• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persyaratan Legal Standing Pemohon

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 49-52)

B. OBJEK PENGUJIAN

1. Persyaratan Legal Standing Pemohon

Semua perkara konstitusi di Mahkamah Konsti - tusi disebut sebagai perkara permohonan, bukan gu - gatan. Alasannya karena hakikat perkara konstitusi di Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat adversarial atau

contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang

saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara peng- ujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehi- dupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah undang-undang yang mengikat umum terhadap sege- nap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diaju- kan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permo - honan. Karena itu, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai Pemohon, bukan Penggugat.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk meng- ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah - kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut

menentukan kedudukan hukum atau legal standing

suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dengan per- kataan lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki legal standing

atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang di - ajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus se - bagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi. Pe r- syaratan legal standing atau kedudukan hukum dimak- sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

Untuk itu, dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK/2005, ditentukan bahwa

“Pemohon adalah pihak yang meng- anggap hak dan/atau kewenangan kon- stitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam un- dang-undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut atas ayat ini, dinyatakan bahwa

Yang dimaksud dengan hak kon-

stitusional adalah hak-hak yang diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Re- publik Indonesia Tahun 1945”, dan “Yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepen- tingan sama”.

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bah - wa setiap pemohon haruslah (i) salah satu dari ke empat kelompok subjek hukum tersebut di atas; (ii) bah wa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur da- lam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (iii) bahwa hak atau kewenangan kon- stitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang -undang atau bagian dari undang-undang yang dipersoalkannya itu; (iv) bahwa adanya atau timbulnya ke rugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan ber- lakunya undang-undang yang dimaksud; (v) bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabul- kan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatal - kannya undang-undang dimaksud. Jika kelima kriteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumu latif, maka yang

bersangkutan dapat dipastikan memiliki legal standing

untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi.

Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima kri- teria tersebut masih bersifat abstrak. Bagaimana pe - nilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya di lapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan permohonan, kelima kriteria itu kadang -kadang tidak diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legal standing ini baru mengantarkan pemohon kepada keabsahannya se - bagai pemohon, belum memperhitungkan pokok per- mohonannya. Permohonan pemohon dapat saja ditolak substansinya, tetapi legal standing-nya diterima.

Di samping itu, penilaian mengenai legal stan- ding berdasarkan kelima kriteria di atas, kadang - kadang juga tidak dapat dilakukan sebelum memeriksa pokok perkara. Bahkan, kesimpulan mengenai kelima hal tersebut di atas, kadang-kadang baru dapat di- ketahui setelah proses pembuktian. Setelah dilakukan penilaian yang mendalam terhadap alat-alat bukti yang diajukan, baik oleh pemohon, oleh pembentuk undang- undang, ataupun oleh pihak terkait, seringkali majelis hakim baru mendapatkan kesimpulan mengenai kuali-

tas legal standing pemohon yang mengajukan per-

mohonan pengujian undang-undang yang bersang- kutan. Jika telah terbukti bahwa seseorang atau kelom- pok orang, atau badan/lembaga yang bersangkutan se - bagai subjek hukum memenuhi persyaratan -persyarat-

an sebagaimana dimaksud, maka subyek hukum yang bersangkutan dapat dianggap mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk tampil sebagai pe- mohon yang sah dalam perkara pengujian undang- undang di Mahkamah Konstitusi.

Untuk membuktikan bahwa seseorang atau ke - lompok orang ataupun badan tertentu adalah salah satu dari keempat kelompok subjek hukum seperti yang di - maksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka yang bersang - kutan diharuskan memperlihatkan bukti-bukti yang mencukupi, misalnya, dengan kartu tanda pengenal, kartu penduduk, passport, akta kelahiran, akta yayasan atau surat pengesahan badan hukum, atau dokumen- dokumen lain yang perlu. Mengenai lembaga negara, juga perlu dibuktikan dengan dokumen-dokumen hukum yang sah, seperti ketentuan pasal Undang - Undang Dasar, ataupun pasal-pasal Undang-Undang tertentu, pasal peraturan pemerinta h, atau keputusan presiden (peraturan presiden) tertentu, dan sebagainya.

Setelah itu, selanjutnya harus dibuktikan pula bahwa dalam Undang-Undang Dasar, memang benar terdapat jaminan-jaminan bahwa yang bersangkutan mempunyai hak atau kewenangan konstitus ional ter- tentu, yang hak atau kewenangan konstitusional di - maksudkan itu dianggap telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang yang bersangkutan.

Tentang bukti adanya atau memang timbulnya kerugian itu, dalam perkara pengujian undang -undang seringkali tidak atau belum dapat dibuktikan sebelum

pemeriksaan dilakukan terhadap pokok permohonan. Karena itu, pembuktian legal standing khususnya berkenaan dengan bukti kerugian ini seringkali harus dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan terhadap pokok perkara. Dengan demikian pemeriksaan men - capai tahap pemeriksaan persidangan dan bahkan tahap pembuktian, barulah kesimpulan mengenai legal standing itu dapat dicapai, sehingga keputusan me - ngenai hal itu diambil bersamaan dengan keputusan final atas pokok perkara.

Oleh karena itu, tidak jarang di dalam praktek beracara, sambil memeriksa pokok perkara, mendengar keterangan pihak Pemerintah, DPR, dan pihak terkait, majelis hakim tetap memperkenankan para pihak, terutama Pemerintah dan DPR, mempersoalkan me- ngenai legal standing pemohon. Akibatnya, meskipun telah memeriksa pokok perkara, amar pu tusan Mah- kamah Konstitusi dapat saja berbunyi menga bulkan, menolak, ataupun menyatakan tidak dapat me nerima permohonan pemohon. Amar Putusan yang Menga-

bulkan Permohonan Pemohon diberikan apabila dalil

pemohon terbukti. Jika dalilnya tidak ter bukti, maka amarnya menyatakan Menolak Permohonan Pemo- hon. Tetapi, apabila pemohon terbukti tidak mem - punyai legal standing, maka permohonan dinyatakan

Permohonan Pemohon Tidak Dapat Diterima atau

Niet Onvantkelijk Verklaard (NO).

Dalam dokumen HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (Halaman 49-52)