• Tidak ada hasil yang ditemukan

Co-Legislator: Presiden dan DPD

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 103-107)

C. PEMBENTUK UU DAN

2. Co-Legislator: Presiden dan DPD

a. Presiden/Pemerintah

Seperti diuraikan di atas, legislator utama dalam sistem konstitusi kita sekarang adalah Dewan Perwakil - an Rakyat. Akan tetapi, dalam proses pelaksanaan pembentukan undang-undang, peranan pemerintah sebagai pihak yang akan menjalankan undang -undang

itu nantinya sangat besar pula. Pelaksanaan berbagai ketentuan yang ditentukan dalam setiap undang - undang sebagian besar terletak di tangan pemerint ah, terutama Presiden sebagai kepala peme rintahan. Itu pula sebabnya muncul perkataan executive yang di- nisbatkan sebagai sifat pekerjaan yang dijalankan oleh pemerintah, yaitu mengeksekusi atau melaksanakan ketentuan undang-undang sebagai produk legislatif (legislative act).

Memang sesungguhnya, sebelum umat manusia mengenal lembaga parlemen yang diberi fungsi legis - latif, pengawasan dan penganggaran, semua urusan yang dewasa ini menjadi urusan parlemen itu termasuk urusan-urusan yang diselenggarakan sendiri oleh para raja sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam arti seluas-luasnya. Baru setelah revolusi Peran - cis dan Inggris muncul lembaga parlemen yang mengurangi kekuasaan kepala negara dan kepala peme- rintah dengan memisahkan fungsi-fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran kepada lembaga per wa- kilan rakyat atau parlemen.

Oleh sebab itu, meskipun di zaman sekarang parlemen memegang kekuasaan utama di bidang pem - bentukan undang-undang, peranan pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang itu tetaplah tidak dapat diabaikan, karena pemerintahlah nantinya yang akan melaksanakan sebagian terbesar ketentuan ber - bagai undang-undang tersebut.

Lagi pula, memang pemerintahlah yang paling menguasai informasi tentang apa yang perlu diatur, mengapa hal itu perlu diatur, dan kapan pengaturan itu harus dilakukan dan di mana. Selain menguasai infor -

masi paling banyak, pemerintah juga lebih banyak memiliki tenaga ahli yang mengerti persoalan, dan menguasai sumber-sumber pendukung seperti dana dan daya untuk menyiapkan penyusunan suatu ran- cangan undang-undang, sehingga meskipun Dewan Perwakilan Rakyat yang ditentukan sebagai legislator

utama, peranan pemerintah tetap sanga t besar dalam setiap pembentukan undang-undang.

Karena besarnya peranan pemerintah itulah ma ka sebagian orang masih enggan mengakui bahwa hanya DPR saja yang dapat disebut sebagai legislator. Sebagian orang masih lebih cenderung mengemb ang- kan pengertian bahwa undang-undang dibentuk ber- sama oleh DPR bersama pemerintah, meskipun diakui adanya pergeseran peran yang lebih terpusat pada DPR. Namun demikian, karena Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas menegaskan bahwa “DPR memegang

kekuasaan membentuk undang-undang”, maka tidak

perlu diragukan bahwa DPR-lah yang merupakan lem- baga pembentuk undang-undang atau legislator.

Pemerintah berperan sebagai co-legislator tetapi dengan kedudukan yang khusus dalam proses peran- cangan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Mengapa dikatakan khusus? Karena Pemerin tah adalah lembaga yang akan menjalankan undang-undang itu sebagaimana mestinya, maka sudah seha rusnya pemerintah berhak ikut menentukan apa yang hendak diatur dan kapan sesuatu itu harus diatur de ngan undang-undang yang bersangkutan.

Sesungguhnya, prinsip yang sama juga berlaku bagi semua lembaga yang akan menjadi pelaksana un -

dang-undang. Untuk menentukan apa dan kapan se- suatu akan diatur dalam undang-undang hendaklah tidak ditentukan secara sepihak oleh DPR saja. Lem - baga terkait perlu dilibatkan sebagaimana mesti nya. Misalnya, untuk membentuk atau mengubah Undang - Undang tentang Mahkamah Agung, tidak dapat di- bayangkan apabila Mahkamah Agung sendiri sama se - kali tidak didengarkan pendapatnya oleh lembaga pem - bentuk undang-undang. Apalagi pemerintah yang akan menjadi pihak yang menjalankan sebagian terbesar undang-undang yang telah, sedang, dan akan dibentuk oleh DPR.

Lagi pula, dalam sistem pemerintahan pre -siden- til yang kita anut, Presiden sebagai kepala pemerin - tahan dengan sendirinya memiliki kewenangan yang tertinggi dalam urusan administrasi negara sehingga pengesahan administratif suatu undang -undang harus ditandatangani oleh Presiden dan peng-undangan un- dang-undang tersebut sebagai tanda pemberlakuannya untuk umum harus dilaksanakan berdasarkan perintah Presiden. Oleh karena itu, meski -pun disebut sebagai

co-legislator, kedudukan Presiden itu dalam proses

pembentukan undang-undang bersifat sangat khusus dan utama.

b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Lembaga lain yang juga dapat disebut sebagai co-

legislator adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah juga lembaga yang terlibat dalam kegiatan pembentukan undang - undang sehingga dapat disebut pula sebagai co-legis-

lator, meskipun posisinya hanya sebagai penunjang

atau auxiliary organ terhadap fungsi-fungsi legislatif, pengawasan, dan penganggaran oleh Dewan Perwaki- lan Rakyat (DPR).

Kedudukannya dapat dibandingkan dengan posisi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bersifat auxiliary terhadap fungsi pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat . Dulu, BPK hanya berfungsi sebagai mitra DPR dalam men jalankan fungsi pengawasan di bidang pengelolaan kekayaan negara yang hasil pemeriksaannya disampai kan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindak lanjuti.102

Memang cukup banyak keluhan mengenai lemah- nya kedudukan DPD ini dalam hubungannya dengan DPR dan Pemerintah. Semula ide yang dikem bangkan sehubungan dengan pembentukan kamar kedua yang bernama DPD ini didasarkan atas pilihan prinsip

strong bicameralism (bikameralisme kuat) atau soft

bicameralism (bikameralisme lemah). Dikatakan kuat

(strong) jika kedudukan kedua kamar parlemen itu, yaitu DPR dan DPD adalah sama-sama kuat, tetapi jika salah satunya saja yang kuat maka bikamer alisme semacam itu disebut lemah.

Namun hasil pembahasan yang diikuti perde - batan sengit mengenai soal ini di Panitia Ad Hoc I

102 Sekarang, berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, fungsi BPK

lebih luas dan lebih besar, yaitu mencakup pula pemeriksaan keuangan negara dalam arti luas dan hasil pemeriksaannya disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatan kewenangan yang terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK.

Badan Pekerja MPR tahun 2001 sampai dengan 2002 menghasil rumusan seperti yang ada dewasa ini, yaitu bahwa DPD mempunyai posisi yang lebih lemah daripada DPR. Bahkan jika ditelusuri secara lebih seksama ketentuan yang mengatur peranan DPD itu dalam UUD, secara berseloroh saya sering mengatakan bahwa prinsip yang dianut “not strong nor soft, but too

soft bicameralism”. Malahan, karena lembaga MPR

sendiri masih juga dipertahankan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri dengan forum yang tersendiri pula, maka struktur parlemen Indonesia pas - ca Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan sebagai par - lemen tiga kamar sebagai satu-satunya model kelemba- gaan parlemen trikameral di dunia (tricameralism).

Namun terlepas dari hal tersebut, DPD meme - gang fungsi yang tidak boleh diabaikan dalam proses pembentukan undang-undang di bidang-bidang terten- tu. Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan:

DPD dapat mengajukan kepada

DPR rancangan undang-undang yang ber- kaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pe- mekaran serta penggabungan daerah, pe- ngelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Dalam bidang-bidang yang disebut di atas, DPD dapat berperan sebagai inisiator pembentukan undang -

undang dengan cara menyusun dan mengajukan ran- cangan undang-undang. Menurut Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945:

“... ikut membahas rancangan un- dang-undang yang berkaitan dengan oto- nomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan pengga- bungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang- undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,

dan agama”.

Artinya, dalam bidang-bidang tersebut, DPD berperan ikut membahas sebagai partisipan dalam proses pembahasan rancangan undang -undang, dan dalam bidang-bidang tertentu lainnya berperan pula sebagai pemberi pertimbangan (advisory opinion).

Sementara itu, menurut Pasal 22D ayat (3) UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah berfungsi pula sebagai lembaga pengawas atas pelaksanaan undang -undang mengenai bidang-bidang otonomi daerah, pemben- tukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubung- an pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan ang - garan pendapatan dan belanja negara, pajak, pendi - dikan dan agama serta menyampaikan hasil peng a-

wasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertim bangan untuk ditindaklanjuti. Dengan demikian, di luar fungsi pengawasan, DPD juga berperan penting, yaitu:

1. Sebagai inisiator atau pengusul rancangan undang - undang di bidang-bidang tertentu;

2. Sebagai co-legislator dalam pembahasan rancangan undang-undang di bidang-bidang tertentu;

3. Sebagai pemberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tertentu.

Dengan perkataan lain, Dewan Perwakilan Da - erah (DPD) dapat pula disebut sebagai lembaga co- legislator, meskipun dalam proses legislasi tersebut kedudukannya tidaklah sekuat kedudukan pemerintah/ presiden.103

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 103-107)