• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUORUM PERSIDANGAN DAN

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 194-199)

1. Persidangan dan Permusyawaratan

Pasal 28 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi198 menentukan:

“Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang ple- no Mahkamah Konstitusi dengan sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam ke- adaan luar biasa dengan tujuh orang ha- kim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua

Mahkamah Konstitusi”.

Penjelasan Pasal 28 ayat (1) tersebut menyatakan yang dimaksud dengan keadaan luar biasa adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) tersebut, sidang pleno Mahkamah Konstitus i harus selalu dihadiri oleh sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan yang disebut sebagai keadaan luar biasa dimana sidang pleno dihadiri oleh tujuh orang hakim.

Mengapa hakim yang menghadiri sidang pleno ditentukan harus tujuh orang, bukan delapan orang?

198 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

Jika yang hadir ada delapan orang, apakah satu orang di antaranya, tidak diperbolehkan mengikuti persidang - an? Apa pula yang dimaksud sidang pleno dalam ayat ini? Apakah sidang pleno yang dimaksudkan adalah sidang pleno yang bersifat terbuka untuk umum atau sidang pleno permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup? Jika jumlah hakim yang menghadiri sidang pleno itu diharuskan ganjil, apakah hal itu dimak - sudkan untuk mengambil keputusan dengan cara pemungutan suara? Bukankah dalam pengambilan keputusan dengan pemungutan suara juga tetap dapat dilakukan, meskipun jumlah hakim yang hadir genap? Bukankah dalam hal jumlah suara sama, misalnya sama-sama 4:4, maka keputusan ditentukan oleh suara ketua rapat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dapat diurai lebih rinci lagi dan dipilah -pilah menjadi bebera- pa persoalan pokok. Pertama, mengenai apakah se - sungguhnya yang menjadi hakikat forum sidang pleno yang dimaksudkan. Kedua, mengenai hakikat kuorum persidangan yang berkaitan dengan jumlah hakim yang diharuskan menghadiri persidangan. Ketiga, mengenai alasan yang dapat diterima secara hukum bagi hakim untuk tidak menghadiri persidangan pleno.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ten- tunya kita perlu melihat kaitannya dengan latar belakang perumusan Pasal 28 itu secara utuh, dan juga dengan penyusunan Undang-Undang tentang Mahka- mah Konstitusi itu sendiri secara keseluruhan. Di sam - ping itu, praktek-praktek yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun penerapan ketentuan ini juga perlu dilihat, sehingga ketentuan Pasal 28 ayat (1)

itu dapat dipahami secara lebih tepat. Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (1) itu bersifat sangat umum, dan berlaku dalam rangka pelaksanaan tugas hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus .

Artinya, sidang pleno yang dimaksud itu dapat bervariasi antara (i) sidang pleno untuk memeriksa ; (ii) sidang pleno untuk mengadili, dalam arti membacakan putusan akhir yang bersifat final dan men gikat, atau (iii) sidang pleno yang diselenggarakan untuk memutus atau untuk mengambil keputusan yang tentu saja sifatnya harus tertutup yang dengan istilah lain biasa disebut juga sebagai rapat permusyawaratan hakim. Di samping itu, pertemuan yang diadakan untuk maksud melakukan pemeriksaan terbuka juga dapat bervariasi dalam arti tidak harus selalu dalam pleno, melainkan dapat pula diadakan dalam panel.

Hakikat dan urgensi ketentuan kuorum untuk masing-masing persidangan tersebut di atas, tentu saja berbeda-beda satu sama lain. Namun, yang penting dari uraian di atas dapat dibedakan antara forum pemeriksaan dan pembacaan putusan yang bersifat terbuka untuk umum, dan forum permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan di antara para hakim. Yang pertama, dapat disebut sebagai forum persidangan atau forum sidang, yaitu Sidang Pleno ataupun Sidang Panel, sedangkan yang kedua merupa- kan forum permusyawaratan hakim yang biasa disebut sebagai forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

2. Kuorum Persidangan Pleno

Seperti diuraikan di atas, dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi199 ditentukan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan sem- bilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi”.

Dalam penjelasan resmi ketentuan ini dinyata kan yang dimaksud dengan keadaan luar biasa adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim konstitusi. Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 28 ayat (1) ini, sidang pleno MK harus selalu dihadiri oleh sembilan orang hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa yang cukup dihadiri oleh tujuh orang hakim.

Dalam Sidang Pleno yang dimaksudkan untuk pemeriksaan atau pun untuk pembacaan putusan final, tidak terdapat urgensi yang mengharuskan forum yang bersangkutan selalu dihadiri ole h jumlah hakim yang ganjil. Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa Sidang Ple - no yang bersifat terbuka dapat saja dihadiri oleh de - lapan orang hakim, apabila salah seorang hakim

199 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

sungguh-sungguh berhalangan hadir karena alasan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, apabila terdapat hakim yang berhalangan menghadiri persidangan karena sebab -sebab yang sah, maka Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi dapat di hadi- ri oleh sembilan, delapan, atau sekurang -kurangnya oleh tujuh orang hakim.

3. Kuorum Permusyawaratan Pleno

Persoalan selanjutnya adalah apakah ketentuan di atas hanya berlaku terhadap forum persidangan dan tidak berlaku pula terhadap forum permusyawaratan hakim? Jika diperhatikan dengan seksama, Undang - Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kon- stitusi200 dengan tegas mengatur bahwa dalam rangka pengambilan keputusan berlaku prinsip suara ketua menentukan. Dalam Pasal 45 ayat (7) dan (8) ditentu- kan:

“(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno201 setelah diusahakan dengan sung-

200 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

201 Dalam ayat ini, istilah yang dipakai adalah musyawarah si-

dang pleno. Namun, seperti diuraikan di atas, yang dimak- sudkan di sini adalah rapat permusyawaratan pleno hakim. Agar tidak menimbulkan kesalahpengertian akibat adanya inkonsistensi dalam penggunaan istilah-istilah rapat pleno, sidang pleno, pleno persidangan, musyawarah dan per- musyawaratan, maka untuk selanjutnya istilah persidangan dan Sidang Pleno dimaksudkan untuk pemeriksaan dan pembacaan putusan, sedangkan forum permusyawaratan di- sebut sebagai Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

guh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara ter- banyak”, “(8) Dalam hal musyawarah Si- dang Pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat di- ambil dengan suara terbanyak, suara ter- akhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan”.

Dengan dianutnya prinsip suara ketua menen- tukan seperti dimaksud di atas, maka sekiranya pun Pasal 28 ayat (1) ditafsirkan mencakup pula ketentuan mengenai kuorum dalam forum rapat permusya- waratan hakim, maka keharusan untuk dihadiri oleh jumlah hakim yang ganjil tentunya juga tidak diper - lukan lagi. Untuk apa mengharuskan jumlah hakim yang hadir ganjil atau genap, karena dengan ketentuan suara ketua menentukan tersebut berarti meskipun jumlah hakim yang hadir genap, mekanisme peng- ambilan keputusan akhir tidak akan terhambat karena - nya. Dengan demikian, kuorum Rapat Permusyawarat- an Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi harus dihadiri oleh tujuh, delapan, atau sembilan orang hakim.

Namun, sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) sebagaimana dikutipkan di atas, pada prinsipnya setiap Rapat Permusyawaratan Hakim selalu diharuskan untuk dihadiri oleh sembilan orang hakim konstitusi. Adalah kewajiban hukum setiap hakim untuk menaati ketentuan ini sesuai bunyi sumpah jabatan. Bahkan, ketidakmampuan memenuhi ketentuan mengenai kehadiran dalam sidang dan rapat permusyawaratan hakim tersebut, dapat menjadi alasan pemberhentian

hakim konstitusi dari jabatannya. Dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c UU a quo ditegaskan bahwa:

Hakim konstitusi diberhentikan

dengan tidak hormat apabila tidak meng- hadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali

berturut-turut tanpa alasan yang sah’”.

Ketentuan tentang alasan pemberhentian dengan tidak hormat ini dapat ditafsirkan berlaku secara kumulatif, yaitu baik untuk Sidang Pleno, Sidang Panel, dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi. Artinya, jika ketidakhadiran dimaksud telah mencapai frekuensi lima kali berturut -turut yang mencakup ketiga jenis forum tersebut, maka terhadap yang bersangkutan telah dapat diambil tindakan hukum yang dapat menghasilkan tindakan pem - berhentian dengan tidak hormat. Misa lnya, jika se- seorang hakim secara berturut -turut tidak menghadiri satu kali sidang panel, dua kali sidang pleno , dan satu kali rapat permusyawaratan, berarti yang ber sangkutan telah gagal memenuhi kewajibannya untuk menghadiri sidang atau rapat yang menjadi tugasnya secara berturut-turut sebanyak lima forum pertemuan. Deng - an demikian, yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi sesuai prosedur yang berlaku berupa pem berhentian dari jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan kategori pemberhentian dengan tidak hormat.

4. Kuorum Persidangan Panel

Kuorum persidangan panel tergantung jumlah anggota panel yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 28 ayat (4):

“Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kon- stitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurang- nya tiga orang hakim konstitusi untuk me- meriksa yang hasilnya dibahas dalam si- dang pleno untuk diambil putusan”.

Dengan demikian, jumlah anggota panel dapat berjumlah lebih dari tiga orang, tetapi sekurang - kurangnya berjumlah tiga orang hakim konstitusi.

Dalam praktek, jumlah panel hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi selalu ganjil, yaitu tiga atau lima orang. Dalam perkara pengujian undang- undang, jumlah panel biasanya tiga orang hakim. Te - tapi, dalam kasus pemeriksaan perkara -perkara per- selisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, dibedakan antara perkara pemilihan calon anggota lembaga perwakilan (pemilu legislatif) dan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden. Untuk memerik - sa perkara perselisihan hasil pemilu legislatif, dibentuk tiga panel, masing-masing terdiri atas tiga orang hakim, sedangkan untuk perkara pemilu presiden, karena jumlah kasusnya hanya satu yaitu perkara (yaitu perkara yang diajukan oleh pasangan capres -cawapres Wiranto dan Salahuddin Wahid), maka hanya dibentuk

dua panel hakim, masing-masing tiga orang dan lima orang hakim konstitusi. Sedangkan satu orang hakim bertindak sebagai hakim cadangan apabila ada anggota panel tidak dapat hadir.

Panel hakim diwajibkan selalu dihadiri oleh seluruh anggota panel. Baik dalam perkara pemilu maupun dalam perkara pengujian undang-undang ataupun jenis perkara lainnya, sidang panel diharuskan selalu dihadiri oleh seluruh anggotanya. Jika anggota panel ataupun ketua panel yang bersangkutan berha - langan, maka diharuskan selalu ada hakim lain yang menggantikan kedudukannya dalam panel. Dalam praktek, sering terjadi anggota atau bahkan ketua panel dalam perkara pengujian undang-undang tidak dapat hadir karena sesuatu alasan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya, maka kedudukannya digantikan oleh hakim yang lain atas penunjukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

Permohonan untuk tidak dapat menghadiri si- dang panel, sidang pleno, ataupun rapat permusya- waratan hakim disampaikan oleh hakim yang bersang - kutan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada po - koknya setiap permohonan diharuskan berbentuk tertulis dan diajukan kepada Ketua Mahkamah Konsti - tusi. Namun dalam praktek, dapat pula terjadi permo - honan dilakukan secara lisan dan baru kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis sebagaimana mesti - nya. Dalam perkembangan setahun pertama sejak terbentuk, ketentuan perizinan ini tidak diterapkan secara kaku, sehingga memungkinkan permohonan dilakukan secara tidak formal. Namun, untuk kepen - tingan membangun tradisi peradilan yang semakin

rasional dan zakelijk, formalisasi penerapan mekani-s- me perizinan ini di masa mendatang mungkin tidak terhindarkan.

5. Rapat Non-Yustisial (non-perkara)

Di samping rapat dan sidang yang bersifat yus- tisial seperti tersebut di atas, tentu ada pula meka- nisme rapat-rapat di antara para hakim dan kesekre - tariatan jenderal serta kepaniteraan. Rapat yang dimak - sud terutama menyangkut persoalan -persoalan keorga- nisasian dan administrasi pada umumnya yang memer - lukan langkah-langkah penataan, pengelolaan, dan pengembangan di bawah kepemimpinan Ketua Mahka - mah Konstitusi, didukung oleh Sekretaris Jenderal da n Panitera Mahkamah Konstitusi.

Kuorum rapat jenis ini tidak ditentukan karena dianggap tidak memerlukan keharusan kuorum. Na- mun, menurut kelaziman organisasi semua anggota haruslah dipastikan diundang dan biasanya mayoritas anggota yang diundang tentu akan menghadiri rapat - rapat yang diadakan. Rapat biasanya diadakan karena memang ada hal-hal yang perlu dibicarakan dan dipu- tuskan secara bersama-sama oleh para hakim.

Termasuk ke dalam kategori rapat yang penting itu adalah rapat yang berhubungan dengan pelanggaran kode etik hakim konstitusi ataupun rapat untuk membahas pemberhentian hakim. Rapat semacam ini tentu tidak termasuk kategori rapat permusyaw aratan yang berkaitan dengan perkara (yustisial) yang ter- cakup dalam tugas utama Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, karena sifatnya juga berkenaan dengan perkara

internal hakim konstitusi, maka jenis rapat ini disebut juga sebagai Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat khusus atau istimewa (RPH Istimewa). Ketentuan kuorum mengenai jenis rapat yang terakhir ini dapat ditafsirkan sama dengan ketentuan mengenai kuorum dalam rapat-rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara konstitusi.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 194-199)