• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU dan Peraturan di Bawah UU

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 38-41)

B. OBJEK PENGUJIAN

4. UU dan Peraturan di Bawah UU

Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang. Pembedaan ini tidak identik dengan perbedaan antara legislative act

versus executive act seperti diuraikan di atas. Menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan ter- akhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ...”

Sedangkan dalam Pasal 24A ayat (1) dikatakan, “Mah- kamah Agung berwenang mengadili pada tingkat ka- sasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, ...”

Dari kedua ketentuan di atas, jelas dibed akan antara (i) konsep pengujian undang-undang terhadap

UUD yang merupakan kewenangan Mahkamah Konsti- tusi, dengan (ii) konsep pengujian peraturan per - undang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang merupakan kewenangan Mah- kamah Agung. Dengan adanya pembedaan itu, saya sering membedakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengawal Undang-Undang Dasar (the Guardian

of the Constitution),50 sedangkan Mahkamah Agung

adalah pengawal undang-undang (the Guardian of the Law).

Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peratur- an Perundang-undangan, yang disebut sebagai peratur- an perundang-undangan itu mencakup bentuk-bentuk peraturan yang tersusun secara hirarkis sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3) Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah.

50 Penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsti-

tusi mengatakan sebagai berikut: “…keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka men - jaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.”

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dipastikan mengenai (i) apa saja bentuk-bentuk peraturan per- undang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Undang -Undang Dasar 1945; dan (ii) bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. Berkaitan dengan hal itu, dapat pula di - ketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan per - undang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi daripada undang-undang.

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah jelas merupakan peraturan yang tingkatannya berada di bawah undang -undang, yang apabila diuji dengan menggunakan ukuran undang - undang, dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Tetapi, jika yang diuji adalah undang-undang, maka batu ujinya haruslah Undang-Undang Dasar, dan hal ini merupa- kan bidang kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung.

Peraturan Daerah, dengan demikian, merupakan salah satu bentuk peraturan yang berada di bawah undang-undang dan karena itu dapat diuji oleh Mah - kamah Agung, bukan oleh Mahkamah Konstitusi. Na- mun demikian, peraturan daerah tidak dapat disebut sebagai produk regulatif atau executive act seperti hal- nya peraturan pemerintah ataupun peraturan pre siden. Peraturan Daerah, seperti halnya Undang -Undang, adalah produk legislatif (legislative act) sebagaimana telah diuraikan di atas.

Khusus mengenai Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (PERPU atau PERPPU) seringkali digambarkan seolah -olah tingkatannya ber- ada di bawah undang-undang. Hal ini tercermin dalam ketentuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang menentukan bahwa urutan peraturan perundangan-un- dangan terdiri atas (i) UUD; (ii) TAP MPR; (iii) Undang-Undang; (iv) Perpu; (v) Peraturan Pemerintah; (vi) Keputusan Presiden; dan (vii) Peraturan Daerah . Tata urutan demikian, berdasarkan ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2004 diubah, sehingga urutannya menjadi (i) UUD; (ii) UU dan Perpu; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan Daerah.

Secara substantif atau dari segi isi muatannya, peraturan pemerintah pengganti undang -undang itu memang sebenarnya adalah undang-undang. Oleh ka- rena itu, dalam konstitusi RIS Tahun 1949 dan juga UUDS Tahun 1950, nomenklatur yang dipergunakan untuk itu adalah Undang-Undang darurat yang biasa disingkat dengan “UUd” (dengan ‘d’ kecil).51 Akan te- tapi, meskipun materi muatannya adalah materi muatan undang-undang, situasi yang dihadapi sede- mikian rupa, sehingga materi norma yang perlu diatur itu tidak mungkin dituangkan dalam bentuk undang - undang. Situasi atau keadaan yang dimaksud itu biasa disebut sebagai hal ikhwal kegentingan yang memaksa

51 Hal tersebut digunakan untuk membedakannya dari UUD yang

atau keadaan darurat (emergency). Oleh karena alasan yang demikian itu, maka untuk sementara waktu, se - belum norma dimaksud dituangkan dalam bentuk undang-undang dengan mendapatkan persetujuan De- wan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang, norma tersebut dituangkan lebih dulu dalam bentuk peraturan pemerintah yang tidak me- merlukan persetujuan DPR.

Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Per- aturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”, “Jika tidak mendapat persetujuan, maka per - aturan pemerintah itu harus dicabut” . Artinya, secara formil bentuknya memang Peraturan Pemerintah. Dengan perkataan lain, meskipun dari segi substansi - nya norma yang dimaksud adalah undang-undang, te- tapi dari segi bentuknya ia adalah peraturan peme - rintah. Karena itu, secara resmi, Pasal 2 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutnya sebagai Per - aturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang -Undang. Karena bentuknya yang demikian menjadi masuk akal bahwa Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 me- nempatkannya dalam urutan di bawah undang-undang. Akan tetapi, jika urutannya dianggap di bawah undang - undang, timbul masalah hukum yang menyulitkan karena Perpu tidak boleh bertentangan dengan undang - undang. Padahal, Perpu itu justru diperlukan untuk maksud yang bertentangan dengan ketentuan undang- undang yang ada. Oleh karena itu, tidak dapat tidak,

kedudukannya memang sudah seharusnya sederajat dengan undang-undang, tetapi namanya Peraturan Pe- merintah, yaitu Peraturan Pemerintah sebagai Peng - ganti Undang-Undang yang disingkat PERPU atau kadang-kadang disingkat PERPPU.

Karena tingkatannya di bawah undang -undang, apakah PERPU itu merupakan objek pengujian oleh Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi? Di- tinjau dari segi bentuknya, jelas PERPU itu adalah peraturan di bawah undang-undang dan karena itu dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Dari segi namanya saja, yaitu Peraturan Pemerintah sudah jelas bahwa PERPU itu bukanlah undang-undang sebagaimana di- maksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, dari segi isinya ia sesungguhnya adalah undang - undang, dan karena itu dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan bukan oleh Mahkamah Agung.

Sebenarnya, bentuk Peraturan Pemerintah (se ba- gai) Pengganti Undang-Undang atau Perpu itu hanya bentuk peraturan yang bersifat sementara, yaitu sampai persidangan DPR berikutnya melalui mana Pemerintah dapat mengajukan Perpu itu untuk mendapat perse - tujuan DPR. Jika Perpu itu telah mendapat persetujuan DPR sebagaimana mestinya, maka dengan sendirinya bentuknya akan berubah menjadi Undang-Undang, se- dangkan jika tidak mendapat persetujuan Perpu itu harus dicabut oleh Presiden.

Dengan perkataan lain, selama suatu norma un - dang-undang masih berbentuk Perpu, maka pengatur- an norma hukum tersebut masih berada di bawah

pengawasan oleh DPR, sehingga tidak atau belum memerlukan mekanisme kontrol yang lain selain dari DPR. Kalaupun ada sekelompok warga negara yang menentang pemberlakuan Perpu dimaksud, maka pe - nolakan tersebut dapat diajukan saja kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang memang sedang bekerja men- jalankan tugasnya untuk mengawasi penuangan norma bersangkutan ke dalam bentuk Perpu dan kemung- kinan pembahasannya dalam persidangan beri kutnya untuk mendapatkan persetujuan DPR.

Kalaupun DPR, misalnya, sedang masa reses dan tidak dapat menjalankan tugas pengawasan sebagai- mana mestinya, kontroversi atas pemberlakuan Per pu tersebut sudah pasti menempatkan DPR dan pa ra anggotanya dalam posisi yang selalu siap untuk menyerang, sehingga dapat dikatakan pemberlakuan suatu Perpu sudah dengan sendirinya akan dan harus menjadi objek pengawasan oleh DPR dan para anggota DPR. Dengan demikian, untuk mengajukan persoalan Perpu ini menjadi perkara pengujian baik ke Mahka - mah Agung ataupun ke Mahkamah Konstitusi dapat di - anggap tidak tepat. Perkara pengujian terhadapnya baru dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi apabila Perpu tersebut telah resmi mendapat persetujuan DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang.

Sebelum itu, untuk diajukan ke Mahkamah Agung juga tidak tepat, mengingat batu ujinya di Mah kamah Agung adalah Undang-Undang. Jika Peraturan Peme- rintah Pengganti Undang-Undang diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti norma hukum yang terkandung di

dalamnya dapat dinilai bertentangan de ngan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

Oleh karena itu, sebagai peraturan yang bersifat sementara, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang tidak dapat diuji, baik oleh Mahkamah Konsti - tusi ataupun oleh Mahkamah Agung. Perpu adalah pro - duk hukum yang merupakan objek pengujian oleh DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Dengan perkataan lain, terhadap peraturan pemerintah peng - ganti undang-undang tidak dapat dilakukan judicial review oleh hakim, melainkan hanya dapat dilakukan

legislative review oleh DPR sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu:

(1) “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Pre-

siden berhak menetapkan peraturan pemerintah seba-

gai pengganti undang-undang”, (2) “Peraturan Peme-

rintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”,

dan(3) “Jika tidak mendapat persetujuan, maka pera-

turan pemerintah itu harus dicabut”.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 38-41)