• Tidak ada hasil yang ditemukan

Twitter Berpilin

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 97-101)

Mungkin Anda sudah mendengar atau mungkin juga mempunyai akun pada komunikasi maya dengan bentuk pendek yang disebut Twitter.

Media itu baik sebagai penggunting informasi dan terbaik dalam menyediakan semacam jendela pada isu-­isu mengenai kehidupan dan pikiran seseorang.

Satu kali saya memposting sebuah konsep yang sudah saya tulis secara detail dalam buku saya Fight Like a Girl. Kalimat itu adalah kutipan tentang isu kepemimpinan yang berbunyi: “Gender tak menjadikan seorang pria memiliki kualitas dalam memimpin, seperti juga gender tidak membatalkan seorang wanita untuk memimpin.1 Kebijakan dan

kebajikan seseoranglah yang menentukan syarat ia layak menjadi pemimpin, baik untuk laki-­laki dan perempuan.” Mohon dicatat di sini, saya tak membatasi kalimat itu hanya untuk kepemimpinan di gereja atau pada kehidupan pernikahan. Secara sederhana saya menyatakan bahwa kebajikan adalah kualitas penting bagi para pemimpin, entah dia laki-­laki atau perempuan.

Saya menulis di Twitter, dan memposting juga di halaman Facebook saya. Saya tidak berpikir apa yang saya katakan itu bersifat kontroversial. Saya merasa pernyataan itu normal saja. Saya juuga tak terpikir gagasan apa yang akan muncul menyusul pernyataan saya itu. Lalu saya menerima lebih dari seratus tanggapan dari pernyataan itu. Juga sebuah perdebatan sudah muncul di Facebook saya. Beberapa perempuan Kristen menjadi marah.

“Beraninya Anda berkata bahwa seorang istri dapat memimpin suaminya jika dia menganggap dirinya lebih bijak!” tulis seorang wanita.

Baiklah. Itukah yang saya tulis?

Yang lain menuduh saya mengesampingkan Kitab Suci yang mengatakan bahwa hanya seorang pria dapat menjadi penatua gereja. Apa saya menyebut masalah kepenatuaan gereja? Kemudian ada diskusi tentang kepemimpinan secara umum. Beberapa wanita menjelaskan kepada audiens di Facebook bahwa seorang wanita tidak seharusnya menjadi seorang pemimpin.

Lalu seorang gadis muncul, ia ingin mencari kejernihan dari masalah ini, melemparkan pertanyaan serius, “Apakah Anda sedang mengatakan bahwa istri seorang pendeta senior di gereja bukan pemimpin?” Sebuah jawaban muncul dengan perkataan tegas, “Bukan, dia bukan pemimpin! Dia hanya mendapat kehormatan untuk mendukung suaminya.”

Sekarang saya bingung! Pendapat-­pendapat lain terus bermunculan, sampai akhirnya dialog itu mengarah pada isu tentang tunduk. Beberapa mempertanyakan kepemimpinan saya. Ada yang menjawab saya bukan pemimpin karena saya perempuan. Ada juga yang memberi penghargaan bahwa karena saya tunduk kepada suami saya, saya tergolong pemimpin namun di bawah suami saya.

Mari kita rehat sejenak dan melihat semua alasan itu bersama. Mengapa setiap kali kita berdiskusi soal gender, kita seperti terperosok pada isu bahwa wanita tunduk kepada pria? Jika saya adalah pemimpin, itu karena Allah yang menjadikan saya demikian. Cukup sederhana, bukan? Pemimpin biasanya mempunyai pengikut. Beberapa dari kita adalah pemimpin, entah kita pernah atau tidak menandatangani status itu. Jadi Allahlah yang menolong kita menjadi memimpin melalui keteladanan. Untuk memusatkan perhatian tentang hal ini, mari kita telusuri kepemimpinan Paulis kepada Timotius.

Seorang pemimpin harus disegani, setia kepada istri, tenang dan mengendalikan diri, mudah ditemui, ramah. Dia harus tahu apa yang sedang dia bicarakan, bukan penggemar anggur, tidak nyinyir tetapi lembut, tidak mudah tersinggung, tidak mata duitan. Dia harus cakap mengatasi masalah pribadinya, memperhatikan anak-­anaknya, dan anak-­anaknya pun menghargainya. Karena, jika seseorang tak mampu mengatur masalahnya sendiri, bagaimana dia dapat memedulikan gereja Tuhan? Dia seharusnya bukanlah seorang yang baru percaya, kalau-­kalau posisi yang diberikan kepadanya itu membuatnya keliru atau kesandung karena pengaruh si Jahat. Kalangan d luar pemimpin itu harus berpikir sesuatu yang baik tentang dirinya, atau si Jahat akan mencari-­cari cara mengiming-­iming orang itu untuk masuk dalam perangkapnya.

Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang terhormat, tak bercabang lidah, bukan peminum, tetapi pendamai. Mereka haruslah orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci, dapat menahan diri, dan dapat dipercayai dalam segala hal. Mereka harus diuji terlebih dahulu. Baru ditetapkan dalam pelayanan setelah terbukti mereka tak bercacat. (1 Timotius 3:2–10)

'DODP D\DWD\DW GL DWDV 3DXOXV PHQGDIWDUNDQ NXDOLÀNDVL VHRUDQJ

pemimpin laki-­laki.

Kemudian dia meneruskan:

Demikian juga istri-­istri hendaklah orang terhormat, jangan

SHPÀWQDKKHQGDNODKGDSDWPHQDKDQGLULGDQGDSDWGLSHUFD\D

dalam segala hal. Pelayan dalam gereja harus setia kepada pasangannya, mengurus anak-­anak dan keluarganya dengan baik. Mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa. (1 Timotius 3:11–13)

Mengapa Paulus memberikan daftar kepemimpinan juga kepada

SHUHPSXDQMLNDJHQGHUPHPEDWDONDQNXDOLÀNDVLPHUHND".HWLND-RKQ

dan saya mempekerjakan seseorang di kantor kami, kami mendaftarkan

EHEHUDSDNXDOLÀNDVL\DQJGLSHUOXNDQ-LNDFDORQSHODPDUWLGDNWHUPDVXN GDODPNXDOLÀNDVLLWXNDPLWDNGDSDWPHPSHNHUMDNDQPHUHND7LGDN

masalah apakah pelamar itu laki-­laki atau perempuan. Paulus tidak mengatakan bahwa jika seorang pemimpin bukan laki-­laki, jangan percaya kepadanya. Dia berkata, laki-­laki atau perempuan, jika mereka

WLGDN PHPHQXKL SHUV\DUDWDQ NXDOLÀNDVL \DQJ GLEXWXKNDQ MDQJDQ PHQXQMXNPHUHND3HQHNDQDQ3DXOXVDGDODKSDGDGDIWDUNXDOLÀNDVL

Paulus tidak memberi kekecualian kepada perempuan. Mereka harusnya memiliki model pada standar yang sama. Anda mungkin bertanya tentang tuntutan bahwa penatua haruslah seorang suami dari satu istri? Ya, perintah itu secara khusus ditujukan kepada laki-­laki, karena perempuan tidak menikmati hidup dengan banyak suami.

Dalam 1 Timotius 3:11–13, Paulus memerintahkan Timotius tentang

NXDOLÀNDVL SHUHPSXDQ GDODP NHSHPLPSLQDQ GDQ NHPXGLDQ GLD PHQJJXQDNDQ NXDOLÀNDVL LWX EDJL SHOD\DQSHOD\DQ SHUHPSXDQ DWDX

penatua di gereja. Bagaimana saya tahu mengenai hal ini? Mari kita baca ayat 1 dan 2 dan melihat apa yang dikatakan sebelum gambaran detail yang diberikan kepada laki-­laki.

Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah! Tetapi ada persyaratannya. (1 Timotius 3:1–2)

Anda lihat kata “orang yang”? (Sama dengan itu, dalam Alkitab bahasa Inggris the English Standard Version tertulis “anyone,” atau siapa saja dan dalam Alkitab New Living Translation tertulis “someone” atau seseorang).

Mengapa perempuan dapat menjadi pemimpin di mana saja kecuali di dalam gereja? Jika Allah tidak bermasalah dengan memberdayakan perempuan sebelum dan setelah masa Kejatuhan Manusia, mengapa kita malu-­malu memberdayakan perempuan pada masa setelah penebusan?

Pada satu titik, perdebatan antar perempuan di Facebook menjadi begitu hangat, sampai seorang pria ikut nimbrung dan berkata, “Mengapa perempuan mendebat dirinya sendiri? Kami perlu kontribusi kalian. Tetapi kalian sendiri saling jegal!” Banyak benarnya apa yang dikatakan pria tadi. Kerapkali kita saling jegal atau saling mengecilkan. Bukannya saling mendukung dan memberi semangat demi Kristus. Kita mengekalkan dominasi yang mengatakan bahwa kita tidak efektif sebagai perempuan dan sebagai Kristen.

Insiden pembicaraan maya di jaringan sosial ini mengingatkan saya tentang kebutuhan isu-­isu gender untuk dialamatkan tidak hanya dalam keluarga tetapi juga dalam gereja. Dunia tempat tinggal kita sangat butuh melihat hati yang sejati dari Allah dan maksud Allah yang murni dalam setiap aspek dalam hidup dan kepemimpinan dari anak laki-­laki dan perempuan dari Allah.

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 97-101)