• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Oleh Panel

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 95-98)

B. PEMERIKSAAN PERSIDANGAN

2. Pemeriksaan Oleh Panel

Pemeriksaan persidangan oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang hakim konstitusi adalah salah satu bentuk (saja) dari persi- dangan Mahkamah Konstitusi. Selain sidang panel, per - sidangan dapat pula diadakan dalam bentuk pleno ha - kim yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28

ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi98.

Panel hakim konstitusi sekurang-kurangnya ber- jumlah tiga orang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (4) undang-undang tersebut. Ayat (4) Pasal 28 ini menentukan:

“Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kons- titusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurang- nya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan”.

Jika ditelusuri dengan teliti, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi99 sebenarnya menggunakan perkataan “sidang”, “persidangan”, “ra - pat”, “musyawarah”, dan “permusyawaratan” secara tumpang tindih dan tidak konsisten. Kadang -kadang yang dimaksudkan adalah rapat tetapi istilah yang dipakai adalah sidang. Kadang-kadang yang dimaksud adalah sidang tetapi istilah y ang dipakai adalah persidangan.

Dalam rumusan Pasal 28 ayat (4) tersebut juga terdapat kejanggalan dalam rumusan kalimat :

98 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi,

UU No. 24 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No. 98, TLN No. 4316.

99 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi,

“Sebelum sidang pleno, ... Mah- kamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim .... untuk memeriksa yang hasilnya

dibahas dalam sidang pleno untuk

diambil putusan”.

Dilihat dari perkataan “sidang pleno” yang kedua, jelas maksudnya adalah forum rapat pleno permusya- waratan hakim yang bersifat tertutup, karena tujuannya adalah untuk mengambil putusan. Karena itu, panel hakim yang sekurang-kurangnya beranggotakan tiga orang itu adalah alat perlengkapan pleno hakim untuk memeriksa perkara, yang hasil pemeriksaannya itu dilaporkan untuk dibahas dan diambil putusan dalam rapat pleno permusyawaratan hakim yang bersifat ter - tutup.

Untuk menertibkan penggunaan istilah -istilah forum pemeriksaan yang bersifat terbuka dan f orum pembahasan perkara yang bersifat tertutup, dalam Per - aturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 di- adakan pembedaan antara istilah rapat dan sidang. Rapat adalah forum yang bersifat tertutup, sedangkan sidang atau persidangan adalah forum pemeriksaan yang bersifat terbuka. Rapat permusyawaratan hakim itu terdiri adalah rapat panel, dan rapat pleno yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh tujuh orang hakim. Sedangkan sidang atau persidangan diselenggarakan secara terbuka untuk umum, dapat berupa sidang panel yang sekurang-kurangnya beranggotakan tiga orang ha- kim, atau sidang pleno yang sekurang-kurangnya di- hadiri oleh tujuh orang hakim konstitusi.

Pemeriksaan permohonan perkara, dapat dilaku- kan oleh panel hakim dan/atau dapat pula dilaku-kan oleh pleno hakim. Apakah forum pemeriksaan sesuatu perkara itu harus di pleno atau dapat dilakukan oleh panel, ditentukan oleh rapat pleno permusyawa-ratan di antara para hakim sendiri, dengan melihat bobot perkara atau hal-hal yang berkaitan dengan materi permohonan atau karena pertimbangan lain seperti banyaknya jumlah perkara yang ditangani oleh Mah - kamah Konstitusi, serta hal-hal lain berkenaan dengan pengaturan jadwal persidangan.

Pemeriksaan oleh panel hakim tidak hanya ter- batas kepada pemeriksaan pendahuluan dan peme - riksaan lainnya terhadap permohonan dan pemohon, tetapi dapat pula menyangkut pokok perkara. Bahkan, panel juga dapat melakukan pemeriksaan bukti-bukti. Dengan perkataan lain, panel dapat difungsikan secara penuh sebagai alat perlengkapan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa sesuatu perkara, yang hasilnya langsung dilaporkan kepada forum rapat pleno per - musyawaratan hakim yang bersifat tertutup untuk diambil putusan final atas perkara yang bersangkutan.

Pasal 28 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi100 memang hanya menentukan,

“Sebelum sidang pleno..., Mahkamah Konstitusi

dapat membentuk panel hakim...”. Karena itu, pem-

bentukan panel hakim itu pada dasarnya bersifat fakultatif. Akan tetapi, dalam pengalaman praktek selama ini di Mahkamah Konsti tusi timbul kebutuhan

100 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi,

untuk memfungsikan lembaga panel hakim ini secara lebih sering. Bahkan, hampir untuk setiap permohonan yang didaftarkan di kepaniteraan, dibentuk panel hakim yang akan memeriksanya secara tersendiri.

Dengan adanya lembaga panel hakim ini, Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai pimpinan lem - baga negara yang baru terbentuk pada bulan Agustus 2003 dapat memikirkan hal-hal lain di luar persoalan pemeriksaan perkara. Sebagai lembaga baru, banyak sekali permasalahan yang mesti dilak ukan dan di- pecahkan oleh pimpinan Mahkamah Konstitusi, se- suatu yang tidak mungkin dapat dilakukan apabila seluruh kegiatan persidangan harus dilakukan secara pleno (full bench).

Adanya lembaga panel hakim ini juga sangat membantu upaya untuk memahami berbagai aspek menyangkut pokok-pokok perkara secara lebih men- dalam. Para hakim panel yang biasanya beranggotakan tiga orang dapat memusatkan perhatian untuk men - dalami kasusnya, sedangkan enam hakim lainnya dapat memusatkan perhatian untuk mendalami perkara yang lain. Dengan demikian, proses penyelesaian permohon - an perkara oleh Mahkamah Konstitusi dapat ber - langsung secara lebih efisien dan lebih bermutu.

Hal-hal yang dapat diperiksa oleh panel hakim Mahkamah Konstitusi itu meliputi hal-hal sebagai beri- kut:

1) Pemeriksaan kelengkapan permohonan dan kese - suaian permohonan itu dengan ketentuan un dang- undang dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);

2) Pemeriksaan mengenai kejelasan materi permo- honan, termasuk mengenai maksud pengujian undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan kejelasan petitum (petita) yang diminta dalam permohonan;

3) Pemeriksaan mengenai berbagai aspek yang ber - kaitan dengan keberwenangan Mahkamah Konsti - tusi untuk memeriksa dan mengadili per mohonan yang diajukan;

4) Pemeriksaan mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum atau legal standing pemohon; 5) Pemeriksaan terhadap keterangan saksi -saksi, kete-

rangan ahli atau para ahli, dan pemeriksaan terha - dap alat-alat bukti lainnya, seperti alat buk ti surat, dan sebagainya;

6) Pemeriksaan terhadap keterangan pihak -pihak yang terkait kepentingannya, sehingga mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan se- bagai ad-informandum yang tidak mengikat;

Yang dianggap tidak tepat untuk diperiksa oleh panel hakim hanyalah keterangan pihak Pemerintah, DPR, DPD, atau lembaga (tinggi) negara lainnya yang dipanggil menghadap untuk memberi keterangan resmi dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, tidak semua perkara juga perlu diperiksa dengan me - manggil pihak pemerintah, DPR, dan DPD. Perlu tidaknya lembaga-lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Konstitusi itu, tergantung kasus demi kasus.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 95-98)