• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persyaratan Hakim

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 186-190)

E. PENERBITAN PUTUSAN

2. Persyaratan Hakim

Ketentuan mengenai persyaratan hakim konsti - tusi diatur dalam Pasal 24C ayat (5) dan Pasal 25 UUD 1945, serta dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi193. Berda- sarkan ketentuan Pasal 24C ayat (5), tegas dinyataka n:

“Hakim konstitusi harus memiliki in- tegritas dan kepribadian yang tidak ter- cela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.

193 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

Selanjutnya Pasal 25 UUD 1945 menentukan lebih lanjut bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”.

Dalam Pasal 15 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi194, ditegaskan lagi bahwa hakim konstitusi harus memenuhi syarat-syarat (a) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (b) adil; dan (c) negarawan yang menguasai konstitusi dan ke - tatanegaraan. Dibandingkan dengan ketentuan Pasal 24C ayat (5) tersebut di atas, ketentuan UU ini jelas tidak lengkap, yaitu menghilangkan syarat tidak me- rangkap sebagai pejabat negara . Rupanya ketentuan larangan rangkap jabatan ini dicantumkan secara tersendiri dalam Pasal 17 UU ini, yaitu dengan me - negaskan bahwa hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi salah satu dari, yaitu: (a) pejabat ne gara lain- nya; (b) anggota partai politik; (c) pengusaha; (d) ad- vokat; atau (e) pegawai negeri.

Rincian syarat-syarat hakim sebagaimana dimak- sud oleh Pasal 25 UUD 1945, diatur dalam Pasal 16 UU No. 24 Tahun 2003 yang menentukan:

“(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus me- menuhi syarat: (a) warga negara Indone- sia; (b) berpendidikan sarjana hukum; (c) berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan; (d)

194 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara ber- dasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (e) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan (f) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (se- puluh) tahun. (2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi.”

Dari kutipan di atas, persyaratan bagi se seorang untuk diangkat menjadi hakim konstitusi dapat dirinci sebagai berikut:

1) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak ter - cela. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat per - nyataan pribadi yang ditandatangani di atas me - terai, yang pada saatnya dapat dijadikan alat bukti apabila di kemudian hari terbukti bahwa yang bersangkutan memiliki integritas dan kepribadian yang tercela.

2) Yang bersangkutan harus adil. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan surat pernyataan pribadi yang ditandatangani di atas meterai , yang pada saatnya dapat dijadikan alat bukti apabila di kemudian hari terbukti bahwa yang bersangkutan berbuat tidak adil.

3) Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketata negaraan. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan su - rat pernyataan pribadi saja sepert i tersebut di atas. 4) Berstatus sebagai warga negara Republik Indo -

nesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun bukti kewarga- negaraan lainnya seperti passport dan sebagainya. 5) Berpendidikan sarjana hukum. Hal ini dapat

dibuktikan dengan fotokopi ijazah.

6) Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan. Ini juga cukup dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP).

7) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara ber dasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh keku- atan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Keterangan ini juga cukup dibuktikan dengan surat pernyataan pribadi yang suatu saat dapat dijadikan alat bukti jika ternyata yang benar adalah sebaliknya.

8) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putu - san pengadilan. Ini juga cukup dibuktikan dengan surat pernyataan seperti di atas.

9) Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun. Keterangan menge- nai pengalaman kerja dapat diberikan dari instansi atau kantor tempat yang bersangkutan pernah bekerja lebih dari 10 tahun di bidang hukum. 10)Bersedia dicalonkan menjadi hakim konstitusi. Hal

ini cukup ditunjukkan dengan mengisi formulir kesediaan menjadi hakim konstitusi.

11) Tidak merangkap sebagai pejabat negara lain, atau pada saat diangkat menjadi hakim konsti tusi telah menyatakan berhenti dari kedudukannya sebagai pejabat negara lain. Hal ini cukup dibuktikan dengan menandatangani surat resmi pengunduran diri dari status sebagai p ejabat negara yang di- maksud, yang efektif berlaku apabila nantinya yang bersangkutan benar-benar telah ditetapkan men- jadi hakim konstitusi.

12) Tidak merangkap sebagai anggota partai politik, atau pada saat diangkat menjadi hakim konsti tusi telah menyatakan berhenti dari statusnya sebagai anggota partai politik. Sama seperti yang tersebut di atas, inipun cukup dibuktikan dengan surat pernyataan pengunduran diri.

13) Tidak merangkap sebagai pengusaha, atau pada saat diangkat menjadi hakim konstitusi telah ber - henti dari kedudukannya sebagai penguasa. Hal ini juga cukup dibuktikan dengan surat pernyataan pribadi seperti tersebut di atas.

14) Tidak merangkap sebagai advokat, atau pada saat diangkat menjadi hakim konstitusi, telah berhenti dari kedudukannya sebagai advokat. Hal ini juga dibuktikan dengan pernyataan pengunduran diri seperti tersebut di atas.

15) Tidak merangkap sebagai pegawai negeri, atau pada saat diangkat menjadi hakim konstitusi, telah berhenti dari statusnya sebagai pegawai negeri. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan surat peng- unduran diri yang efektif berlaku sejak diangkat resmi dengan Keputusan Presiden menjadi hakim konstitusi.

Jika diperhatikan, di antara syarat -syarat tersebut di atas, persyaratan integritas dan kepribadian yan g tidak tercela merupakan persyaratan yang paling musy- kil. Belum ada kesamaan pendapat di antara para ahli mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan ter - cela, dan apalagi mengenai integritas dan/atau ke- pribadian yang tercela atau yang tidak tercela . Belum ada juga peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perbuatan yang tercela dan yang tidak tercela, serta integritas, dan kepribadian yang tercela ataupun yang tidak tercela tersebut. Ka - rena itu, rumusan-rumusan abstrak seperti ini, jika ditelusuri latar belakang perdebatan yang menyertai - nya, biasanya berhenti pada kesepakatan begitu saja, sedangkan mengenai apa dan bagaimana mengarti kan- nya selanjutnya, diserahkan sepenuhnya kepada dina - mika pelaksanaan ketentuan itu nantinya di lapangan.

Dengan perkataan lain, penafsiran atas arti atau makna yang terkandung di dalam rumusan persyaratan

kepribadian yang tidak tercela itu, diserahkan sepe- nuhnya kepada penilaian subyektif pihak-pihak yang menentukannya di lapangan. Artinya, terserah kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mah- kamah Agung (MA) untuk menafsirkannya ketika me- reka diharuskan menentukan siapa yang akan dipilih untuk menjadi hakim konstitusi. Sudah tentu, masing- masing lembaga negara ini juga perlu mekanisme pen - calonan dan pemilihan calon-calon hakim konstitusi yang menjadi porsi tanggung jawab mereka masing - masing. Dalam mengatur dan menentukan pencalonan hakim konstitusi itu di dan oleh masing-masing lembaga, perlu diperhatikan pula pentingnya mekanis -

me yang transparan dan menjamin rasionalitas dan obyektifitas pemilihan seseorang menjadi hakim konstitusi yang merupakan jabatan kene garaan yang sangat penting dalam sistem negara konstitutional modern.

Bahkan karena itu pula, persyaratan lainnya bagi calon hakim konstitusi adalah kriteria adil dan ne- garawan. Kedua persyaratan ini tidak kalah musykil

dan abstraknya dibandingkan dengan persyaratan per - tama. Keadilan dan kenegarawan an, untuk sebagian adalah persoalan sikap mental, dan sebagian lainnya adalah soal persepsi umum. Ada orang yang dianggap adil, ada yang tidak. Ada orang yang dinilai berda - sarkan persepsi umum adalah negarawan, dan ada pula yang dianggap bukan negarawan. Apabila persoalannya dikaitkan dengan persepsi umum, maka tidak dapat dihindarkan pula kemungkinan adanya perbedaan antar orang atau antar kelompok orang dalam memper - sepsikan sifat-sifat dan derajat-derajat kenegarawanan seseorang atas yang lain. Ada orang yang dianggap negarawan oleh seseorang, tetapi dianggap bukan oleh yang lain atau malah dinilai oleh orang lain lagi dengan cara yang justru berkebalikan atau bertentangan dengan penilaian orang yang menilainya sebagai negarawan.

Untuk mengatasi kesulitan semacam itu, biasanya dipakai saja kriteria jumlah suara yang dianggap dapat membentuk persepsi dan pendapat umum (public

opinion). Di sinilah peran media komunikasi massa

menjadi sangat penting dalam menentukan mana suara orang banyak, dan mana yang bukan. Karena itu, menjadi salah satu prinsip yang penting dalam proses

rekruitmen dan penentuan hakim konstitusi adalah prinsip keterbukaan atau transparansi dan akun - tabilitas. Baik pemilihan tiga orang calon hakim oleh Dewan Perwakilan Rakyat, penentuan tiga orang hakim konstitusi oleh Presiden, dan penentuan tiga orang hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, haruslah di - lakukan secara transparan dan akuntabel.

Di samping itu, alat-alat bukti seperti surat pernyataan dan surat pengunduran diri merupakan instrumen yang sangat penting dalam rangka peng - angkatan hakim konstitusi. Dalam rangka peng ang- katan sembilan hakim pertama kali dengan Kepu tusan Presiden No. 147/M Tahun 2003,195 kelengkapan per- syaratan administratif tersebu t masih belum sepenuh- nya dipenuhi. Karena itu, tidak mudah untuk memasti - kan bahwa hakim konstitusi memang sungguh -sungguh tidak lagi merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, pengusaha, advokat, anggota partai politik, atau - pun pegawai negeri. Misalnya, status pegawai negeri seseorang yang diangkat menjadi hakim, tidak -lah serta merta berhenti pada saat jatuh tempo ketika yang bersangkutan sah ditetapkan menjadi ha kim konstitusi. Artinya, karena faktor-faktor kerumitan birokrasi, kompleksitas dan lambannya proses administrasi ke -

195 Secara administratif sembilan hakim konstitusi diangkat di - angkat menjadi hakim konstitusi dengan Keputusan Pre - siden No. 147/M/Tahun 2003 bertanggal 15 Agustus 2004, dan secara bersama-sama mengucapkan sumpah jabatan dengan disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2004, per - sis 1 hari sebelum batas waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

pegawaian, mestilah terdapat jangka waktu tertentu dimana seorang hakim konstitusi dalam kedudukannya sebagai pejabat negara, merangkap jabatan seperti yang dilarang menurut ketentuan Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi196. Karena itu, untuk masa mendatang penting untuk menerapkan adanya alat bukti persya ratan berupa surat pengunduran diri setiap calon hakim dari kedudukannya dalam jabatan yang dilarang oleh un - dang-undang untuk dirangkap oleh hakim konstitusi. Berlakunya pengunduran diri tersebut dikait kan dengan saat sejak berlaku efektif yang bersang kutan sebagai hakim konstitusi berdasarkan Keputusan Pre - siden yang sah.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 186-190)