• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan dan Perdebatan

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 163-166)

C. PROSES PENGAMBILAN

1. Pembahasan dan Perdebatan

Proses pengambilan keputusan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi

melalui jalan yang cukup panjang. Sebabnya ialah undang-undang itu pada pokoknya merupakan produk hukum yang mencerminkan kehendak politik mayoritas rakyat yang terjelma dalam peran para pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang kadang-kadang juga bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, untuk menguji suatu undang-undang dengan kemungkinan pembatalan terhadap undang-undang yang telah di- bahas bersama oleh lembaga-lembaga resmi pemben- tuk undang-undang itu, tidak boleh hanya didasarkan atas pertimbangan yang sumir. Diperlukan informasi yang sangat lengkap dan akurat, serta dengan pen - dekatan yang juga tepat untuk memahami hakikat permasalahan yang ada di balik undang -undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut.

Karena itu, proses pemeriksaan setiap perkara pengujian undang-undang haruslah dilakukan dengan seksama. Dalam pemeriksaan persidangan, semua pi - hak harus didengarkan keterangannya sesuai dengan asas audi et alteram partem. Pihak-pihak yang terkait dengan pembentukan undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah/Presiden, serta untuk hal-hal tertentu juga Dewan Perwakilan Daerah. Selain itu, lembaga negara atau badan pemerintahan yang menjadi pelaksana undang-undang itu juga mesti didengar keterangannya. Misalnya, dalam menguji Un - dang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi mesti didengar keterangannya. Begitu juga dalam menguji Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum sebagai

lembaga negara pelaksana undang-undang itu haruslah didengar keterangannya sebagaimana mestinya.

Di samping itu, pihak-pihak lainnya, termasuk kelompok-kelompok masyarakat yang merasa berke- pentingan dengan pengujian undang-undang yang ber- sangkutan juga harus diberi kesempatan untuk ikut ser - ta dalam proses pengujian itu. Inisiatif untuk ikut serta itu bahkan dapat pula datang dari lembaga atau pihak - pihak terkait itu sendiri dengan cara mengajukan permohonan resmi kepada Mahkamah Konstitusi. Da - lam hal demikian, pihak-pihak terkait itu dapat diberi kesempatan untuk ikut serta dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Semua pihak itu, dapat mem - berikan keterangan secara lisa n dalam persidangan, dan dapat pula memberikan keterangan tertulis, baik karena diminta oleh Mahkamah Konstitusi atau atas inisiatif mereka sendiri untuk memberi keterangan.

Namun demikian, karena banyaknya perkara yang harus diperiksa, sesudah setahun p ertama sejak berdirinya, Mahkamah Konstitusi juga mengembang - kan tradisi dengan mendayagunakan ketentuan menge- nai panel hakim sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi166. Pasal ini menentukan:

“Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kon-

stitusi dapat membentuk panel hakim

yang anggotanya terdiri atas sekurang-

166 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putus- an”.

Meskipun pembentukan panel hakim itu bersifat fakultatif, tetapi dalam perkem bangan praktek di ke- mudian hari panel hakim itu selalu dibentuk sebagai alat perlengkapan Mahkamah Konstitusi untuk meme- riksa pemohon ataupun kadang-kadang sampai kepada pemeriksaan bukti-bukti.

Biasanya, setelah pemeriksaan pendahuluan se - lesai dilakukan oleh panel hakim, sebelum dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara, diadakan dulu Rapat Permusyawaratan Hakim tahap pendahuluan (Tahap 1) untuk menentukan apakah pemeriksaan ke tahap berikutnya dapat dilanjutkan atau tidak. Dalam RPH 1 ini biasanya dibahas mengenai legal standing

pemohon, dan keberwenanganan Mahkamah Konsti- tusi atas perkara yang diajukan. Jika kedua hal itu dianggap sudah jelas, barulah ditentukan apakah perkara yang bersangkutan akan dilanjutkan ke ta hap pemeriksaan persidangan berikutnya atau tidak. Kalau - pun disepakati akan dilanjutkan, akan ditentukan pula secara bersama-sama mengenai jadwal sidang berikut - nya, dan siapa saja yang akan dipanggil untuk membe - rikan keterangan dalam sidang berikutnya i tu.

Apabila semua pihak sudah didengar, dan pem - buktian pun sudah dilakukan secara terbuka dalam per - sidangan, maka selanjutnya pembahasan perkara itu akan dilakukan oleh para hakim Mahkamah Konstitusi melalui rapat pleno permusyawaratan hakim yang

bersifat tertutup. Rapat pleno permusyawaratan hakim itu harus dihadiri oleh sekurang -kurangnya tujuh orang hakim konstitusi. Jika kurang dari tujuh orang, tidak dicapai kuorum sehingga pengambilan keputusan resmi harus ditunda sampai kuorum rapat terpenuhi. Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang bersifat rahasia inilah, pembahasan dan perdebatan di antara para hakim konstitusi dilakukan melalui taha pan- tahapan seperti diuraikan di bawah ini. Kese luruhan tahapan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) yang biasa dilakukan itu antara lain adalah sebagai berikut: 1. RPH 1 pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk

memastikan sikap para hakim mengenai (a) keada - an hukum (legal standing) para Pemohon;(b) ke- berwenangan Mahkamah Konstitusi atas perkara yang bersangkutan; dan (c) langkah yang perlu di- ambil oleh majelis hakim untuk tahap selan -jutnya. 2. RPH 2 dalam rangka Diskusi Curah Pendapat 1

(Brain Storming);

3. RPH 3 (bila diperlukan) adalah dalam rangka Diskusi Curah Pendapat 2, yang biasanya diakhiri dengan instruksi agar setiap hakim segera menulis - kan pendapat hukumnya secara resmi.

4. RPH 4, yaitu apabila diperlukan atas dasar kesepa - katan bersama, diadakan lagi Diskusi Cura h Penda- pat 3 dalam rangka menghimpun pendapat-penda- pat yang lebih luas mengenai perkara pengujian undang-undang yang terkait.

5. RPH 5 adalah dalam rangka penyampaian penda- pat hukum setiap hakim konstitusi secara resmi, dan hakim yang lain diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan ataupun komentar terha-

dap pendapat resmi yang telah disampaikan oleh masing-masing hakim;

6. RPH 6 diadakan apabila, yaitu untuk diadakan lagi beberapa kali perdebatan lanjutan untuk tujuan mendalami pokok permohonan sebelum diambil putusan final dan mengikat atas perkara yang ber - sangkutan;

7. RPH 7 adalah dalam rangka menentukan pilihan kesepakatan tentang putusan final atas perkara bersangkutan.

8. RPH 8 adalah rapat dalam rangka perancangan putusan.

9. RPH 9 adalah rapat finishing redaksional atas rancangan putusan final yang akan siap dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.

Dengan perkataan lain, setiap putusan Mah - kamah Konstitusi, sebelum dinyatakan final dan meng - ikat haruslah dilakukan berdasarkan pilihan -pilihan rasional dan obyektif berdasarkan pengkajian yang sangat luas dan sangat mendalam. Pengkajian itu dilakukan atas dasar informasi atau keterangan yang sebanyak mungkin berhasil dikumpulkan dari semua pihak atau kalangan yang mungkin terkait dengan materi perkara. Semua bukti-bukti yang memberikan informasi dan keterangan dimaksud dipakai oleh hakim untuk menentukan pilihan pendapat, sehingga setiap putusan yang dijatuhkan benar-benar telah didasarkan atas keyakinan hakim yang paling obyektif dan rasional, serta paling kuat probabilitas kebenaran dan ke adilan- nya.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 163-166)