• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika dalam ber-arsitektur Bisnis dalam Arsitektur

Dalam dokumen arsitektur - perumahan (Halaman 90-94)

Bidang Perumahan dan Permukiman

4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur Bisnis dalam Arsitektur

[70]

tersebut dapat memberikan image arsiteknya yang pintar, baik dan kekayaan serta keterkenalannya juga dapat diraih.

4.4. Dinamika dalam ber-arsitektur

sebuah asosiasi profesi dengan alasan bahwa yang melakukan tindakan banting harga tersebut bukan anggota dari IAI. Organisasi profesi ini hanya mengatur anggotanya di luar anggota tidak dapat disentuh oleh kode etik dari IAI.

Walaupun dalam kode etik IAI jelas bahwa tindakan mengiklankan jasa perencanaan adalah suatu tindakan yang dilarang dalam kode etik arsitek.

Secara rinci dampak-dampak yang dapat ditimbulkan akibat iklan jasa profesi serta upaya banting harga, adalah sebagai berikut :

a. Merusak mekanisme dan standar fee jasa perencanaan, yang pada akhirnya masyarakat umum, di luar kelembagaan sulit untuk menerima sebuah penawaran harga jasa perencanaan yang sesuai dengan harga satuan resmi seperti dari Bapenas, atau yang ditentukan oleh IAI.

b. Kualitas perencanaan tersebut sulit untuk dapat dipertanggung-jawabkan, khususnya berkaitan dengan kelaikan standar teknis serta nilai-nilai sebuah karya arsitektur yang seharusnya dapat menjadikan sebuah wadah dalam pembentukan kualitas manusia yang semakin baik. Iklan mendorong sebuah produk perencanan instan dengan minimnya pertimbangan-pertimbangan disain sebagaimana mestinya.

c. Berpeluang membangun kebohongan yang diciptakan oleh sebuah lembaga penyedia jasa maupun arsitek, sedangkan kebohongan merupakan sumber kerusakan sebuah sistem, bahkan kebohongan dalam dunia kelitbangan merupakan suatu hal yang harus dihindari. Dan dalam kacamata spiritual kebohongan merupakan sumber dari kehancuran.

Arsitektur merupakan sumber estetika dan estetika tidak mungkin terwujud di atas kebohongan atau ketidak-jujuran.

d. Merupakan cikal bakal dari kehancuran sebuah idealisme dalam arsitektur, seorang arsitek akan mengorbankan idealismenya demi menyelesaikan sebuah produk perencanaan yang sedang dibuatnya, arsitek tersebut akan menghindari perdebatan dengan owner dan berusaha mengikuti keinginan seorang owner, dengan mengorbankan kepentingan lain; seperti lingkungan, atau aspek-aspek yang paling essensial dalam sebuah proses disain.

Berangkat dari uraian di atas dapat diambil kasus pada sebuah perencanaan yang dilakukan oleh sebuah pengembang di Bandung, yang sedang menyusun sebuah perencanaan objek wisata di kawasan Babakan Siliwangi, tampak bahwa saat ini muncul perencana-perencana yang mengorbankan idealismenya demi sebuah projek arsitektur, dampak dari kerusakan lingkungan, kerusakan nilai budaya dan nilai sejarah suatu kawasan sudah tidak menjadi pertimbangan dalam proses perencanaannya, yang menjadi target perencanaan hanyalah nilai- nilai kapital dari sebuah objek arsitektur.

[72]

Fenomena demikian tidak terlepas dari sistem kapital yang mencengkeram perilaku masyarakat, seperti kita ketahui bahwa sistem kapitalisme saat ini terbukti hanya mampu membangun gap antara kaya dan miskin serta menguatkan produsen dan menguatkan ketergantungan konsumen, sehingga produk arsitektur dengan sistem kapitalis pun hanya akan menyediakan dan memenuhi kesenangan-kesenangan kelompok masyarakat tertentu, arsitektur pada kondisi ini menjadi bagian dari hedonisme, sebagaimana aliran hedonisme ini memiliki kaidah dasar “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala macam yang dapat menimbulkan rasa sakit darimu”, demikian hal tersebut seperti disampaikan oleh DR. Juhaya dalam Filsafat dan Etika. Dengan demikian karya arsitektur di era kapitalis ini telah melahirkan diskriminasi, mengacu pada pemikiran Plato, bahwa kebahagiaan tersebut tercapai ketika keadilan dapat direalisasikan, sifat diskriminasi tentunya sangat bertolak belakang dengan sifat keadilan. Arsitek memegang peran kunci dalam menciptakan keadilan di perkotaan.

Selanjutnya bagaimana memutus mata rantai degradasi profesi arsitek dalam sistem kapitalisme yang semakin kuat, tentunya dalam melihat fenomena tersebut kita harus melepaskan terlebih dahulu hal-hal yang berpengaruh dari lingkungan eksternal arsitek, seperti sistem kapitalime, hal ini bukan berarti aspek eksternal tersebut dapat dengan mudah kita abaikan, hal ini hanya untuk membatasi permasalahan dalam upaya untuk menggiring penyelesaian yang lebih diarahkan pada lingkungan internal saja. Apa yang dapat diupayakan tentunya melalui pengaturan jasa profesi pada level hukum nasional, seperti melalui Undang-undang Jasa Profesi Arsitek. Sehingga tindakan yang melanggar undang-undang tersebut dapat diperkarakan pada lembaga hukum formal, pelanggaran berkonsekuensi pada sangsi, yang dapat menimbulkan jera bagi pelaku maupun bagi individul lain sebagai pembelajaran untuk menjalankan profesi secara baik dan benar.

Sejalan dengan kasus APJP yang berbasis di London, dimana ada fungsi etika yang dikaitkan dengan moral, bahkan pada tingkat lokal beberapa kasus di tanah air mencuat peran perencana dan arsitek yang mendapat tekanan kuat oleh kapitalisme dengan mendahulukan kepentingan ekonomi dan mengabaikan kepentingan-kepentingan sosial dan budaya, dalam hal ini, seorang perencana dapat memberikan peran sebagai penengah antar berbagai kepentingan, karena pada esensinya sebuah disain adalah melakukan suatu pengolahan untuk mendapatkan hasil terbaik, hasil terbaik ini tentunya sangat berkaitan dengan moral dan etika seorang arsiteknya.

Politik Arsitektur

Kata politik tidak selalu dikaitkan dengan partai-partai yang dikaitkan dengan kekuasaan di lembaga legislatif saja, akan tetapi politik diartikan sebagai siasat

atau bersiasat. Pada era saat ini, dimana perkembangan teknologi informasi ditambah dengan semakin kuatnya kapitalisme yang secara berangsur-angsur telah membawa suatu bentuk peradaban materialisme pada masyarakat.

Perkembangan materialisme saat ini secara berangsur telah memperlihatkan dampaknya yaitu pola pembangunan yang kurang mempertimbangkan kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang tersedia. Manusia cenderung mengkonsumsi sebanyak-banyaknya sumber daya alam tanpa mempertimbangkan upaya-upaya untuk melakukan pemulihan.

Ketika kita memperhatikan bagaimana proses produksi terpenuhi di era modernism dan telah mengalami pada tingkat kejenuhannya, maka secara bertahap terjadi pergeseran pemikiran tentang bagaimana benda hasil produksi dapat diserap oleh pasar, melalui peningkatan penerimaan oleh konsumen.

Pada era ini pandangan hidup dunia lebih difokuskan pada bagaimana mengelola konsumen pada tingkat konsumsi dari produksi, bukan lagi pada tahap produksi yang menjadi fokus perhatian. Pemahaman tersebut dituangkan oleh seorang sosiolog Featherstone (1991), dengan pernyataannya “bahwa masyarakat saat ini adalah sebuah masyarakat yang memiliki ciri konsumtif”.

Ciri-ciri tersebut diperlihatkan melalui fenomena pergeseran pola pikir masyarakat kapitalis yang bergeser dari berorientasi produksi ke arah masyarakat yang konsumtif. Para kapitalis menitik tidak lagi menitik-beratkan pada kontrol atas produksi secara umum dan pekerja produksi secara khusus.

Titik perhatiaan saat ini telah beralih pada pengontrolan konsumsi secara umum, terutama pandangan hidup dan aksi-aksi konsumen yang diarahkan pada perilaku konsumtif, perhatian besar dicurahkan untuk mendorong masyarakat mengkonsumsi sesuatu yang lebih banyak dengan variasi yang lebih besar. Sehingga era ini ditandai dengan meningkatnya peran penting aspek promosi melalui media.

Ketika terjadi pergeseran fokus perhatian dari produksi ke komsumen, maka masyarakat sebagai konsumen menjadi pusat perhatian dalam berbagai keputusan, dan selain menawarkan kecepatan sebagaimana yang diusung oleh pemikiran modernis, juga dikembangkan unsur kesenangan yang menjadi daya tarik konsumen. Di era budaya, saat ini, masyarakat mengeluarkan dananya bukan karena kebutuhan untuk memenuhi kehidupan dan penghidupannya akan tetapi oleh lebih pada aspek kesenangan belaka, sebagai gambaran budaya yang dapat dicontohkan disini adalah budaya makan di restoran cepat saji, muculnya simbol-simbol dari pengguna restoran cepat saji tersebut sebagai penyataan bahwa penggunanya sebagai bagian dari peradaban yang dianggap memiliki posisi paling baik, karena ketika kita bicara citra rasa dari menu, cenderung monoton dari masa, waktu dan tempat yang berbeda. Restoran cepat saji tersebut pada awalnya adalah sebuah hasil dari pemikiran indutrialisasi yang menuntut kecepatan waktu, namun saat ini produk tersebut sudah disajikan dalam bentuk kesenangan penggunannya, penciptaan simbolis-

[74]

simbolis tertentu untuk meraih kesenangan bagi pemakainya. Lahirnya efek- efek simbolis merupakan cerminan dari pemikiran yang melihat jauh pada sudut pandang metafisik dan dapat mendorong ambiguitas yang cukup menonjol.

Pada uraian di atas dapat dilihat ada siasat yang dicitrakan oleh kelompok kapitalis untuk tetap mempertahankan eksistensinya, bahkan dirasakan atau tidak dirasakan oleh para arsitek, bahwa banyak arsitek di tanah air ini yang terbawa oleh siasat atau politik kapitalis tadi, sehingga banyak fungsi arsitek yang hanya mengamini keinginan pelaku kapitalis. Sebagai gambaran pada saat akan diadakan pembangunan sebuah mall di satu wilayah yang sebenarnya wilayah tersebut sudah mencapai titik kejenuhan dari fungsi mall, tersebut, maka ketika order tersebut jatuh kepada seorang arsitek, dia tidak berdaya untuk memberikan solusi terhadap apa yang akan terjadi ketika mall tersebut dibangun, ketika ada peluang mematikan mall yang lain atau mall yang sedang dirancangnya pun akan segera mati sebelum berfungsi.

Beberapa kemungkinan yang membuat seorang arsitek tidak berdaya menghadapi hal ini, mungkin dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, atau yang dikhawatirkan bila arsitek itu sendiri sudah terperangkap oleh kondisi kapitalisme dan metarialisme, sehingga yang dianut hanya nilai-nilai yang penting dapat proyek, yang penting dapat uang, bila hal ini sudah berkembang pada pemikiran para arsitek di Indonesia maka kita hanya tinggal menunggu kerusakan dan kekacauan yang akan dihasilkan. Sebagai gambaran fenomena ini mungkin sudah terjadi, kita bisa saksikan saat ini banyak mall-mall yang barus dibangun beberapa tahun akan tetapi ocupancy-nya belum terpenuhi, bahkan beberapa mall terpaksa gulung tikar (di Holis, di Jatinangor, di By Pass, dsb).

Pada persoalan ini seorang arsitek dituntut mampu berpolitik dengan client dan regulator agar objek pembangunan yang ditangani dapat memberikan nilai-nilai baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tanggung jawab kepada sesama manusia, lingkungan serta Tuhannya. Bila tidak mampu melakukannya, maka kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin bertambah parah, bahkan lingkungan binaan yang menjadi produk arsitek akan menjadi senjata kehancuran bumi ini, setidaknya turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

4.5. Kode etik hubungan arsitek

Dalam dokumen arsitektur - perumahan (Halaman 90-94)