• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berburu dalam Gelap

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 178-183)

Baru-­baru ini saya mempunyai kesempatan untuk berburu dalam gelap ketika saya menjelajahi bayang daerah-­daerah kumuh di India.

Apa yang saya temukan dalam gelap mengejutkan saya. Saya pergi ke Mumbai atas undangan Lembaga Life Outreach. Mereka telah membentuk gabungan dengan beberapa organisasi lokal yang bekerja untuk menolong para perempuan dan anak-­anak yang terjebak dalam kemesuman dan kemelaratan di daerah pelacuran yang kumuh.

Orang India cantik-­cantik. Budaya mereka sangat ramah dan baik namun keadaan di lingkungan kumuh sungguh menyedihkan. Apa

\DQJVD\DVDNVLNDQPHPEXDWOLQJNXQJDQ\DQJGLWXQMXNDQGLÀOPOD\DU

lebar Slumdog Millionaire tampak bersih. Tikus-­tikus berukuran seperti kucing kecil merayap di antara manusia dan kotoran manusia, yang menutupi lorong-­lorong kecil dan jalan-­jalan.

Ketika saya keluar dari mobil yang ber-­AC yang membawa saya dengan aman melalui lalu lintas gila di Mumbai, saya benar-­ benar seperti berada di dunia yang asing. Bukan asing karena saya berada di lokasi yang eksotik, tetapi asing karena itu adalah dunia dari keasliannya, sebuah contoh mikro budaya dari sebuah kebengisan hidup.

Waktu itu musim hujan. Cuaca adalah kombinasi antara lembab dan panas yang diperburuk dengan angin yang tak bergerak sehingga bikin gerah. Dengan segera saya disergap dengan bebauan kumuh. Kombinasi yang tajam antara kotoran manusia dan air seni yang bersatu dengan makanan yang membusuk, keadaan hidup yang dekil, dan orang-­orang kotor. Udara sendiri terasa berat dan ditekan oleh semangat yang gelap.

Saya merasakan dua hal sedang terjadi: orang India yang cantik dan semangat brutal yang memenjara. Di wilayah kumuh tidak ada yang menyelubungi pengaruh dan sifatnya. Laki-­laki dan perempuan sempoyongan di bawah tekanan kemiskinan, kejahatan, dan kebejatan moral memberikan tangannya yang berat atas segala yang ada.

Agar tidak menarik perhatian umum, tim kami memakai pakaian lokal penduduk India. Tetapi pikiran ini tidak terjadi karena sebaliknya kami diperhatikan orang-­orang sekitar ketika kami berjalan melewati

daerah mereka.

Pendeta kami dan pemandu misi kami dengan segera mengarahkan kami ke klinik medis mereka. Klinik ini sudah membangun kepercayaan dan memperoleh reputasi yang menyenangkan dan melayani banyak orang. Saya melangkah masuk ke ruang tunggu yang sederhana. Beberapa pasien menunggu diperiksa oleh dokter. Tak ada suara-­ suara. Tim pelayanan yang dibentuk oleh nyonya sebelumnya sudah menunggu kedatangan kami. Kami masuk ke satu ruang sebelah di mana saya diperintahkan bahwa saya di sana untuk “memberkati” perempuan-­perempuan di tempat-­tempat pelacuran.

Tiba-­tiba saya menyadari bahwa persiapan kotbah di tas saya tidak akan bermanfaat. Ini di luar batas kemampuan saya dan saya sadar betul bahwa Lisa si pengarang dan si pembicara tidak akan berbicara apa-­apa di sini. Karena kami sedang menyamar, saya tidak bisa menggunakan Alkitab. Penerjemah saya hanya bisa sedikit bahasa Inggris dan saya tidak bisa bahasa Hindi. Berhubungan dengan orang-­orang ini hanya dapat oleh Roh Allah.

Untuk merekam cerita-­cerita mereka, kami menggunakan sebuah mikrofon di dalam tunik saya dan melingkarkan kabel di sekitar pinggang saya, mengikatkan mike perekam ke celana saya. Sebuah kamera tersembunyi dalam gulungan scarf hiram yang melingkar di leher seorang perempuan lain. Kami berpegangan tangan, berdoa, dan melangkah ke jalanan yang bising.

Dengan segera saya mempunyai perasaan sedang diperhatikan. Tetapi tatapan ini lebih terasa kepedihan daripada permusuhan. Saya melihat ke atas dan ke seberang jalan pada jendela lantai dua yang membingkai wajah seorang gadis Asia yang cantik. Saya menaksir usianya tak lebih dari lima belas tahun. Wajahnya menunjukkan gabungan antara luka dan tanpa harapan. Setelah itu saya sadar dia berada di belakang jeruji, terkunci dalam sebuah rumah bordil.

Bagaimana Anda menjawab sebentuk wajah itu?

Untuk tersenyum rasanya tak bisa. Saya tidak menggerakkan kepala saya dan berisiko pada persepsi bahwa reaksi saya itu adalah sebuah penghakiman dan rasa jijik kepadanya. Saya terus menatapnya sampai dia mengalihkan pandangannya. Ketika saya melihat ke bawah, saya melihat ruang tempat tangga. Di dasarkan duduk segerombol laki-­laki yang marah. Mereka menatap pandangan saya dengan pandangan

penghinaan yang terbuka, seakan-­akan berkata, “Kamu pikir kamu siapa? Pergilah. Kamu tidak seharusnya di sini!”

Tanpa ragu saya bukan seperti yang dikatakannya. Tidak seorang manusia pun yang adalah citra Allah semestinya tinggal di tempat yang mengerikan ini. Ini bukankah tempat untuk dimiliki. Seharusnya kita kabur dari tempat seperti ini.

Satu dari perempuan-­perempuan yang menangkap rasa cemas saya dan meletakkan tangannya ke pinggang saya. “Mari! Saya bantu menyeberang jalan!” Dia membimbing saya melalui orang-­orang, sepeda-­sepeda, dan mobil-­mobil, yang berseliweran di jalanan yang kotor tanpa peraturan atau garis-­garis pembatas.

Setelah sehari di daerah kumuh, saya paham bahwa hanya peraturan pejalan kaki tidak berhenti ketika Anda menyeberangi jalan. Anda berjalan tanpa takut berapa pun sepeda, motor, dan mobil menuju ke arah Anda. Ketika saya ragu di tengah jalan itu, dua ibu sebelumnya mengapit saya dan mendorong saya menyeberang saat mereka menggerakan kepala mereka. “Jangan berhenti! Kami melindungimu.” Dan mereka melakukannya.

Rumah bordil pertama yang kami datangi mempunyai sebuah tempat umum yang ukurannya tak lebih dari 2,5 x 4 meter. Di sinilah para calon klien menunggu gadis-­gadis untuk melayani mereka. Di sini juga para perempuan berkumpul untuk memasak, bersosialisasi, dan merawat anak-­anak mereka. Dari ruang yang remang ini mereka bisa mengamati kejahatan apa yang terjadi di jalan, di luar pintu mereka. Di daerah inilah sejumlah perempuan berkumpul untuk mendengar kasih Allah.

Saya masuk dan tak dapat berbuat apa-­apa kecuali memperhatian satu pintu yang lain. Ada tirai yang agak berlipat dan mengarah pada gang sempit dibatasi dengan deret-­deret yang tampak seperti kedai tempat mandi. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah tempat para gadis tidur dan melayani klien-­klien mereka. Melihat ke bawah gang sempit ini, saya melihat beberapa pintu tertutup, yang artinya gadis itu beristirahat atau sedang bekerja.

Saya mengalihkan perhatian saya kepada perempuan-­perempuan di hadapan saya. Mereka menutupi lantai dan area bangku tempat duduk yang membatasi kedua sisi ruangan. Mereka berhimpitan di bawah tudung-­tudung mereka dan menatap tajam dengan tatapan

ragu kepada kami ketika kami masuk berderetan.

Penerjemah memberi salam kepada mereka dalam bahasa Hindi. Mereka mendengarkan baik-­baik dan mengangguk penuh hormat dalam pakaian India mereka yang unik.

Tak lama saya mendengar nama saya disebut di antara kata-­kata bahasa Hindi. Kepalanya menengok ke arah saya. Saya mengirim tatapan putus asa kepada pendeta. Dia merespons dengan mengangkat tangannya dan mengulangi perkataannya tadi: “Berkati mereka … Mereka sudah lama menanti Ibu…di sini seperti ini selama dua jam!”

Saya memperkenalkan diri saya dan mengatakan asal saya. Saya bilang saya mempunyai empat anak dan mempunyai cucu sebentar lagi. Kata-­kata saya terdengar kosong dan tak berdaya di telinga saya sendiri. Apa makna keterangan tentang diri saya bagi perempuan-­ perempuan ini? Semua yang mereka tahu menentang gaya Amerika saya yang “normal.” Tetapi mereka sopan dan mengangguk dengan tenang.

Saya berbagi bahwa kami sudah melakukan perjalanan yang jauh untuk memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendirian. Perempuan lain di seluruh dunia mendoakan mereka dan menangisi atas segala persoalan mereka.

Apa ini? Mereka tidak sendirian? Kalimat keputusasaan mereka sudah kabur dari daerah kumuh ini? Yang lain sudah menangisi rasa kehilangan mereka? Saya berbagai banyak orang membawa anak-­anak perempuan India yang tersembunyi ini ke hadapan tahta Allah di surga dalam doa. Wajah-­wajah mereka mulai bersinar dengan air mata yang turun dengan sendirinya.

Kadang-­kadang saya bertanya-­tanya bahwa kita benar-­benar memahami kekuasaan dalam realisasi sebuah keterhubungan. Kita tidak sendirian dalam perjuangan-­perjuangan kita. Kita tidak sendirian dalam harapan kita. Yesus berjanji untuk selalu bersama dengan kita.

Saya mengakui penyesalan pribadi saya. Bagaimana dalam kemudaan saya, saya sudah menyia-­nyiakan kemurnian dan martabat seksual yang sudah dengan kerasnya dicuri dari mereka. Saya pernah memilih hidup dalam bersetubuh dengan siapa saja tetapi kemudian membuka pintu bagi Allah, dan kasih-­Nya memenuhi hidup saya dan menyelamatkan saya dari kerusakan. Mereka mulai memberi

dukungan.

Saya merasakan Roh Kudus saat Dia menerangi setiap dan masing-­ masing perempuan. Mereka bukanlah sekelompok perempuan. Mereka adalah anak-­anak perempuan Allah secara pribadi. Saya menyentuh wajah mereka masing-­masing dan memercayai Allah akan merentangkan tangan-­Nya dan menjelaskan kata-­kata saya dengan Roh-­Nya. Ketika saya menyentuh mereka, saya menyatakan dengan lembut, “Allah mempunyai rencana untuk hidupmu.”

Air mata mengalir pada pipi-­pipi yang sedang menengadah ketika menyebutkan bahwa ada Allah yang mencari mereka dan mengunjungi mereka dalam kegelapan yang mehanan. Mereka tahu benar apa maksudnya hidup di bawah tekanan dan sistem orang lain. Setiap gadis di sana hidup dalam mimpi buruk yang sudah dirancangkan oleh seseorang untuk hidup mereka. Setiap perempuan yang saya ajak bicara sudah pernah diculik atau dijebak dalam kehidupan perbudakan seks. Mereka sudah tertawan oleh janji dari hal yang saya tawarkan sekarang, yaitu harapan.

Mereka sudah berani berharap untuk sesuatu yang lebih: pekerjaan yang lebih baik, pendidikan atau hanya bisa dicintai. Beberapa berharap dapat kabur dari kejahatan kemiskinan dari desa-­desa mereka.

Para perempuan ini sudah ditipu oleh laki-­laki dan perempuan yang pernah mereka percayai. Ada cerita tentang paman, suami, saudara-­ saudara laki-­laki, sepupu, bibi, dan bahkan teman yang telah menjual mereka. Mimpi mereka untuk kehidupan yang lebih baik digunakan untuk mengkhianati mereka. Saya meminta mereka untuk kembali berharap, untuk memercayai Yesus, Anak Allah, yang tak berbohong.

Saya berbicara tentang hal-­hal juga kepada mereka. Hal-­hal yang sekarang saya sudah lupa. Frase-­frase dan kata-­kata, yang jika diulangi pada halaman-­halaman ini, akan terdengar kekanakan atau usaha-­usaha perbaikan dari dunia Barat kami. Tetapi sekarang sudah bernapas lega. Tanpa gembar-­gembor, sebuah atmosfer surga memasuki wilayah itu. Sebuah koneksi telah tercipta ketika mereka merespons terhadap Allah yang hidup, yang memberikan harapan bagi mereka masing-­ masing.

Merasakan ini dan karena ketidakmampuan saya berkomunikasi, saya berbalik kepada pendeta itu. Dia berdoa dengan dan untuk

perempuan-­perempuan ini. Ketika dia menyebut surga, perempuan dalam kelompok ini tersentuh di antara anak-­anak perempuan yang berharga ini dan saling memeluk, mengelilingi mereka seperti dalam doa. Pada saat itu terasa seakan-­akan dinding bergetar.

Saya memandang ke arah seorang pelanggan ketika dia keluar, menutup rits celananya, dan memberikan pandangan yang menjijikkan melalui bahunya ketika dia pergi. Kami adalah pengunjung-­pengunjung yang tak biasa.

Fokus  dan  Berani

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 178-183)