• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk Regulatif ( Executive Act )

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 35-38)

B. OBJEK PENGUJIAN

3. Produk Regulatif ( Executive Act )

Produk regulatif adalah produk pengaturan (re- gulasi) oleh lembaga eksekutif yang menjalankan per - aturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif dengan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur le - bih lanjut materi muatan produk legislatif yang dimak- sud itu ke dalam peraturan pelaksanaan yang lebih ren - dah tingkatannya. Contohnya adalah Peraturan Peme - rintah ditetapkan oleh Pemerintah karena mendapat - kan delegasi kewenangan pengaturan dari Undang - Undang sebagai produk legislatif DPR bersama dengan Presiden. Bank Indonesia diberi kewenangan oleh Un- dang-Undang tentang Bank Sentral untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai bentuk regu- lasi dalam rangka pelaksanaan undang -undang.46 Ko- misi Pemilihan Umum diberi kewenangan oleh Un- dang-Undang Pemilihan Umum untuk menetapkan aturan dalam bentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya.

46 Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indo-

nesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, TL No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357.

Sebagai pelaksana undang-undang, semua lemba- ga-lembaga tersebut di atas dapat disebut sebagai lem - baga eksekutif, yaitu pelaksana undang -undang, dan karena itu pelaksanaan tugasnya dapat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pengawas terhadap pelaksanaan setiap undang -undang. Dalam konteks demikian, dapat dimajukan pertanyaan, sejauhmana lembaga-lembaga negara yang sederajat kedudukannya dengan Presiden dan DPR karena sama - sama mendapatkan kewenangan langsung dari Un- dang-Undang Dasar, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan , dan sebagainya.

Semua lembaga ini, seperti Mahkamah Konsti tusi dan Mahkamah Agung, di samping mendapatkan ke- wenangan langsung dari Undang-Undang Dasar, juga memperoleh delegasi kewenangan untuk mengatur sen- diri hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas - nya itu berdasarkan UU. Untuk menjalankan tugas konstitusionalnya itu, Mahkamah Agung perlu mene- tapkan peraturan-peraturan internal yang biasa di na- makan Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA,47 sedangkan Mahkamah Konstitusi menetapkan per - aturan yang disebut Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).48

47 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Un-

dang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN No. 4359.

48 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi,

Persoalannya adalah apakah PMK dan PERMA itu merupakan produk regulatif dengan status sebagai

executive acts, dan karenanya merupakan bentuk

peraturan pelaksanaan atas norma undang -undang? Jika demikian, bukankah transformasi normatif dari undang-undang menjadi PMK atau PERMA itu dapat disebut sebagai bentuk-bentuk pelaksanaan undang- undang yang juga tunduk kepada pengawasan politik oleh DPR-RI? Pada prinsipnya, semua bentuk peng- aturan yang berasal dari kewenangan mengatur yang diberikan oleh undang-undang memang sudah seharus- nya tunduk kepada pengawasan oleh pembentuk undang-undang. Artinya, elaborasi atau penjabaran lebih lanjut suatu norma aturan yang ditentukan dalam undang-undang dalam bentuk peraturan pelaksanaan undang-undang dapat diawasi oleh DPR sebagai pem- bentuk undang-undang yang menjadi sumber kewe- nangan regulasi yang dimiliki oleh lembaga regulasi (regulatory bodies) yang bersangkutan.

Memang benar, Mahkamah Konstitusi dan Mah- kamah Agung adalah lembaga independen yang sama sekali terpisah dari cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi peradilan (rechtsprekende functie) dan fungsi pengaturan (regelende functie), kedua mahkamah ini bersifat independen dari segala bentuk intervensi. Akan tetapi, kedua fungsi ini jelas berbeda status hukumnya. Kewenangan di bidang peradilan atau rechtsprekende

functie merupakan kewenangan mutlak yang bersifat

inheren dan mutlak sebagai ranah kekuasaan judisial

atau judikatif berdasarkan prinsip pemisahan kekuasa - an (separation of power). Sedangkan kewenangan pengadilan untuk pengaturan (regelende functie) ber- sumber dari delegasi kewenangan dari undang -undang atau pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR bersama dengan Presiden.

Oleh karena itu, tidak salah jika pembentuk undang-undang berhak untuk turut mengawasi pelak - sanaan undang-undang yang dibuatnya, termasuk apabila pengaturan mengenai hal -hal tertentu dilaku- kan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Agung. Dalam kedudukannya se- bagai regulator yang mendapatkan delegasi kewenang - an untuk mengatur dari undang-undang atau pem- bentuk undang-undang, maka baik Mahkamah Konsti- tusi maupun Mahkamah Agung dapat diawasi oleh DPR jangan sampai membuat aturan yang melam paui kewenangannya. Para hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi sendiri ataupun di lingkungan Mah kamah Agung tentu saja tidak suka dengan pendapat semacam ini, karena kedudukan dan kepentingan para hakim sendiri tentu tidak menghendaki adanya pengawasan politik oleh DPR semacam ini.

Saya sendiri pun sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, untuk kepentingan jabatan sendiri, tentu lebih suka apabila DPR tidak ikut campur dalam urusan MK menetapkan peraturan internal. Akan tetapi, dalam rangka membangun sistem checks and balances dalam sistem ketata negaraan kita di masa datang, saya meng -

anggap sangat penting adanya pengawasan semacam ini, sehingga baik MK maupun MA tidak sew enang-we- nang dalam membuat dan menetapkan Peraturan Mah - kamah Agung (PERMA) ataupun Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

Bagaimana mekanisme pengawasan oleh DPR itu mesti dijalankan? Tentu, Mahkamah Konstitusi atau - pun Mahkamah Agung tidak dapat dipanggil dalam rapat dengar pendapat ataupun rapat kerja di forum DPR. Yang dapat dipanggil untuk mengadakan rapat dengar pendapat atau rapat kerja di DPR adalah Sekretaris Jenderal dan Panitera Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, bukan para hakim. Namun, dalam pembahasan di DPR, para anggota DPR dapat memberikan pendapat atau kritik yang tidak meng - ikat49 mengenai norma-norma aturan yang tertuang dalam PERMA ataupun PMK. Dengan demikian, yang diawasi oleh DPR-RI terhadap kinerja MA dan MK, tidak hanya terbatas pada soal-soal administrasi dan keuangan saja, melainkan juga menyangkut soal -soal

49 Pendapat DPR atau anggota DPR bersifat tidak mengikat, sebab pada akhirnya tergantung kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sendiri untuk mengubah atau tidak produk regulasi yang telah ditetapkannya. Karena PKM dan PERMA merupakan produk norma peraturan, maka sudah semestinya, mekanisme review atau norm control terhadapnya hanya dapat dilakukan melalui proses judicial review. Hanya saja, lembaga mana yang berwenang melakukan pengujian itu belum perlu dipikirkan secara tersendiri. Apakah mun gkin bah- wa di masa yang akan datang dapat dikembangkan adanya me - kanisme dimana PERMA diuji oleh Mahkamah Konstitusi, se- dangkan PMK diuji oleh Mahkamah Agung.

regulasi internal lembaga-lembaga peradilan tertinggi ini.

Hal yang sama juga dapat diberlakukan untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan lembaga-lembaga lain. Bahkan, berbagai bentuk regulasi pelaksanaan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan per - aturan-peraturan lainnya, sudah seharusnya dapat dijadikan objek pengawasan oleh DPR sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan terhadap ketentuan undang - undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, tolok ukur atau patokan dalam pelaksanaan pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, haruslah undang-undang yang ditetapkan oleh DPR itu sendiri.

Setiap norma yang dirumuskan dalam bentuk peraturan pelaksanaan undang-undang sudah seharus- nya menjadi objek pengawasan oleh lembaga pemben - tuk undang-undang itu sendiri. Karena pada pokoknya, setiap undang-undang itu mengandung kebijakan ne- gara (state’s policy) yang wajib dilaksanakan dan di- tindaklanjuti oleh lembaga pelaksana undang -undang. Dalam melaksanakan ketentuan undang-undang itu, lembaga-lembaga pelaksana itu membuat lagi per atur- an-peraturan yang bersifat pelaksanaan yang di sebut

executive acts yang dapat juga disebut sebagai produk regulatif atau regulasi.

Executive acts dalam arti sempit adalah peratur- an-peraturan yang ditetapkan oleh lembaga -lembaga eksekutif dalam rangka melaksanakan un dang-undang.

Akan tetapi, dalam arti luas, semua lembaga negara yang menetapkan sesuatu dalam rangka menjalankan ketentuan undang-undang – meskipun tidak disebut sebagai lembaga eksekutif atau peme rintahan – apabila lembaga-lembaga itu menetapkan sesuatu peraturan sebagai pelaksana undang-undang yang bersangkutan, maka peraturan dimaksud dapat pula disebut sebagai

executive acts. Sebagai executive acts bentuk peraturan dimaksud tidak disebut sebagai produk legislatif, me - lainkan disebut sebagai produk regulatif atau regulasi, bukan legislasi.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 35-38)