• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengangkatan Hakim

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 184-186)

E. PENERBITAN PUTUSAN

1. Pengangkatan Hakim

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kon- stitusi,191 hakim konstitusi berjumlah sembilan orang. Kesembilan hakim konstitusi tersebut terdiri atas tiga orang yang dipilih atau ditentukan oleh Presiden, tiga orang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat , dan tiga orang dipilih atau ditentukan oleh Mahkamah Agung. Jika di antara mereka ada yang berhalangan tetap atau berhenti di tengah masa jabatannya karena sebab - sebab tertentu, maka kekosongan jabatan hakim kon sti- tusi itu diisi oleh lembaga dari mana hakim yang berhenti itu berasal. Ketentuan demikian ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) sebagaimana nanti akan di - uraikan tersendiri.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) yang dikemukakan di atas, timbul pertanyaan menge - nai hal-hal berikut: (i) apakah jumlah hakim konstitusi memang harus sebanyak sembilan orang, mengapa bukan tujuh orang saja, atau mengapa tidak 15 orang

191 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

UU NO. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

seperti di Thailand; (ii) apakah jumlah hakim konstitusi harus berjumlah ganjil, bukan di negara lain ada juga yang jumlahnya genap; (iii) apakah jumlah sembilan orang itu terkait dengan persoalan kuorum pengam- bilan keputusan atau bukan; (iv) apakah sembilan orang hakim itu dapat mengadakan pembagian tugas di antara mereka, sehingga antara satu hakim dengan yang lain dapat dibebani hak dan kewajiban yang ber - beda; (v) apakah di antara sembilan hakim dapat berbentuk panel hakim di antara beberapa hakim, sehingga majelis hakim dapat berbentuk panel dan da - pat pula berbentuk pleno.

Di berbagai negara, ada kecenderungan hakim konstitusi berjumlah antara sembilan orang sampai dengan 16 orang. Di Afrika Selatan, jumlahnya sem bi- lan orang, tapi di Korea Selatan 15 orang, dan di begitu pula di Thailand. Tetapi di Austria, jumlah hakim pada Mahkamah Konstitusi ada 16 orang. Sebagai salah seorang anggota tim ahli dalam rangka perancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang pertama kali dalam sejarah negara kita, saya sendiri mengusulkan agar efisien jumlahnya cukup sem bilan orang, tidak perlu terlalu banyak seperti di negara lain. Lagi suasana pembahasan rancangan undang -undang ini pada tahun 2003 masih berada dalam suasana kampanye yang gencar anti korupsi yang belum juga kunjung berhasil dilaksanakan di masa reformasi de- wasa ini.

Oleh karena itu, semangat efisiensi sangat mem - pengaruhi penentuan angka 9 orang itu. Di sam ping itu, sambil berseloroh beberapa anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang MK ini juga biasa mengatakan

biarlah jumlahnya sembilan orang sebagai wali songo

atau sembilan wali yang berjiwa negarawan untuk mengawal konstitusi sebagai hukum yang tertinggi di negara kita. Dengan perkataan lain, di samping karena alasan-alasan praktis dan pragmatis lainnya, pe milihan angka 9 orang itu didorong pula oleh sebab-sebab sosio-historis yang terkait dengan cerita legendaris se - perti wali songo dan sebagainya.

Dari segi jumlahnya yang ganjil, yaitu hanya sembilan orang menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1), memang dimaksudkan agar berjumlah tidak genap. Sangat boleh jadi, tidak ada alasan yang spesifik yang menentukan sehingga jumlah hakim ditentukan ganjil. Akan tetapi, jika ditelusuri, pembahasan yang terjadi ketika pasal ini dirumuskan, seperti halnya dengan pasal-pasal undang-undang lain yang mengatur jumlah keanggotaan sesuatu badan, lembaga atau komisi, memang selalu dibayangkan jumlahnya harus ganjil. Karena itu, alasan logis pertama yang biasa diterima umum ialah bahwa penentuan jumlah ganjil itu hanya karena kelaziman yang disepakati begitu saja.

Namun, di samping itu, dapat pula dibangun pengertian yang lebih substantif mengenai alasan penentuan angka ganjil itu, sebagai alasan kedua, yaitu bahwa angka ganjil itu terkait dengan pengambilan keputusan. Karena itu, penentuan angka sembilan itu harus dilihat kaitannya dengan mekanisme pengam - bilan keputusan, yang apabila memerlukan pemung - utan suara, dapat dipastikan menghasilkan keputusan. Alasan inilah yang sebenarnya digunakan oleh para perumus ketentuan di atas, sehingga hakim konstitusi diharuskan berjumlah sembilan orang, bukan delapan

atau 10 orang. Apabila terjadi kekosong an dalam jabatan hakim konstitusi karena berbagai kemungkinan alasan, maka kekosongan itu segera harus diisi oleh lembaga dari mana hakim yang berhenti berasal, sehingga jumlahnya tetap sembilan orang.

Sampai di sini, pembahasan mengenai angka sembilan ini tentu dapat dihentikan, karena apa yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) di atas telah cukup kita mengerti maksudnya. Namun, untuk kepentingan il- miah, pertanyaan kritis masih dapat terus kita ajukan, kalau benar bahwa angka ganjil itu sangat penting untuk pengambilan keputusan, mengapa masih perlu diatur mekanisme pengambilan keputusan seperti yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8). Dalam Pas al 45 ayat (7) dinyatakan, “Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan

suara terbanyak”. Pasal 45 ayat (8) menyatakan,

Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim kon-

stitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara ter- akhir ketua sidang pleno hakim konstitusi me- nentukan”.

Dengan ketentuan ini, berarti dapat terjadi bah wa jumlah peserta rapat pleno permusyawaratan hakim untuk mengambil keputusan hanya dihadiri oleh jum - lah yang genap, misalnya, delapan orang. Jika pe - mungutan suara menghasilkan angka 4:4, maka suara ketualah yang menentukan keputusan akhir. Dengan demikian, menjadi tidak penting lagi ke harusan untuk mematok jumlah hakim harus hanya berjumlah ganjil. Dengan adanya ketentuan bahwa suara ketua menentu -

kan, berarti jumlah hakim secara ke seluruhan boleh saja berjumlah genap. Toh jumlah ganjil ataupun genap tidak akan menimbulkan masalah apa-apa dalam proses pengambilan keputusan, karena adanya prinsip suara ketua menentukan sebagai solusinya.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, dapat diketahui bahwa tidak semua negara menen tukan keharusan jumlah ganjil. Misalnya Austria , yang dikenal negara yang pertama membentuk Mahkamah Konstitusi di dunia, mempunyai 14 orang hakim konsti - tusi, yang terdiri atas satu ketua, satu wakil ketua, dan 12 orang anggota. Untuk menjamin agar jumlah ang- gota yang menghadiri persidangan sel alu 14 orang, di- adakan pula jabatan hakim pengganti sebanyak enam orang, dimana tiga di antara diharuskan berdomisili di luar kota Wina.192 Dengan perkataan lain, meskipun pe- nentuan jumlah hakim itu dikaitkan dengan meka nis- me rapat-rapat untuk memastikan dapat diambilnya keputusan melalui pemungutan suara, namun dalam teknisnya tersedia beberapa alternatif yang dapat dipi - lih. Pertama, jumlah hakim ditentukan harus ganjil, dan suara ketua menentukan. Kedua, jumlah hakim ganjil, dan suara ketua tidak menentukan; Ketiga, jumlah hakim tidak ganjil alias genap, tetapi suara ketua menentukan; Keempat, jumlah hakimnya tidak ganjil, dan juga tidak menggunakan prinsip suara ketua menentukan.

Dari keempat alternatif di atas, hanya alternatif terakhir yang akan menimbulkan kesulitan dalam pro-

192 Herbert Hausmaninger, The Australian Legal System, Manz,

Wina, 2003, hal. 141.

ses pengambilan keputusan, sehingga sebaiknya tidak dipilih dalam rangka kebijakan hukum (legal policy). Sedangkan alternatif pertama, kedua, dan ketiga sama - sama dapat dipakai karena menyediakan solusi yang logis apabila terjadi perimbangan suara yang sama di antara para pengambil keputusan dalam forum pe - ngambilan keputusan hukum yang sah. Karena itu, meskipun ketentuan Undang-Undang telah menentu- kan dianutnya prinsip jumlah hakim harus ganjil, dan sekaligus juga prinsip suara ketua menentukan seperti dikemukakan di atas, tetapi untuk kepentingan ilmiah, alternatif-alternatif di atas dapat dipertimbangkan un - tuk bahan dalam rangka perumusan kebijakan -kebijak- an hukum di bidang-bidang yang lain di kemudian hari.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 184-186)