• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk Legislatif ( Legislative Act )

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 30-35)

B. OBJEK PENGUJIAN

2. Produk Legislatif ( Legislative Act )

Produk legislatif adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co- legislator. Dalam sistem hukum Indonesia dewasa ini, pada tingkat nasional yang dapat disebut sebagai lem - baga legislator utama atau legislatif utama adalah De - wan Perwakilan Rakyat (DPR).

35 Pasal 24A ayat (1) UUD Negara RI 1945 berbunyi: “Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ter- hadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kemudian dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI 1945 berbunyi : “Mahkamah Kon- stitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang -undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewe- nangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Perkataan legislator utama itu penting untuk membedakannya dengan lembaga legislatif yang ber - sifat penunjang ataupun yang disebut co-legislator be- laka. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya – ka- rena kedudukannya yang tidak setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – tidak dapat disebut sebagai Legislator Utama. Sifat kelembagaannya hanya menun - jang sebagai auxiliary organ terhadap fungsi legislatif oleh DPR. Namun, terlepas dari hal itu, produk peng - aturan yang ditetapkan oleh legislator utama itulah yang disebut sebagai legislative acts yang dalam sistem hukum Indonesia disebut undang-undang, atau dalam bahasa Belanda disebut wet.

Dalam pembentukan undang-undang itu, DPR- lah yang disebut sebagai legislator , sedangkan peme- rintah merupakan co-legislator, karena setiap rancang- an undang-undang untuk ditetapkan menjadi undang- undang memerlukan pembahasan dan persetujuan ber- sama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden. Bahkan, pengesahan formil rancangan un - dang-undang yang telah mendapatkan persetujuan ber- sama itu, tetap dilakukan oleh Presiden, dan peng - undangannya pun dalam Lembaran Negara tetap di- lakukan atas perintah resmi dari Presiden. Hal ini jelas dapat dimengerti dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) sam - pai dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan Keempat yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekua-

saan membentuk undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak men-

dapat persetujuan bersama, rancangan

undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-un-

dang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang

telah disetujui bersama tersebut tidak disah- kan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib di- undangkan.

Dengan kedudukan para wakil rakyat sebagai pembentuk undang-undang, maka setiap undang- undang sebagai produk legislatif tidak boleh diubah atau dibatalkan oleh pemerintah tanpa persetujuan lembaga perwakilan rakyat yang membentuknya. Pihak eksekutif harus menjalankan segala ketentuan yang terkandung di dalamnya apa adanya, dan untuk itu, lembaga perwakilan rakyat dapat terus menjadikannya alat untuk mengontrol atau mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan undang -undang tersebut sehari-hari. Pemerintah disebut sebagai ekse -

kutif, justru karena tugasnya memang untuk melak - sanakan undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang (legislator).

Bahkan, di samping Pemerintah dalam arti yang lazim, semua lembaga negara dan pejabat negara yang mendapatkan delegasi kewenangan dari undang-un- dang untuk melakukan sesuatu kewenangan, pada dasarnya adalah juga lembaga pelaksana undang-un- dang atau yang biasa dikenal sebagai lembaga ekse - kutif. Artinya, kedudukan suatu lembaga sebagai lem - baga eksekutif atau bukan terletak pada apa kewe - nangan yang ia peroleh dari delegasi kewenangan ber - dasarkan ketentuan undang-undang.

Oleh karena itu, lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum,36 Komisi Penyiaran Indonesia,37 Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia,38 Pusat Pe- laporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), 39 dan lain-lain sebagainya adalah juga lembaga eksekutif undang-undang. Semua lembaga eksekutif ini jika men - dapat delegasi kewenangan untuk membuat aturan

36 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Ang-

gota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, UU No. 12 Tahun 2003, LN No. 37, TLN No. 4277.

37 Indonesia, Undang-Undang Tentang Penyiaran, UU No. 32

Tahun 2003, LN No. 139 Tahun 2002, TLN No. 4252.

38 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU

No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3889. 39 Indonesia, Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencuci -

an Uang, UU No. 15 Tahun 2002, LN No. 30 Tahun 2002, TLN No. 4191.

atau untuk mengatur, dapat disebut sebagai self regulatory body dimana produk pengaturan (regulasi) yang dibuatnya dapat disebut sebagai executive acts

atau regulative acts, dan bukan produk legislatif (legis- lative acts).

Masalahnya sekarang, bagaimanakah dengan produk Peraturan Daerah? Apakah Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota merupakan produk legislatif atau regulatif? Kedudukan DPRD,40 baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota jelas merupa - kan lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif di daerah. Di samping itu, pengisian jabatan keanggotaan - nya juga dilakukan melalui pemilihan umum. Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupat i, dan Walikota sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya, lembaga legislatif dan eksekutif, sama -sama dipilih langsung oleh rakyat, dan sama -sama terlibat dalam proses pembentukan suatu Peraturan Daerah. Karena itu, seperti halnya Undang -Undang di tingkat pusat, Peraturan Daerah dapat dikatakan juga merupa - kan produk legislatif di tingkat daerah yang ber - sangkutan, dan tidak disebut sebagai produk re gulatif atau executive acts.

Sebagai produk legislatif, pada hakikatnya, per - aturan daerah itu mirip dengan undang-undang di ting- kat pusat. Akan tetapi daya jangkau berlakunya ter batas

40 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Ang-

gota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, UU No. 12 Tahun 2003, LN No. 37 Tahun 2003, TLN No. 4277.

pada wilayah hukum pemerintahan daerah yang bersangkutan. Dalam kualitasnya sebagai produk legis - latif yang melibatkan peranan para wakil rakyat sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di daerah yang ber- sangkutan, maka timbul persoalan apakah jika di temu- kan kenyataan bahwa banyak peraturan daerah yang ditetapkan di daerah-daerah itu yang bertentangan per- aturan yang lebih tinggi atau peraturan tingkat pusat, peraturan-peraturan daerah itu dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu diper - soalkan dulu, apakah konsepsi kedaulatan rakyat itu sendiri memang dapat dibagi-bagi? Jawabannya jelas bahwa konsep kedaulatan seperti yang digambar kan secara utopis oleh Thomas Hobbes dalam bukunya

Leviathan41 sebagai konsep tentang kekuasaan tertinggi

yang tidak terpecah-pecah atau terbagi-bagi, memang tidak sesuai lagi dengan kenyataan dewasa ini. Muncul - nya fenomena federasi dan konfederasi antar negara - negara yang berdaulat dimana-mana, dan bahkan berkembangnya konsep organisasi Uni Eropa dewasa ini telah menggugurkan utopia tentang ketidak - terbagian konsep kedaulatan dan kedaulatan rakyat itu . Namun, pertanyaannya dapat dilanjutkan, apakah di dalam prinsip negara kesatuan (unitary state), ke- daulatan rakyat itu juga dapat dibagi -bagi antara kedaulatan seluruh rakyat dalam hubungan dengan

41 Lihat George H. Sabine, History of Political History, Henry Holt and Company, New York, hal. 456, 471, 474, 512, dan 518.

negara kesatuan, dan kedaulatan rakyat di tiap-tiap daerah bagian dari negara kesatuan itu?

Dalam sistem federal, memang sudah jelas ada kedaulatan rakyat di tiap negara bagian, dan ada pula kedaulatan rakyat di tingkat federal. Akan tetapi, dalam negara kesatuan, pemecahan atau pembag ian konsepsi tentang kedaulatan rakyat itu perlu penjelasan tersen - diri. Seperti yang digambarkan oleh John Locke , kedau- latan rakyat itu memang dapat dibedakan antara ke - daulatan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty) ketika pertama kali negara dibentuk, te - tapi tetap ada bagian dari kedaulatan rakyat itu yang tetap berada di tangan rakyat yang sewaktu -waktu dapat dipakai dalam menentukan kebijakan negara dan mengangkat pejabat-pejabat tertentu melalui pemilihan umum dan/atau referendum (second treaty).42

Bahkan dewasa ini, lazim dikembangkan penger- tian bahwa sekalipun rakyat telah memilih wakil -wakil formalnya melalui lembaga pemilihan umum untuk duduk di lembaga perwakilan (parlemen), tetap saja rakyat dianggap memiliki kedaulatannya untuk se - waktu-waktu menyuarakan pendapat kapan saja dan dimana saja dan melalui saluran mana saja. Bahkan dari sinilah berkembang doktrin kebebasan pers se - bagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of

democracy), di samping kebebasan warga masyarakat

42 John Locke, Two Treaties of Government (1689), Ibid. hal. 523-526.

untuk berdemonstrasi atau unjuk rasa, dan hak mogok para buruh pabrik.

Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak dapat dipec ah-pecah merupa- kan konsepsi utopis yang memang jauh dari kenyata - an.43 Dengan demikian, konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistis. Meskipun daerah-daerah bagian dari ne- gara kesatuan itu bukanlah unit-unit negara bagian yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah -daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya sendiri-sendiri dalam ling- kungan daerah provinsi atau daerah kabupaten/ kotanya, di samping kedaulatan dalam konteks berne - gara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Un- dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh sebab itu, produk legislatif di daerah pro vin- si ataupun kabupaten/kota berupa Peraturan Da erah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Dae rah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua- duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari peme rintah pusat begitu saja. Dalam Pasal 145 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah44 dinyatakan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan per-

43 George H. Sabine, Op. Cit.

44 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah,

UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, LN No. 4437.

undang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden. Sedangkan Pasal 185 ayat (5) menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Menteri Dalam Negeri ini dapat dikategorikan sebagai executive review yaitu mekanisme pengujian peraturan daerah oleh Menteri Dalam Negeri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,45 peraturan daerah itu jelas di - sebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang - undangan yang resmi dengan hirarki di bawah undang - undang. Sepanjang suatu norma hukum dituangkan dalam bentuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tersebut, dan ting- katannya berada di bawah undang-undang, maka se- bagaimana ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945, pengujiannya hanya dapat dilaku - kan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain.

Karena Peraturan Daerah (Perda) itu termasuk kategori peraturan yang hirarkinya berada di bawah undang-undang, maka tentu dapat timbul penafsiran bahwa Pemerintah Pusat sudah seharusnya tidak di beri kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan

45 Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.

mencabut peraturan daerah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Yang berwenang untuk menguji Peraturan Daerah itu, me- nurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 adalah Mah kamah Agung.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 30-35)