• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Atas Lampiran UU

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 41-44)

B. OBJEK PENGUJIAN

5. Pengujian Atas Lampiran UU

Dalam praktek, sering ditemukan kenyataan bah - wa materi yang dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma yang terdapat dalam pasal undang - undang, melainkan dalam lampiran undang-undang. Ada beberapa contoh format undang-undang yang materi intinya tidak terdapat dalam undang -undangnya itu sendiri, melainkan terdapat dalam lampirannya.

Misalnya, undang-undang tentang Anggaran Penda- patan dan Belanja Negara, dan undang -undang ratifi- kasi perjanjian international.

Biasanya, undang-undang tentang APBN itu ha- nya berisi beberapa pernyataan yang tert uang dalam dua-tiga pasal saja, sedangkan APBN-nya sendiri ada dalam lampirannya yang sangat tebal dan dibukukan tersendiri. Pada terbitan buku APBN, rumusan undang - undangnya dapat dikatakan seakan hanya dicantumkan menjadi semacam pengantar saja. Demiki an pula dengan undang-undang ratifikasi perjanjian internasio - nal, yang justru lebih penting adalah lampirannya. Biasanya lampirannya itu masih merupakan naskah aslinya dengan bahasa resminya. Sedangkan bunyi undang-undangnya hanya menyatakan bahwa perjan ji- an internasional yang bersangkutan disahkan menjadi undang-undang Republik Indonesia.

Oleh sebab itu, timbul persoalan, apakah Mah ka- mah Konstitusi dapat menguji lampiran undang - undang? Persoalannya adalah apakah lampiran un - dang-undang itu termasuk ke dalam pengertian un- dang-undang itu sendiri atau bukan? Pemerintah tidak berwenang menetapkan APBN tanpa persetujuan DPR. Mekanisme pemberian persetujuan itu dilakukan me - lalui mekanisme pembahasan bersama di DPR, dan bentuk persetujuan DPR itu selalu dituangkan dalam bentuk hukum undang-undang, dan naskah APBN-nya dicantumkan di belakang undang-undang yang ber- sangkutan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari naskah undang-undangnya. Karena itu, undang-

undang tentang APBN harus dibaca dalam satu ke- satuan dengan naskah APBN-nya.

Hal yang sama juga terjadi dengan undang - undang ratifikasi. Keberadaan undang -undangnya itu tidak mungkin dipisahkan dari naskah perjanjian internasional yang disahkannya menjadi hukum nasio - nal. Karena itu, jika undang-undangnya diuji, maka de- ngan sendirinya materi perjanjian internasional yang menjadi lampiran undang-undang itu dapat saja diper- soalkan oleh pemohon. Jika pengujian dilakukan secara formil, tentu persoalannya terbatas pada soal cara dan prosedur ratifikasi itu dilakukan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan UUD 1945 atau tidak. Jika prosedur konstitusional ratifikasi perjanjian internasional itu tidak dipenuhi, maka dapat saja undang -undang yang bersangkutan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk keseluruhannya.

Akan tetapi, jika pengujian itu dilakukan secara materiil, berarti materi perjanjian internasional yang menjadi lampiran undang-undang itulah yang diper- soalkan. Jika hal itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945, bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi dapat menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hu - kum mengikat sepanjang menyangkut materi tertentu saja tanpa berakibat kepada naskah perjanjian inter - nasional itu secara keseluruhan. Bukankah perjanjian internasional itu merupakan merupakan produk hu- kum internasional yang oleh Indonesia tidak mung kin ditolak sebagian dan diterima sebagian lainnya.

Hal yang sama juga terjadi dengan undang-un- dang tentang APBN. Meskipun harus diakui bahwa undang-undang APBN itu adalah undang-undang dan karena itu, adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya terhadap Undang-Undang Dasar, te- tapi jika pengujiannya dilakukan secara materiil, ber - arti Mahkamah harus menilai materi atau isi APBN - nya, bukan hanya terbatas pada teks undang-undang pengantarnya. Jika materi APBN itu menyangkut angka anggaran, maka akibatnya tentu berkaitan dengan kese - luruhan perhitungan anggaran dalam APBN itu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika terdapat perubahan dalam satuan anggaran dari total anggaran 100 persen, maka setiap perubahan satuan mata ang - garan akan mengakibatkan perubahan pula pada angka APBN itu secara keseluruhan.

Artinya, jika satu angka dinyatakan berten tangan dengan UUD dan dinyatakan tidak mempunyai ke- kuatan hukum mengikat, berarti keseluruhan APBN itu harus dibatalkan. Jika demikian berarti, akan ber laku- lah ketentuan APBN tahun sebelumnya seperti hal nya rancangan APBN yang diajukan pemerintah tidak mendapat persetujuan DPR. Karena itu, untuk menilai konstitusionalitas undang-undang tentang APBN, Mah- kamah Konstitusi harus berpikir luas. Hakim konstitusi harus mempertimbangkan maksud yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pemohon melalui permohonannya, tujuan yang sebenarnya dengan dibe ntuknya Mahka- mah Konstitusi, serta tujuan hakiki hukum itu sendiri dalam kehidupan bernegara.

Jika kedua undang-undang tentang APBN atau- pun undang-undang ratifikasi perjanjian inter nasional tersebut memang benar-benar bertentangan dengan UUD 1945, sehingga menimbulkan ketidak adilan yang benar-benar merusak kehidupan bernegara menurut UUD 1945, para hakim harus tegas bertindak sebagai pengawal konstitusi. Jangan karena ingin bertindak se - bagai negarawan, para hakim berubah menjadi politi - kus, yang mencla-mencle atau karena memendam ke- pentingan pribadi untuk membela pemerintah tanpa

reserve dan tanpa integritas yang dapat dipuji sama se - kali, menolak begitu saja setiap ide untuk menguji un - dang-undang APBN ataupun UU ratifikasi perjanjian internasional.

Sebaliknya, para hakim juga tidak boleh berpikir seperti tukang yang kerjanya hanya kutak-katik istilah dan kata-kata, lalu dengan gagah berani membatalkan suatu undang-undang yang dinilainya bertentangan dengan konstitusi, tetapi keseluruhan kegiatan berne- gara menjadi macet karenanya, yang sama sekali bukanlah maksud UUD 1945 untuk membentuk lem- baga yang akan menciptakan keadaan semacam itu.

Namun demikian, terlepas dari hal -hal tersebut di atas, yang jelas, lampiran undang-undang adalah ba- gian yang tidak terpisahkan dari undang -undang itu sendiri. Karena itulah dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang- an, sudah menentukan bahwa lampiran undang - undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang itu sendiri. Bahkan UU No. 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan itu sendiri mempunyai juga lampiran seperti dimaksud.

Hanya saja, lampiran UU No. 10 Tahun 2004 ini memang banyak mengandung permasalahan. Dengan tanpa harus menyinggung soal isinya, format lampiran UU ini dan juga segi redaksionalnya pun terlihat ku rang sempurna. Seolah-olah lampiran UU ini hanya sebagai draf rancangan yang belum sempat dirapikan da lam

editing dan pengetikan finalnya. Namun demikian,

terlepas dari kualitasnya, status hukum lampiran itu jelas sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari naskah undang-undangnya, sehingga karenanya termasuk juga objek yang dapat diuji oleh Mahkamah Konsti tusi.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 41-44)