• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa yang Harus Dibuktikan

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 119-122)

D. KUASA HUKUM DAN ADVOKAT

2. Apa yang Harus Dibuktikan

Dalam perkara pengujian undang-undang, ada dua aspek undang-undang yang dipersoalkan, yaitu (i) mengenai materi undang-undang dan/atau (ii) menge- nai pembentukan dan hal-hal selain soal materi un- dang-undang. Namun sebelum sampai kepada substan- si atau pokok perkara yang berkenaan dengan kedua persoalan tersebut, harus dibuktikan lebih dulu menge - nai kedudukan hukum pemohon (legal standing), dan mengenai keberwenangan Mahkamah Konstitusi sen - diri dalam memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan.

Keempat persoalan tersebut, yaitu (i) keberwe - nangan Mahkamah Konstitusi; (ii) kedudukan hukum (legal standing) pemohon; (iii) konstitusionalitas ma - teri undang-undang; dan/atau (iv) konstitusionalitas pembentukan dan/atau hal-hal selain soal materi un- dang-undang yang bersangkutan, dapat dirinci seba gai berikut:

a. Keberwenangan Mahkamah Konstitusi

Pembuktian pertama yang perlu dilakukan me - lalui persidangan panel Mahkamah Konstitusi adalah persoalan kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri

untuk memeriksa dan mengadili permohonan peng - ujian undang-undang yang diajukan oleh Pemohon. Misalnya, dengan memeriksa secara teliti berkas per - mohonan dan tanya jawab yang dilakukan dengan pemohon dalam pemeriksaan oleh panel hakim , alat- alat bukti permulaan yang diajukan, dapat dinilai: 1) Apakah permohonan itu merupakan permohonan

pengujian konstitusionalitas undang-undang atau permohonan fatwa mengenai tafsir undang-undang atau hal-hal lain yang tidak termasuk kategori pengujian (judicial review)? Misalnya, permoho- nan itu diajukan untuk sekedar bertanya, bukan menguji. Hal ini dapat disebut sebagai kewenangan karena kegiatannya, yaitu kegiatan pengujian (ju- dicial review).

2) Apakah permohonan itu berisi permohonan untuk menguji undang-undang, atau bukan undang- undang, misalnya rancangan undang-undang, atau peraturan pemerintah pengganti undang -undang yang belum menjadi undang-undang, atau per- aturan perundang-undangan di bawah undang- undang. Yang kedua ini dapat disebut sebagai kewenangan mengenai obyeknya, yaitu undang- undang.

3) Apakah konstitusionalitas materiil atas isi undang - undang yang dimohonkan diuji memang termasuk kewenangan pengujian materiil yang menjadi ke- wenangan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, apa- kah penjelasan umum suatu undang-undang atau lampiran undang-undang termasuk materi yang Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengu ji

konstitusionalitasnya. Yang ketiga ini dapat disebut sebagai keberwenangan dari sifat materiilnya. 4) Apakah konstitusionalitas formil pembentukan

undang-undang dan hal-hal lain di luar materi undang-undang yang dimohonkan untuk diuji me- mang termasuk pengujian formil yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, mes - kipun pengertian pembentukan undang-undang menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pemben- tukan Peraturan Perundang-Undangan114 men- cakup kegiatan penelitian, tetapi kegiatan pene- litian itu, tentu tidak termasuk kewenangan Mah - kamah Konstitusi untuk menguji konstitusi ona- litasnya. Yang keempat ini adalah keberwenangan dari sifat formilnya.

b. Kedudukan Hukum Pemohon

Untuk membuktikan status legal standing pe- mohon, ada 6 (enam) kriteria yang dapat dipakai, yaitu: (i) pemohon adalah salah satu dari keempat ke lom-

pok subyek hukum yang disebut oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagai mereka yang berhak mengajukan permohonan;

(ii) bahwa subyek hukum dimaksud memang ter- nyata mempunyai hak-hak atau kewenangan- kewenangan yang secara eksplisit ataupun implisit ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

114 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Per-

aturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, LN No. 4389.

(iii) bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau di- langgar oleh berlakunya undang-undang atau ba- gian dari undang-undang yang dipersoalkannya itu;

(iv) bahwa kerugian hak atau kewenangan yang di - maksud bersifat spesifik, riil, dan nyata (actual), atau setidaknya bersifat pote nsial yang menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) dapat dipastikan akan terjadi atau timbul;

(v) bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimak sud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan berlakunya undang-undang yang dimak- sud;

(vi) bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali atau setidaknya tidak akan terjadi lagi dengan dibatalkannya undang-undang yang di- maksud.

Jika keenam kriteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang ber sangkutan dapat dipastikan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi.

c. Konstitusionalitas Materiil

Untuk membuktikan sifat konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas materi suatu undang -undang, perlu diuji pembuktian mengenai ayat, pasal tertentu

dan/atau bagian undang-undang saja dengan konse- kuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan karena - nya dimohon tidak mempunyai kekuatan mengikat se - cara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu dari undang-undang yang bersangkut- an. Dalam beberapa putusan MK ada yang menyatakan satu pasal bertentangan dengan Undang -Undang Dasar akan tetapi dengan menghilangkan kata yang meru - pakan bagian kalimat dalam pasal tersebut makna pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan demikian tidak lagi bertentanga n dengan UUD. Dan hal yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah bahwa ada kalanya dari keseluruhan undang - undang yang diuji hanya beberapa pasal saja yang dianggap bertentangan dengan Undang -Undang Dasar. Akan tetapi pasal tersebut merupakan pasal yang menjadi jiwa atau roh dari undang-undang tersebut, yang mempengaruhi keseluruhan keberlakuan undang - undang tersebut.

Undang-Undang Dasar harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari Pembukaan dan batang tubuh. Batang tubuh merupakan uraian dalam pasal-pasal UUD yang dirumuskan dari asas yang termuat dalam Pembukaan. Uraian secara tekstual dari satu pasal tertentu boleh jadi tidak jelas, kabur dan bahkan tidak dapat dipahami. Sehingga untuk mem - perjelas dibutuhkan tafsiran (interpretasi) yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum tata negara (konstitusi) secara khusus dimana pasal -pasal tersebut tidak dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

d. Konstitusionalitas Formil

Untuk membuktikan konstitusionalitas suatu undang-undang secara formil, perlu dihimpun bukti- bukti mengenai proses pembentukan undang -undang yang bersangkutan, dan hal-hal lain selain soal materi undang-undang.

Di samping itu, ada pula hal-hal yang tidak perlu dibuktikan. Banyak peristiwa, keadaan, ataupun hak dan hal-hal lain yang didalilkan yang tidak memer - lukan pembuktian sama sekali, karena sudah men jadi pengetahuan umum atau karena sudah menjadi penge- tahuan hakim sendiri, baik karena penga lamannya maupun karena fakta-fakta yang dilihat dalam persi- dangan. Hal-hal yang biasa dikenal sebagai peng eta- huan umum atau notoire feiten (public knowledge), su- dah dengan sendirinya tidak memerlukan pembuktian lagi. Misalnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasca Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001, dan Perubahan Keempat tahun 2002.

Selain notoire feiten, yang juga tidak perlu dibuk- tikan lagi adalah hal-hal yang sudah menjadi penge- tahuan hakim sendiri. Sesuai pula dengan prinsip curia novit ius (the court knows the law) atau yang biasa dikenal sebagai asas curia novit,115 tidak perlu pem- buktian untuk hal-hal yang memang hakim sendiri tahu

115 Bahwasanya pengadilan mengetahui hukumnya (de recht-

bank kent het recht), artinya memahami penyelesaian hu- kum atas perkara yang diajukan.

hukumnya. Misalnya, mengenai norma-norma hukum dalam UUD 1945 sudah semestinya dipahami bahwa hakim konstitusi pastilah sudah tahu hukumnya, sehingga tidak perlu pembuktian lagi.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 119-122)