• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keliru Masalah Perkasa

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 62-66)

Dari sinilah angan-­angan mingguan saya dimulai. Saya merasa penat setelah menghadiri serentetan pertemuan. Lima rapat baru saja rampung. Hari itu Minggu malam dan sedang santai. Saya diundang bergabung dengan tim kepemimpinan konferensi yang bekerja tanpa lelah mengurus semua acara. Kami sedikit kacau dan pening: kombinasi antara kurang tidur, kebanyakan makan, namun merasakan kebaikan Tuhan.

Ketika sedang santai, salah seorang berbagi rasa dengan saya. Dia bilang, “Kamu tahu, di sini orang menyebut saya ‘Si Tukang Paku.’ Dan tadi waktu ibadah Minggu pagi, saya memaku siapa yang saya ingat ketika melihat kamu.”

“Siapa?” tanya saya.

Tanpa ragu dia menjawab, “Kamu mirip Sarah Connor, asli.” (Sarah Connor adalah seorang aktris, model, pelatih gym, dan binaragawati)

Ada jeda panjang kemudian saya menjawab. “Tunggu dulu, bukannya dia pirang?” tanya saya tak yakin.

“Ya, ya, maksudku bukan rambutnya.” Dia menggeleng-­gelengkan kepala dan melambai-­lambaikan tangannya.

“Yang mirip itu struktur wajah dan postur tubuh dan kesamaannya … perkasa,” dia menjelaskan sambil menelusuri garis rahangnya sendiri dan menyimpulkan dengan gaya yang mengintimidasi.

Apa tadi dia bilang “perkasa”?

Baiklah. Di mana letak kesamaannya, saya tidak jelas. Tetapi saya tertarik. Bahkan jika perbandingannya ada dalam satu rentangan, sekarang saya ingin seperti Sarah Connor! Saya menggangguk kepada teman saya itu, tak ingin kehilangan gagasan atau gambar yang mewakili diri saya sebagai perkasa. Waktu itu saya pulang sendiri dan merasa nyaman. Nanti di Amerika, saya akan melihat perempuan

SHUNDVDLQLGDULÀOPThe Terminator.

Ketika tiba di rumah saya minta tolong Alec, anak saya, yang gemar mengutak-­atik media.

“Sayang, bisakah kamu cari wajah asli Sarah Connor? Ibu ingin lihat dia. Kata orang Ibu mirip dia. Seperti apa sih dia sebenarnya?” tanya

saya.

Anak saya memandang saya, sedikit ragu. Namun dengan segera dia memperlihatkan poster Sarah Connor yang sedang berdiri di atas sebuah tank. Ia memakai kacamata bulat kecil dan tangannya memegang pistol. Cukup meyakinkan. Dia tampak liar, tajam, dan lebih dari yang dibicarakan teman saya. Saya tak bisa katakan bahwa saya bisa segera melihat sisi keibuan dari dirinya. (Ini penting bagi saya karena saya sering berbicara soal topik merawat dan menjadi ibu). Tetapi kemudian, bukankah sisi keibuan itu bersifat relatif bagi keadaan Anda? Adalah yang lebih keibuan daripada menjadi perkasa dan mengetahui cara memakai senjata jika tujuan Anda melindungi anak dari pembunuh seperti robot?

Alec juga menemukan sebuah kompilasi video klip. Saya takut gambaran tahun 80-­an ini membuat saya kelihatan kuno. Gambar mozaik Sarah Connor sedang mengendarai sepeda motor, mengisi senjata dengan satu tangan, dan bergerak menjungkirbalikkan tempat tidur dalam satu ruangan rumah sakit mental. Pada saat itu, saya merasa saya adalah dia!

Saya segera menyudahi keraguan saya saat itu juga, kalau saja saya bertanya kepada diri sendiri pertanyaan sederhana ini: Lisa, memangnya kamu pernah mengangkat kursi?

Belum. Tetapi saya biarkan imaginasi saya menjadi liar. Ketika saya melihat Sarah Connor mengangkat kursi di atas, saya membayangkan lengan-­lengan saya sekuat lengannya. Sebenarnya jika saya diberi motivasi yang benar, saya dapat melakukan seperti yang dia kerjakan. Sungguh, saya nyaris perkasa seperti penampilannya. Tak apa dengan

IDNWD EDKZD EDKNDQ GDODP NRQGLVL ÀVLN SXQFDN VD\D WDN PDPSX PHQJDQJNDW WDQJDQ XQWXN XMLDQ NHVHKDWDQ ÀVLN PHQMDGL SUHVLGHQ GL

sekolah menengah atas. (Saya hanya bertahan membayangkan diri saya menyingkirkan buaya-­buaya.)

Agaknya saya lupa pernah cedera pada kedua bahu saya: pertama, karena bermain ski dan kedua, karena satu insiden yang sulit dijelaskan di sini.

Pikirkan! Saya tak pernah mengangkat sesuatu pun! Tetapi ini tak masalah. Saat itu kalau Sarah bisa melakukannya, saya pun bisa.

Tak hanya saya ingin tampak seperti dia. Sekarang saya ingin bertindak seperti dia. Mengapa tindakan pertama pahlawan perempuan

selalu berhasil? Bila momen pembebasannya tiba, ia akan nenjadi kuat dan siap menolong dan melindungi anaknya. Wah! Saya suka perempuan yang tahu memanfaatkan kesulitan untuk memperoleh kekuatan. Sarah dan saya? Kenapa, kami nyaris bersaudara.

Ketiksa sedang berangan-­angan ini, saya melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan. Saya menelepon kantor sebuah tempat gym: Gold Gym.

Saya ingat pernah mendengar seorang trainer yang hebat di sana. Saya bertanya namanya. Resepsionis kantor menyebutkan namanya. Saya gembira sekali ketika mengetahui Robert mempunyai jadwal latihan hari itu. Saya membayangkan saya akan melakukan beberapa sesi latihan pribadi, tiga atau empat sesi, sehingga Sarah dan saya bisa seperti kembar. Ya, kembar … dengan warna rambut berbeda karena saya tak mau punya rambut pirang tetapi saya bersedia berlatih sampai lengan kami sama bentuknya.

Robert setuju bertemu saya untuk melakukan penilaian selama beberapa jam.

Kata penilaian seharusnya membuat saya mempunyai alasan untuk berhenti sampai di situ. Tetapi tidak. Saya tak melakukannya. Saya menutup telepon, merasa bersemangat. Saya meminta Alec membuatkan lagu-­lagu yang bersemangat untuk latihan. Ketika selesai, saya berseru riang, “Ibu mau ke gym. Siapa yang mau ikut?”

Kedua anak saya terpana. Akhirnya mereka ikut saya ke gym. Dengan iPod berisi lagu-­lagu yang Alec buat untuk saya, saya akan melompat-­lompat saat berjalan memasuki gym. Mungkin lain waktu saya akan datang dengan memakai tank top sehingga pelatih saya mudah mengenali persamaan antara saya dan Sarah Connor.

Saya tiba lebih cepat. Saya girang melihat calon pelatih saya dari jauh. Dia pasti senang bertemu calon muridnya. Lebih senang dan lega karena ia akan melatih seorang yang sudah dekat dengan tujuan yang ingin dicapai calon murid.

Begitulah saya membayangkan.

Waktu itu Robert sedang melatih seorang klien. Ia melambai ke arah saya, memberi tanda agar mendekat ke treadmill untuk melakukan pemanasan. Mesin itu yang mempunyai program berjalan menanjak. Saya memandang ke arah klien Robert. Usianya mungkin hampir sama dengan saya. Dengan segala yang saya bayangkan, saya adalah …dia!

Tak hanya bentuk posturnya, kulitnya pun kecokelatan. Penampilannya mirip Sarah dengan tank top dan celana pendek. Saat itu saya mengalami untuk pertama kalinya serangkaian perasaan yang menenggelamkan.

Saya memeriksa lengan-­lengan saya pada lampu gym yang terang dan melihat keadaannya yang lemah, pucat, dan tak berpengalaman.

Tunggu sebentar! Saya tak mau terintimidasi dengan semua itu. Kalau jadwal saya sudah dimulai, kulit saya juga pasti akan menjadi lebih cokelat. Dalam ketidakpatuhan itu, saya menaikkan program treadmill beberapa tingkat lagi. Keperkasaan di dalam diri saya sedang tersembunyi, menunggu untuk diperlihatkan. Beberapa kali latihan dan juga latihan di bawah terik matahari, saya akan menjadi seperti wanita tadi. Namun, apa Sarah menjadi kecokelatan gara-­gara sel penjaranya? Saya mengalihkan perhatian saya, menghidupkan iPod, dan mulai berjalan pada treadmill dengan serius.

Tak lama pelatih saya mendekat, dan tersenyum memberi semangat. “Teruskan, lakukan selama lima belas menit, lalu kita

DNDQ PHQGLVNXVLNDQ WXMXDQ $QGD PHODNXNDQ ÀWQHVV 6D\D DNDQ

menyelesaikan urusan dengan satu klien dulu.”

Lima belas menit? Apa dia serius? Seingat saya hanya perlu delapan menit. Tetapi saya tak mau mengecewakan dan mengoreksi pelatih saya di hari pertama. Jadi saya tersenyum dan menurut apa yang dikatakannya.

Ketika lima belas menit sudah selesai, saya mematikan mesin, kemudian menuju loker perempuan. Saya ingin mencari timbangan badan. Saya sudah lupa berat tubuh saya. Saya pikir informasi ini nanti akan diperlukan oleh pelatih saya. Menuju loker perempuan artinya saya akan berpapasan dengan wanita perkasa tadi. Ketika saya lewat di depannya, dia menyapa.

“Hai, kamu mau latihan dengan Robert, ya?” tanyanya dengan napas terengah. Saya mengangguk sambil menyesap air dari botol dengan sikap tak peduli.

“Dia melatih seperti mau membunuh!” napasnya megap-­megap sambil meneruskan lari trek di mesin yang menanjak. “Saya biasa latihan, tetapi level Robert tak terjangkau.”

Dia menggelengkan kepalanya seolah-­olah menjawab saya memerlukan energi lebih kuat dari biasanya.

Kemudian Robert memanggil nama saya dari gym seberang. Ia melambai ke arah saya dari kubikelnya. Saya mendekat ke arahnya dengan sedikit kurang percaya diri daripada ketika saya memasuki ruang gym tadi.

“Tadi saya akan menimbang badan,” gumam saya.

Tetapi dia tampaknya tak tertarik dengan berat tubuh saya. Robert ingin tahu kekuatan saya.

“Bawa handuk?” tanyanya.

“Tidak,” jawab saya. Saya segera berpikir, itu sama saja dengan menjelaskan saya jarang berkeringat saat latihan. Arti lainnya, lebis pas kalau dikatakan saya jarang olahraga.

Dalam dokumen Singa betina bangkit (LISA BEVERE) (Halaman 62-66)