eco- settlement, eco-housing, atau pun eco-building.

Apakah pendekatan ekologi tersebut hanya sebatas wacana dan utopia saja, tentunya hal ini sangat tergantung dari tingkat moralitas dari para arsitek saat ini dan arsitek di masa yang akan datang. Moralitas ini tentunya dikaitkan dengan etika-etika yang harus dibangun oleh masyarakat arsitektur, yang saat ini diwadahi oleh IAI, PSAI, AMI, atau mungkin wadah-wadah lain yang kelak akan bermunculan.

Bagaimana menciptakan hubungan yang seimbang antara arsitek dan pemberi tugas, saat ini masih merupakan kendala bagi sebagian besar arsitek di

[76]

Indonesia, bahkan kebanyakan arsitek Indonesia berada pada posisi lemah bila berhadapan dengan Client, hal ini ditandai oleh kemudahan para clien untuk memaksakan kehendaknya terhadap disain, tanpa mempertimbangkan aspek disain secara menyeluruh, sehingga dapat saja mengorbankan sesuatu hal yang sifatnya di luar kepentingan client, sebagai contoh kembali disampaikan kasus Babakan Siliwangi, bagaimana seorang arsitek harus tunduk pada keinginan pengembang, yang memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas kepentingan lingkungan ekologis dan lingkungan budaya.

Client seorang arsitek tidak sebatas seorang individu, kelompok, swasta, bahkan client seorang arsitek dapat juga unsur pemerintah, pemerintah melalui kegiatan-kegiatannya sering juga memaksakan kekuasaannya sebagai yang menguasai seorang arsitek, kita ambil saja sebagai contoh bagaimana rencana pembangunan Mesjid di kawasan kantor pemerintahan di Gedung Sate Bandung, yang sempat menggemparkan masyarakat kota dan dunia profesi arsitek. Pada saat pembangunan itu sedang dilaksanakan dan dihentikan, tentunya disain tampak bahwa arsitek berada pada posisi lemah, arsitek tunduk pada keinginan penguasa, arsitek tidak mampu memberikan sebuah pertimbangan rasional terhadap keberadaan mesjid di dalam kompleks tersebut, bahkan pertimbangan rasional berkaitan dengan pelayanan yang disarankan oleh SNI 03-1733-2004, tidak mampu diterapkan oleh arsitek dan disampaikan kepada penguasa. Sebagaimana aturan dalam SNI tersebut bahwa setia fungsi sarana peribadatan sebuah kota atau wilayah memiliki batasan jumlah penduduk dan lingkup layanan, sedangkan pada letak mesjid kompleks tersebut tidak jauh dari kompleks pemerintahan kita ketahui terdapat dua buah mesjid yang tingkat pelayanannnya cukup luas, yaitu Mesjid Istiqomah dan Mesjid Pusd’ai.

Pada era demokrasi saat ini, masih terlihat bahwa profesi arsitek belum mencapai tingkat demokratisasi, banyak arsitek yang masih terkungkung oleh kelemahan posisinya dibandingkan client. Seharusnya hal ini tidak terjadi mengingat disain merupakan sebuah alat, yang dapat menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dan dirumuskan dalam disain, kemampuan penyelesaian berbagai konflik tadi menjadi bagian dari pesan moral dan etika seorang arsitek, ketika seorang arsitek berkehendak untuk menyelesaikan konflik tadi kedalam sebuah disain maka ia dapat dikategorikan sebagai arsitek yang telah beretika.

Untuk menghadapi hal tersebut sepatutnya setiap arsitek harus selalu meningkatkan kemampuan serta pengetahuan disain, selain jam terbang dalam ber-arsitektur. Mau tidak mau hal ini harus dilakukan mengingat perkembangan teknologi serta ilmu pengetahuan lainnya senantiasa berkembang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut telah mendorong kebutuhan dan keinginan client selalu berubah-ubah.

Hubungan kerja antara arsitek dan client-nya diatur dalam surat kontrak dan perjanjian kerja, dimana didalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban dari keduabelah pihak. Termasuk didalamnya diatur ketika terjadi perselisihan maka langkah apa yang harus ditempuh.

Hubungan Arsitek dengan Sejawat

Arsitek harus meningkatkan semangat kesejawatan antara sesama arsitek dalam bentuk saling mengingatkan dengan cara silih asih, asuh, dan asah, tanpa harus membeda-bedakan ras, suku, agama, maupun gender. Pembinaan dari arsitek senior kepada arsitek muda perlu dilakukan untuk mengembangkan kecakapan dalam profesionalismenya.

Kaidah tata laku 5.202 menyatakan bahwa “Arsitek tidak diperkenankan untuk mengambil alih hak intelektual atau memanfaatkan karya/kreasi atau ide dari arsitek lain tanpa ijin yang jelas dari arsitek pemilik gagasan tersebut” untuk itu juga seorang arsitek harus dapat memberikan apresiasi terhadap karya arsitek lain serta untuk dirinya harus membangun profesionalisme dan citra diri melalui kemampuan diri bukan dengan memanfaatkan arsitek lain.

Hubungan sejawat saat ini difasilitasi melalui berbagai wadah seperti IAI, PSAI, AMI, atau lembaga-lembaga lainnya, namun yang terpenting ketika wadah-wadah yang mengayomi perkumpulan para arsitek tersebut tidak saling bersingungan akan tetapi harus menjadi sinergi, satu dengan yang lainnya mampu mengisi kekosongan dari yang lain dan saling melengkapi sehingga terwujud warna arsitektur nusantara yang senantiasa diidam-idamkan.

Hubungan sejawat ini perlu dipahami bahwa profesi arsitek saat ini tersebar pada berbagai profesi, seperti arsitek yang bergerak dalam perencanaan dan perancangan bangunan dan bekerja dalam biro atau konsultan arsitektur, arsitek yang bergerak sebagai pendidik yaitu yang berada di lembaga-lembaga pendidikan perguruan tinggi, arsitek yang berfungsi sebagai birokrat, arsitek yang bergerak sebagai kontraktor, dan arsitek yang bergerak sebagai peneliti.

Jalinan antara sejawat tersebut seharusnya dapat melingkupi berbagai profesi tersebut, sebagaimana kita ketahui apa yang dilakukan dalam disain tentunya harus dapat dilakukan pada tingkat pelaksanaan, demikian juga apa yang dilakukan oleh para peneliti arsitek (baik yang berada di bawah lembaga pendidikan maupun di bawah lembaga litbang), produk litbangnya harus dapat digunakan dan oleh para arsitek profesional yang bergerak di lingkup disain serta arsitek yang bergerak dilingkup kontraktor.

Hubungan yang baik antara berbagai profesi yang digeluti para arsitek memungkinkan pengembangan ilmu arsitektur berjalan dengan baik, bahwa wadah-wadah yang mampu menyatukan hubungan lintas profesi diantara arsitek tadi boleh dikatakan masih kurang, sehingga kita masih berpikir dan bergerak sektoral, seorang arsitek di sebuah konsultan perencanaan mungkin

[78]

enggan berkomunikasi dengan arsitek yang bergerak di kelitbangan, demikian juga sebaliknya arsitek yang bergerak di kelitbangan tidak membuka komunikasi dengan arsitek yang bergerak sebagai praktisi baik di konsultan perencanan maupun di sebuah kontraktor pembangunan. Selama para arsitek dalam berhubungan dengan sejawat membatasi pada kelompok-kelompok kecil dalam IAI, AMI, PSAI, HAKI, INKINDO, dan Forum Kelitbangan, maka boleh yakin bahwa perubahan ilmu arsitektur sangat sulit terwujud. Kondisi demikian sangat sulit bagi para arsitek di tanah air untuk dapat berkiprah dalam ilmu arsitektur pada skala internasional, atau kita sebagai penggerak keilmuan di bidang arsitektur. Tidak salah bila kita selalu mengadopsi ilmu-ilmu arsitektur dari luar, sangat sedikit dan kurang ilmu arsitektur yang kita kembangkan sendiri.

Peluang untuk penggalian ilmu arsitektur kita sangat terbuka, dan kita memiliki sumber daya arsitektur yang berlimpah, yaitu yang berasal dari arsitektur tradisional maupun arsitektur vernakular kita. Kita harus mulai menggali dan menuliskan bentuk-bentuk kearifan lokal ke dalam wadah keilmuan arsitektur nasional kita. Sehingga generasi ke depan tidak akan kehilangan jejak-jejak arsitektur nusantara, yang semakin hari semakin pudar dimakan oleh waktu dan ideologi luar yang masuk dengan kuat memengaruhi bangsa dan keilmuan kita.

Hubungan Arsitek dengan Regulator

Lembaga eksekutif dan legislatif saat ini boleh dikatakan sebagai lembaga regulator, namun secara substansi regulasi lebih banyak disiapkan oleh lembaga eksekutif dalam hal ini pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal apa yang menjadi catatan penting dalam kaitan hubungan antara arsitek dengan regulator, tentunya fungsi regulator itu sendiri yang berpengaruh terhadap bentukan arsitektur melalui ketentuan-ketentuan yang membatasi sebuah disain

Fungsi regulator utama saat ini diperankan oleh pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat di DPR, baik itu pada tingkat pusat maupun daerah pada tingkat propinsi mapun kota atau kabupaten dan bagaimana peran arsitek masuk pada proses penyusunan sebuah regulasi. Untuk memahami ini, kita harus terlebih dahulu mengacu pada Undang-Undang No. 10/2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana secara garis besar diamanatkan bahwa terdapat hirarki peraturan perundangan di Indonesia, dimana Undang-Undang Dasar 45 menjadi udang-undang tertinggi yang harus diacu oleh undang-undang lainnya, dilanjutkan oleh peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan daerah.

Pada hal perundangan-undangan yang berkaitan dengan arsitektur saat ini terdapat dua undang-undang yang mengatur dengan cukup kuat, yaitu Undang- Undang Bangunan Gedung No. 28/2002 serta Undang-Undang Jasa Konstruksi

No. 18/1999. Kedua undang-undang tersebut beberapa telah ditindak lanjuti dalam peraturan pemerintah dan keputusan menteri terkait, selanjutnya Undang-Undang Bangunan Gedung (UUBG) seharusnya ditindak lanjuti pada tingkat daerah menjadi Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung, karena setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dengan daerahnya, maka diwajibkan setiap daerah menyiapkan Peraturan Daerah berkaitan dengan Bangunan Gedung.

Yang menjadi pokok permasalahan sejauh mana arsitek terlibat didalam penyusunan Undang-undang maupun Peraturan Daerah tersebut. Peran aktif seperti apa yang diharapkan arsitek baik secara individu maupun secara lembaga yang diwakili oleh IAI, PSAI, atau yang lainnya dapat memberikan pengaruhnya. Dapat disampaikan bahwa perannya sampai saat ini sangat kurang, hal ini dapat dirasakan ketika dilakukan rapat Konvensi (konsensus) sebuah peraturan yang berkaitan dengan aspek teknis maupun aspek non teknis berkaitan dengan bangunan gedung, yang dilakukan oleh lembaga ad-Hoc yang dibentuk oleh Pemerintah, tingkat partisipasi dan peran serta aktif dari masyarakat arsitektur sangat kurang.

Pada sisi lain, bahwasanya inisiasi regulasi yang berkaitan dengan peraturan bangunan baik dalam bentuk Peraturan Menteri, peraturan daerah, atau pun peraturan Teknis yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), lebih banyak di inisiasi oleh pemerintah, dan hampir kurang lembaga asosiasi profesi menyampaikan atau mengajukan usulan pengaturan teknis tersebut.

Pada beberapa negara maju bahwa asosiasi profesi berperan aktif mengusulkan pengaturan-pengaturan khususnya yang bersifat teknis.

Ketidak aktifan dalam penyusunan regulasi dari sebuah profesi arsitek tentunya secara tidak langsung telah melemahkan posisinya dalam pembangunan ini, khususnya pembangunan bangunan gedung, terlepas kita dapat mengelak dengan menyatakan bahwa aturan di negeri ini masih dapat diatur. Akan tetapi tetap bahwa posisi arsitek akan menjadi lemah secara normatif.

Peluang arsitek masuk dalam keanggotaan masyarakat standar (Mastan) merupakan satu jalan masuk untuk mulai memengaruhi kebijakan teknis dalam penyusuanan pengaturan. Bagaimana IAI mulai membuka diri dengan anggotanya untuk melibatkan diri dalam penyusunan berbagai peraturan yang diberlakukan di Indonesia, bagaimana IAI mulai mempersiapkan standar- standar teknis di bidang arsitektur, sehingga akan membuka peluang penguatan posisi arsitek dalam kancah pembangunan nasional.

Hubungan Arsitek dengan Bangunan dan Lingkungan Binaan

Berangkat dari kerusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim, yang mengakibatkan terjadi peningkatan curah hujan di kawasan utara

[80]

sepanjang abad 20 dan pengurangan curah hujan pada daerah sub stropikal, fenomena El Nino adalah disebabkan oleh gejala perubahan permukaan air laut dapat terjadi dalam waktu singkat akibat dari perubahan iklim yang ditandai oleh perubahan fisik air laut dan atmosfer. Gejala ini dapat terjadi ketika puncak suatu musim sedang berlangsung yang ditandai oleh angin kuat atau turunnya tekanan udara yang menyebabkan masa air laut juga bereaksi bergerak ke suatu titik yang menyebabkan muka air laut turun naik. Dinamika perairan yang melibatkan perubahan ekstrim pada suhu dan sanitasi menyebabkan perubahan volume dan pergerakan masa air laut pada skala luas yang ditandai pula dengan perubahan paras muka laut.

Mata rantai dampak penipisan lapisan ozon berikutnya adalah terjadinya pemanasan global (global warming). Gas karbon dioksida (CO2) memiliki kontribusi paling besar sekitar 50 persen, diikuti chloroflourocarbon (CFC) 25 persen, gas methan 10 persen, dan sisanya gas lain terhadap pemanasan global.

Pemanasan global juga menyebabkan mencairnya lapisan es di Benua Antartika. Akibatnya, muka air laut global naik sampai 25 cm di akhir abad ke- 20. Sehingga terjadi ketidakseimbangan iklim, dimana di suatu tempat terjadi bencana kekeringan, dan di tempat lainnya terjadi bencana banjir. Dalam periode seratus tahun mendatang Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi kenaikan temperatur mencapai 2,5 sampai 10,4o C dan mengindikasikan bahwa akan terjadi kenaikan permukaan air laut akibat dari cadangan es di kutub utara dan selatan bumi yang mencair.

Perubahan iklim saat ini sudah sangat menghawatirkan, dimana Karbon dioksida (CO2) merupakan gas utama penyebab pemanasan global, yang akan berakibat pada perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan, perubahan ekosistem hutan dan daratan, dan kemudian berpengaruh pada kesehatan manusia. Tahun 1994, 83% peningkatan radiasi gas rumah kaca disebabkan oleh CO2, 15 % CH4 dan sisanya N2O dan CO (Ministry of Environment, 2001). Jumlah emisi CO2 terbesar di Indonesia disebabkan oleh deforestasi dan konversi lahan (74%), diikuti konsumsi energi (23%) dan proses industri (3%).

Jumlah terbesar dalam kontribusi kerusakan lingkungan tadi adalah sektor bangunan, sebagai gambaran bangunan telah menkonsumsi sejumlah lahan untuk bangunan, bangunan telah mengkonsumsi sumber daya alam untuk konstruksi dalam bentuk bahan galian C dan bahan tegakan yang bersumber dari hutan, bangunan pula yang membutuhkan energi pada saat penghunian/pengoperasian, serta bangunan dan kota yang menghasilkan sampah dan pencemaran, hal ini tidak terlepas dari fungsi bangunan sebagai wadah dari aktifitas manusia. Dalam kaitan ini arsitek memegang peran penting dalam pemulihan serta mempertahakan kondisi lingkungan agar tidak menjadi semakin parah. Tangung jawab arsitek terhadap lingkungan ini diatur

dalam kaida-kaidah etika dan sebagai bentuk pertanggung jawaban moril terhadap lingkungannya.

Bahwa suatu lingkungan binaan yang baik ketika lingkungan tersebut dapat memberikan pembelajaran kepada manusia sebagai pengguna dalam pembentukan perilaku, khususnya perilaku yang lebih baik dalam tata kehidupan yang kelak dapat menunjang kehidupan dirinya serta kelangsungan lingkungan hidupnya, yang tidak terlepas dari lingkungan alamiah dan lingkungan binaan, untuk itu fungsi lingkungan binaan seharusnya dapat menggantikan fungsi lingkungan alamiah yang telah diubah oleh arsitek.

Standar etika 2.2 tentang pelayanan untuk kepentingan masyarakat umum mengamanatkan bahwa “arsitek selayaknya melibatkan diri dalam berbagai kegiatan masyarakat, sebagai bentuk pengabdian profesinya, terutama membangun pemahaman masyarakat akan arsitektur, fungsi, dan tanggung jawab arsitek”, bahwa setiap bangunan dan lingkungan binaan tersebut dapat menjadi wadah pembelajaran bagi penggunanya dan menjadi pengguna mendapatkan kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.

Arsitek dan bangunan maupun lingkungan binaan memiliki keterkaitan kuat baik hubungan positif ketika bangunan dan lingkungan binaan tersebut memberikan dampak yang baik atau sebaliknya ketika karya arsitek tersebut menjadi cemooh masyarakat bahkan dapat saja memakan korban seperti gedung Jamsostek dan menara ITC di Jakarta yang memakan korban dan harta benda, yaitu peristiwa terjatuhnya sebuah mobil dari tempat parkir di lantai atas banguanan tersebut.

Hubungan Arsitek dengan Dirinya

Pada tingkat etika dalam profesi arsitek, seorang arsitek berkewajiban untuk senantiasa mengembangkan kemampuan diri serta berupaya turut berpartisipasi dalam pengembangan pengetahuan arsitektur, sehingga apa yang dilakukan dalam disain senantiasa memberikan kontribusi yang baik terhadap lingkungan dan dirinya. Bangaimana seorang arsitek membangun dan menjadikan pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Maha Pencipta, serta bagaimana dia senantiasa berpikir sebagai pelaku perubahan kehidupan pada arah perubahan yang lebih baik, seorang arsitek harus selalu membangun kecintaan pada pekerjaannya, karena menurut berbagai pengalaman, bahwa banyak karya-karya abadi serta monumental terlahir dari tangan-tangan arsitek yang bekerja dengan penuh kecintaan terhadap pekerjaannya. Keindahan tercipta ketika manusia berkarya dengan sepenuh hati, manusia berkarya dengan penuh keCINTAan, dan manusia berkarya dengan mengharap penilaian dan kerido’an dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

[82]

Dalam hal ini banyak karya-karya abadi yang tercipta dari seorang yang memiliki kecintaan kepada Sang Penciptanya, seperti Michelle Angelo, dia melukis dinding plafond dari gereja St. Sitine, hanya mengharap kerido’an Tuhannya, dalam satu kisah diriwayatkan ketika Michelle Angelo terus bekerja bertahun-tahun melukis plafond gereja, sang Paus, pemimpin gereja saat itu memerintahkan untuk segera menghentikan pekerjaan Angelo, karena menurut dia lukisannya sudah terlalu bangus untuk dilihat dari bawah, tapi Sang Pelukis tetap tidak mau menghentikan dengan alasan, dia melukis dipersembahkan untuk Tuhan, dan dia yakin Tuhan dapat melihat lebih detail lukisannya, sehingga kesempurnaan dia terus bekerja sampai sedetail mungkin. Alhasil karya tersebut sampai saat ini menjadi karya yang abadi, dan masuk ke dalam salah satu keajaiban dunia, sehingga selalu dipelihara dan diabadikan bahkan dikenang sampai akhir jaman tentunya.

Banyak karya-karya yang kemudian hari menjadi karya abadi ketika pada proses penciptaannya melibatkan emosi CINTA, seperti bangunan Taj Mahal di India. Nama Taj Mahal berasal dari nama istri Raja Syech Jeihan yang mendirikannya, Mumtaz Mahal. Bangunan yang diciptakan karena cinta kepada Sang Maha Pencipta ini, juga diberi nama pada pujaan hati (permaisuri) yang sangat disayanginya ,Mumtaz Mahal. Ungkapan CINTA tersebut dapat diwujudkan tidak sebatas manusia dengan manusia, tapi juga manusia dengan Tuhan-nya, bahkan CINTA seorang pemimpin terhadap Bangsanya, seperti karya Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, merupakan ungkapan rasa CINTA Bung Karno terhadap Indonesia, negeri yang dipimpinnya.

Cinta hanya terlahir dari sebuah ketulusan dan dibangun dalam diri dan oleh dirinya, sangat sulit sekali cinta dipengaruhi oleh fantor ekternal, tentunya dalam konteks ini cinta terhadap profesi, seperti kata mutiara yang menyatakan

“kerjakan pekerjaan yang harus kamu kerjakan bukan pekerjaan yang kamu suka mengerjakannya”.

Dalam dokumen arsitektur - perumahan (Halaman 94-102)