• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Redaksional

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 168-171)

C. PROSES PENGAMBILAN

3. Masalah Redaksional

Selama dua tahun pertama sejak berdirinya, petugas seperti yang diuraikan di atas belumlah dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah usianya memasuki tahun ketiga, Mahkamah Konstitusi barulah mengangkat salah seorang tenaga ahli yang yang diperbantukan sebagai proof-reader seperti dimaksud di atas. Akan tetapi, sekali lagi, karena tebalnya naskah putusan, tetap saja, tidak dapat dijamin bahwa rumus - an kata-kata dalam naskah putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi, terutama dalam perkara peng - ujian undang-undang akan 100 persen sempurna.

Sehubungan dengan kemungkinan timbulnya ke- kurangan atau kekeliruan dalam perumusan redak sio- nal dalam naskah putusan Mahkamah Konstitusi, tim - bul persoalan bagaimana jika kekeliruan atau ke - kurangan redaksional itu benar-benar terjadi. Di satu pihak, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi167, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi

167 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat per- tama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”.

Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi168 menyatakan, “Putusan Mahkamah Kon-

stitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

Sebagai pengadilan tingkat terakhir dengan putusan yang bersifat final dan mengikat sejak pu - tusannya itu diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, maka jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat lagi diubah -ubah oleh siapa pun juga. Jika putusan itu masih dapat diubah atau diperbaiki sesudah pengucapannya secara resmi dalam sidang pleno terbuka untuk umum, berarti putusan itu tidak atau belum bersifat final sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, jika sesuatu rumusan redaksional yang keliru tidak diper - baiki, maka rumusan suatu kalimat dalam putusan dapat menimbulkan pengertian yang berbeda dari apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Mahkamah Kon- stitusi. Kesalahan dalam memahami dan menafsirkan rumusan putusan itu dapat menimbulkan ketidak- pastian hukum yang tidak dikehendaki oleh Undang- Undang Dasar.

Untuk mengatasi dilema semacam ini, di negara lain dikembangkan juga beberapa praktek yang ber -

UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

168 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

beda-beda. Di beberapa negara, seperti Jerman dan Austria pernah juga diterima adanya ide untuk melaku - kan perbaikan yang bersifat redaksional itu, asalkan hal itu memang benar-benar hanya berkenaan dengan soal- soal minor staff duty yang tidak mengubah, menam- bah, ataupun mengurangi substansi sama sek ali. Menurut pendapat saya, kemungkinan dilakukannya perbaikan redaksional ini dapat dilakukan asalkan diatur tegas dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri. Sampai sekarang, Mahkamah Konsti - tusi belum menentukan sikap mengenai soal ini. Lagi pula kebutuhan untuk ini belumlah dirasakan sangat mendesak pada tahap perkembangannya sampai seka - rang.

Beberapa persyaratan yang dapat dipertim - bangkan dalam menentukan penilaian mengenai diteri - ma tidaknya ide perbaikan redaksional itu adalah: a) Perbaikan sesuatu redaksi putusan final Mahkamah

Konstitusi harus diajukan dengan permohonan res - mi. Artinya, perbaikan dimaksud tidak dapat dilakukan atas inisiatif Mahkamah Konstitusi sen - diri, melainkan harus terlebih dulu di ajukan oleh pihak yang berkepentingan dalam bentuk per - mohonan;

b) Pihak pemohon dimaksud adalah pihak yang di- rugikan hak konstitusionalnya oleh kesalahan re - daksional yang terdapat dalam rumusan putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud. Dengan demi- kian, tidak perlu setiap kesalahan redaksional harus diperbaiki. Artinya, meskipun jelas bahwa suatu rumusan redaksi dalam putusan memang terbukti salah dari segi tata bahasa, tetapi sepanjang

pengertiannya masih dapat dimengerti sebagai - mana maksud yang sebenarnya, maka keperluan untuk mengadakan perbaikan redaksional itu tidak - lah bersifat signifikan.

c) Permohonan mengenai redaksi putusan Mah kamah Konstitusi tersebut memang benar -benar hanya berkaitan dengan perumusan redaksional ataupun susunan kalimat, sistematika putusan, kelengkapan dan penempatan data, dan lain -lain yang bersifat perumusan tekstual putusan, dan bukan menyang- kut substansi pertimbangan hukum dan amar putusan yang telah dinyatakan mempunyai kekuat - an hukum tetap dengan segala akibat-akibat hukumnya yang telah bersifat final dan mengikat sejak putusan itu diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai per - baikan redaksional itu diambil dalam rapat pleno permusyawaratan hakim yang bersifat khusus untuk itu, dan dituangkan dalam dua kemungkinan bentuk, yaitu (a) berbentuk surat yang secara khusus ditujukan kepada pihak pemohon yang bersangkutan, atau (b) dalam bentuk putusan baru yang dimaksudkan me - ngoreksi putusan sebelumnya. Kemungkinan mengenai kedua bentuk ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Karena yang mana yang akan dipilih tergantung kepada kesepakatan para hakim untuk dituangkan dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri.

Jika yang dipilih adalah alternatif yang pertama, berarti bentuknya sama dengan surat biasa yang

bersifat khusus berisi penjelasan khusus mengenai putusan yang ditujukan kepada yang memerlukannya. Bentuk surat seperti ini sudah beberapa kali dikeluar - kan oleh Mahkamah Konstitusi seperti permo honan fatwa pasangan calon Presiden dan calon Wakil Pre - siden Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim dalam rangka pencalonan dalam pemilihan presiden tahun 2004. Permohonan fatwa tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Mahkamah Konstitusi, namun se bagai gantinya, surat yang bersangkutan dijawab secara resmi oleh Mahkamah Konstitusi dengan surat jawaban biasa. Akan tetapi, isinya cukup dianggap menjelaskan hal -hal substantif yang diminta oleh pemohon yang ber- sangkutan.

Contoh lain yang secara khusus berkaitan de - ngan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ber sifat final dan mengikat adalah permintaan penjelasan dari Pemerintah c.q. Menteri Dalam Negeri mengenai putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara pengujian undang-undang yang berkaitan dengan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Putusan atas perkara yang bersangkutan telah diucapkan secara resmi dalam si - dang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 November 2004. Namun, karena banyaknya kesim- pang-siuran dalam penafsiran yang dikembang kan oleh para pejabat di daerah berkenaan dengan hal itu, Pemerintah c.q. Menteri Dalam Negeri berkirim surat secara resmi kepada Mahkamah Konstitusi untuk meminta penjelasan yang dapat dijadikan pegangan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan yang bersifat operasional.

Permintaan dimaksud telah dijawab oleh Mahkamah Konstitusi dengan surat dari Ketua Mah - kamah Konstitusi bertanggal 16 Juni 2005. Dengan surat ini, berarti sudah ada dua macam surat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi berkenaan de - ngan substansi perkara, yaitu (i) surat jawaban atas permohonan fatwa dari pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, (ii) surat penjelasan atas substan - si putusan. Sekiranya perbaikan redaksional rumusan putusan sebagaimana dimaksud di atas akan dijawab juga dalam bentuk surat, maka tentunya kita akan mendapatkan contoh baru lagi mengenai bentuk surat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan perkara. Sudah tentu alternatif ini masih memerlukan pendalaman mengenai kelebihan dan kekurangannya sebelum ditentukan sebagai pilihan yang akan diterapkan.

Sebagai alternatif kedua adalah bentuk putusan baru yang menganulir putusan lama. Yang jadi masalah adalah bahwa putusan terdahulu itu ada tiga macam, yaitu putusan yang mengabulkan, menolak, atau me- nyatakan tidak dapat menerima (niet ontvankelijk

verklaard). Menurut saya, putusan yang memiliki

cukup relevansi untuk dipertimbangkan dalam rangka kemungkinan diadakannya perbaikan redaksional itu adalah putusan yang amarnya mengabulkan ini. Se - dangkan untuk putusan-putusan yang amarnya meno- lak atau menyatakan tidak dapat diterima, kemung - kinan perbaikan redaksional itu tidaklah rele van untuk dipertimbangkan. Toh kedua jenis amar putusan yang terakhir ini sama sekali tidak mengubah atau mem - pengaruhi keabsahan berlakunya undang -undang yang

bersangkutan. Lagi pula, jika pun perbaikan redaksi itu dilakukan terhadap putusan-putusan yang amarnya menolak ataupun yang menyatakan tidak dapat mene- rima, perbaikan itu juga sama sekali tidak memerlukan mekanisme pengumuman resmi dalam Berita Negara, karena putusan aslinya saja pun tidak dimuat dalam Berita Negara.

Untuk putusan yang mengabulkan permohonan, sesuai Pasal 57 ayat (3), putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan. Jika putusan terdahulu telah diumumkan dalam Berita Negara, maka putusan baru yang memperbaiki putusan lama juga haruslah diumumkan pula secara resmi dalam Berita Negara. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi169, ditentukan tegas bahwa pu- tusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi di - terbitkan secara resmi dalam Berita Negara dalam wak - tu paling lambat 30 hari sejak putusan itu diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Jika putusan asli diterbitkan dalam waktu 30 hari, maka dapat saja dikembangkan pengertian bahwa putusan koreksi juga ditentukan paling lambat dalam 30 hari juga su dah harus diumumkan dalam Berita Negara. Akan tetapi, perintah untuk penerbitan dalam Berita Negara ini sudah seharusnya dimuat dalam ketentuan undang- undang.

Demikian pula untuk sahnya bentuk putusan koreksian itu sebagai produk hukum yang mengikat

169 Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN 4316.

juga perlu diatur dalam undang-undang. Jika tidak, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menentukan sendiri adanya bentuk hukum putusan koreksi di - maksud. Sebab, dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan secara tegas bahwa putusan Mah - kamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. Arti- nya, setelah diputuskan secara resmi, tidak ada lagi upaya hukum untuk mengubah putusan itu sama sekali. Karena itu, ketentuan mengenai ide perbaikan rumusan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat itu sudah seharusnya dituangkan dalam rangka perubahan atau revisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika tidak, ide semacam itu tidak mungkin diterima.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 168-171)