• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lemak Kurus

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 66-71)

Saya tak ingat persis bagaimana proses yang memalukan itu terjadi. Tetapi inilah yang berhasil saya rangkum dan tulis. Saya dibawa ke wilayah tengah gym. Tadinya saya pikir saya akan dibawa ke tempat khusus. Ketika tiba di lokasi yang melompong itu, Robert memerintahkan saya untuk melakukan gerakan sebanyak sepuluh kali. Saya tahu gerakan yang dia maksud: push-­up. Namun saya tak yakin dengan perintahnya. “Yang kamu maksud push-­up perempuan yang menggunakan lutut, kan?”

“Bukan yang seperti itu. Push up yang biasa.” Dia menjawab dengan gerakan memberi jarak pada saya, sambil mengangkat papan klip dan mengangkat pensil dengan gerak yang mengintimidasi.

Saya membaringkan diri ke lantai dan melakukan push up sepuluh kali, dengan gerakan buruk dan sekedarnya.

Tanpa istirahat atau berkata, “Selesai, Lisa!”, dia segera menambahkan, “Sekarang 25 kali lompat duduk.”

Saya panik. Saya tahu lompat duduk itu mudah tetapi saya tidak ingat cara melakukannya.

Saya lakukan saja apa yang menurut saya gerak melompat duduk, seperti bisa dilakukan anak-­anak ketika bermain lompat duduk. Saya membalikkan badan dan segera sadar bahwa saya sedang jadi tontonan anggota gym yang lain. Saya melihat anak-­anak saya menggeleng-­ gelengkan kepala mereka dan tertawa melihat cara saya melakukan gerakan.

“Ke bawah, lakukan sepuluh kali lagi,” ujar Robert.

Saya kehabisan napas dan untuk mengulur-­ulur waktu, saya bertanya, “Maksud kamu push-­up atau melompat atau yang lain?”

“Push-­up,” jawabnya.

Saya menjatuhkan diri lagi ke lantai tetapi kali ini lebih berat. Saya merasakan kedua lengan saya sudah gemetar. Kasihan sekali tangan saya. Lalu saya mengguncang perut saya ke atas ke bawah.

Robert sudah siap dengan perintah lain. “Lompat duduk lagi 25 kali.”

Saya ingin melakukannya lebih baik kali ini, jadi saya bertanya, “Dengan tangan di atas kepala?” Suara saya kedengaran sekali tertekan.

“Itu tak penting … Mulai!” perintahnya.

Tetapi itu penting buat saya! Penting untuk anak-­anak saya yang sedang mengerut karena malu melihat ibu mereka melakukan lompat duduk yang gagal di hadapan seluruh anggota gym.

Tetapi ini hanyalah awal penderitaan saya. Di dekat area publik saya berusaha melakukan angkat kaki pada sebuah kursi. Saya tahu cara melakukan gerakan ini.

Saya naik ke rangka kursi dan menunggu perintah. “Lima belas kali angkat kaki.”

Saya mengangkat lutut sampai batas pinggang. Rasanya bentuk ini cukup membanggakan.

“Bukan, bukan seperti itu,” kata Robert. “Saya mau kaki Anda terentang lurus dan angkat setinggi ini.” Dia menaruh tanganya lebih tinggi daripada pinggang saya.

Saya mengayun kaki ke atas tetapi tak mampu mencapai tangannya. “Lebih tinggi,” katanya.

gerakan ini satu kali pun. Saya berusaha menyentuh tangannya beberapa kali—baiklah, mungkin nol kali, tetapi saya kira dia pasti menaikkan tangannya lebih ke atas!

Saya percaya setelah ini adalah angkat beban tetapi ingatan saya buram. Saya duduk di bangku ketika Robert memilih kursi angkat beban. Dia kembali dengan sepasang beban 1 kg. Saya tersenyum. Kali ini saya akan mengejutkan dia dengan kekuatan saya.

“Robert, saya biasa angkat beban 3½ kg,” kata saya menjelaskan. “Kita coba yang ini dulu,” jawab Robert.

Saya mengambil beban itu dengan tangan saya yang bergetar dan berkeringat. “Angkat seperti ini,” perintah Robert.

Saya mengangguk.

Saya mengangkat beban itu dengan mudah.

“Bukan, bukan seperti itu. Seperti ini,” katanya sambil membenarkan posisi lengan saya. “Lurus ke atas, lalu lurus ke bawah.”

Sesuatu telah salah. Saya tak dapat mengangkat beban itu lebih dari beberapa senti pun!

Itu mungkin karena saya baru saja melakukan push-­up. Karena itu tangan-­tangan saya tak bisa digerakkan. Saya menurunkan tangan dan mencoba lagi. Saya masih tak dapat mengangkat beban lebih dari 2 atau 3 cm. Saya memandang ke arah Robert dan terkejut sendiri. Ternyata dia mengambil beban yang lebih ringan. Yang paling ringan yang dimiliki gym itu. Mengapa bisa begini?

“Jujur, saya biasa mengangkat beban 3½ kilogram. Kadang-­kadang bahkan 5 kilogram,” kata saya.

“Cara kamu mengangkat beban, salah,” kata Robert menyimpulkan. Ketika penderitaan itu hampir selesai, Robert mengajak saya kembali ke kubikelnya. Dada saya terasa berat, kaki saya gemetar, dan gambaran saya tentang Sarah Connor nyaris lenyap!

6D\DWDNVDQJJXSPHOHZDWLVDWXEDJLDQGDULSHQLODLDQÀVLNVD\D 'HQJDQ VHULXV 5REHUW PXODL GHQJDQ VHEXDK JUDÀN 'LD EHUWDQ\D

berat badan saya lalu mencatat angkanya. Dia bertanya tentang cedera-­ cedera yang mungkin pernah saya alami dan menandainya pada kertas. Saya menjelaskan saya merasa berat pada bagian lutut kiri dan bahu

kiri. Cedera-­cedera saya dicatat. Kemudian dia menyerahkan nemesis saya, yaitu alat yang dapat dipegang dan tampak seperti alat kendali pada permainan Nintendo.

“Pegang ini di depan dengan dua tangan,” perintah Robert. “Dia akan mengirim tegangan listrik melalui tubuh Anda dan membaca persentase lemak dalam tubuh secara akurat.”

Dia menekan tombol start, lalu jeda pendek, lalu satu angka muncul pada layarnya.

Saya tak terlalu terkejut, tetapi Robert kaget melihat betapa tingginya persentase aktual lemak dalam tubuh saya.

“Mungkin saya tidak memegang dengan benar,” kata saya.

Kami mengulang proses tersebut dan angka persentase itu naik satu persen.

“Mungkin alat ini rusak atau saya dehidrasi”

Waktu itu Alec masuk ke dalam kubikel. “Saya boleh coba?” tanyanya.

Bum! Persentase lemak Alec 5,2 persen. “Ibu berapa?”

Tanpa menjawab saya melambaikan tangan, mengusirnya dari kubikel itu.

Sambil menggeleng-­gelengkan kepala, Robert menarik selembar kertas dengan dua gambar di atasnya. Seperti steak. Yang satu kurus, yang lain tidak. Saya “tidak” termasuk pada kedua gambar itu.

“Anda termasuk dalam apa yang kami sebut sebagai ‘Lemak Kurus’,” katanya.

Saya kaget dan segera protes bahwa saya sangat aktif, meski bukan orang sibuk. Saya takkan balik ke gym bila saya diberi label kentang iris!

Robert mengangguk mengerti. “Karena Anda aktif dan banyak bepergian, mungkin Anda tidak makan cukup protein untuk mempertahankan energi yang dibutuhan tubuh. Akibatnya tubuh membakar otot Anda menjadi energi, bukan dari lemak Anda.”

Menyadari keterkejutan saya, dia melanjutkan, “Seperti makan steak. Apa yang Anda lakukan? Anda membuang lemaknya, lalu makan dagingnya. Tubuh Anda juga sama. Tubuh memakan daging

tubuhnya sendiri, yaitu otot Anda. Kemudian, kamu kehilangan otot, kamu kehilangan kekuatan. Cara satu-­satunya mendapatkan kembali kekuatan Anda adalah dengan latihan intensif, agar otot Anda terbentuk.”

Dia tambah mempermalukan cedera saya dengan menunjuk beberapa wanita yang dianggap berpostur lebih besar daripada saya dan berkata meski mereka mungkin merasa persentase lemaknya lebih tinggi, tetapi persentase lemak saya lebih tinggi daripada mereka! Dia juga mengatakan bahwa lemak saya (di sini saya benar-­benar rentan!) bukan kebanyakan pada bagian tengah tubuh atau paha. Melainkan bagian tangan!

Sedihnya, tempat yang saya anggap paling perkasa justru yang paling buruk!

Semua gambaran tentang Sarah dan saya sama menarik, sirna sudah. Pilihannya sekarang ada di hadapan mata saya. Apa saya ingin terus membakar otot, lalu kekuatan saya berpotensi cacat pada satu hari nanti? Bahagiakah saya dengan sebutan “Lemak Kurus” atau “Perkasa Palsu,” atau siapkah saya untuk menjadi benar-­benar kuat? Di tengah rasa malu, saya memutuskan untuk menjadi kuat! Bagi saya bukan soal kelihatan bagus waktu berpakaian. Lemak kurus bisa mencapai itu semua. Lebih daripada itu. Ini tentang menempatkan kelemahan dan mengubah tubuh yang rentan itu menjadi tempat yang penuh energi dan kuat.

Saya tak perlu menurunkan berat badan. Saya perlu mengembangkan kekuatan.

Saya sadar berat badan tidak akurat dalam menggambarkan komposisi tubuh saya. Terbuat dari apa saya ini? Ketika dorongan menjadi sangat mendesak, akankah saya memiliki kekuatan untuk bertahan saat ujian? Saya dapat melakukan lari cepat seratus meter sepanjang tak ada jalan menanjak. Tetapi jika jarak atau hambatan ditambahkan, saya menyerah. Mengapa? Karena saya terlalu lemah untuk menanggung beban tambahan.

Saya hanya dapat mengangkat sedikit beban, dari sudut terbatas. Itu sebabnya saya tak dapat mengangkat ketika Robert memberi beban pada posisi berbeda. Saya gagal menjadi kuat ketika dia mengucilkan sekelompok otot saya yang lemah dan rentan karena jarang digunakan. Ada semacam perubahan dalam sikap saya bahwa, bahkan ketika

saya menulis kalimat ini, saya nyaris harus berjuang untuk berlatih. Saya berangkat ke gym untuk menegaskan kembali bahwa saya kuat, dan tidak mau disebut lemah. Saya tak suka apa yang saya dengar. Betapa indahnya mengetahui kebenaran kata-­kata itu, dan mengizinkan sebuah cara bekerja agar saya dapat mengubah bagian-­bagian yang lemah menjadi kuat! Sekarang ada bagian dalam diri saya yang perlu disadarkan kelemahannya sehingga saya dapat menemukan bagaimana menjadikannya kuat.

Saya tak dapat menemukan wilayah kelemahan diri sendiri. Saya perlu mempunyai sejenis pelatih, yang berarti saya mengeluarkan

VHGLNLWELD\DGDQEDQ\DNPHQGHULWDODWLKDQÀVLN

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 66-71)