• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH DEFISIENSI BESI TERHADAP PERKEMBANGAN OTAK JANIN

dr. Muhammad Adrianes Bachnas, SpOG(K) Divisi Fetomaternal - Bagian Obstetri dan Ginekologi

RS Dr. Moewardi, Solo

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Telp: 08122692928 email: bachnasadri@gmail.com Abstrak

Defisiensi besi adalah bentuk defisiensi nutrisi yang umum terjadi di dunia dan umum terjadi juga pada ibu hamil serta neonatus. Prevalensinya yang tinggi diakibatkan karena variasi nutrisi di negara berkembang dan pola makan yang buruk di negara industri. Menurut World Health Organization, defisiensi besi mempengaruhi hampir 2 miliar orang dan sekitar 50% pada wanita yang sedang hamil menderita defisiensi besi.

Defisiensi besi dalam kehamilan mengakibatkan hambatan perkembangan otak janin. Gangguan terjadi pada proses denditrogenesis, sinaptogenesis, neurogenesis, mielinisasi, dan sintesis neurotransmiter. Plastisitas neuronal yang tidak berkembang optimal sulit berdampak saat usia kanak-kanak hingga dewasa. Perilaku, motorik, dan kognitif bayi yang dilahirkan oleh ibu hamil dengan defisiensi besi selama kehamilan lebih buruk. Status besi ibu berkorelasi positif dengan status besi janin dan neonatus. Kegagagalan perkembangan otak yang otimal pada periode 1000 hari pertama kehamilan sifatnya adalah permanen. Sehingga rekognisi awal dan intervensi awal saat hamil adalah hal yang krusial. Absorbsi besi pada neonatus hingga usia 6 bulan sangat buruk dan air susu ibu juga mengandung kadar besi yang rendah. Serapan besi baik melalui sawar otak maupun melalui jalur pleksus koroid belum optimal dikarenakan reseptor transferin tidak cukup tersedia hingga 6 bulan pasca lahir. Hal tersebut menyangatkan intervensi terbaik untuk defisiensi besi adalah saat kehamilan. Dan utamanya pada trimester 2 hingga awal trimester 3. Intervensi dapat dilakukan dengan suplementasi besi oral maupun besi intravena. Bila diketahui awal intervensi per oral memungkinkan tercapainya taget terapi. namun bila defisiensi diketahui sudah sangat dekat dengan perkiraan lahir maka pilihan terbaik dalah besi intravena.

Dengan demikian bayi lahir dapat memiliki potensi kecerdasan, mental-perilaku, motorik-sensorik yang optimal, serta terhindar dari berbagai gangguan terkait fungsi otak diantaranya autis, ADHD, dan gangguan psikiatri.

Kesimpulan:

Defisiensi besi selama kehamilan dapat mengekibatkan gangguan perkembangan otak pada janin yang berakibat gangguan mental-perilaku, kecerdasan serta motorik-sensorik yang rendah. Sehingga skrining defisiensi besi dan suplementasi besi penting untuk dilakukan selama kehamilan.

Kata kunci: defisiensi besi - perkembangan otak janin Pendahuluan

Defisiensi zat besi adalah penyebab utama anemia, yang mempengaruhi sekitar satu seperempat populasi dunia. Sebagai bentuk defisiensi zat gizi yang paling banyak di dunia, defisiensi besi mempengaruhi seluruh kelompok usia, dengan yang paling umum adalah anak-anak yang berusia antara 0 sampai 5 tahun. Sebelumnya neonatus dikira terlindungi dari defisiensi besi, kenyataannya defisiensi besi ringan pada ibu dapat menyebabkan kekurangan zat besi pada neonatus. Defisiensi besi pada neonatus juga lebih buruk pada bayi yang lahir prematur, hambatan pertumbuhan janin, atau ibu hamil dengan diabetes. Kemungkinan defisiensi besi ini menjadi masalah yang lebih besar di masa depan.

Dampak dari defisiensi besi perinatal pada perkembangan kognitif dan otak manusia. Lonjakan pertumbuhan otak mulai terjadi pada sepertiga akhir masa kehamilan berlanjut selama 2 tahun pertama setelah kelahiran karena pertumbuhan dendritik, sinaptogenesis, dan proliferasi sel glia. Neurogenesis pada girus dentatus hipokampus berlangsung pada periode neonatal (dan selama masa dewasa). Neurogenesis berlanjut pada berbagai daerah kortikal yang berbeda, termasuk korteks prefrontal pada bayi manusia. Volume total otak meningkat dua kali lipat pada tahun pertama dan mencapai 80-90% dari volume otak dewasa pada usia dua tahun. Fase ini fase krusial untuk hambatan perkembangan otak oleh berbagai faktor diantaranya defisiensi besi.

Hipokampus, bagian otak yang penting untuk nalar, ingatan, dan kognitif, sangat rentan terhadap kekurangan besi selama masa akhir janin dan awal neonatal. Defisiensi zat besi pada periode perinatal berhubungan dengan perubahan ekspresi gen yang penting untuk perkembangan dan fungsi dari hipokampus. Lebih lanjut, defisiensi zat besi awal menyebabkan disfungsi kognitif neurologis baik selama masa defisiensi dan setelah pemulihan. Intervensi terbaik dilakukan pada masa akhir kehamilan dengan pemberian besi dengan moda yang berbeda dan dosis yang berbeda serta jenis besi yang berbeda disesuaikan dengan kasus yang dihadapi.

Prevalensi Defisiensi Besi di Dunia

Dari seluruh defisiensi mikronutrien, defisiensi zat besi merupakan bentuk yang paling banyak terjadi di seluruh dunia. Kondisi tersebut menpengaruhi seluruh kelompok usia dan demografis; namun, prevalensinya lebih tinggi pada wanita pubertas, wanita hamil, bayi, dan anak usia prasekolah. Angka anemia pada wanita usia subur yang tidak hamil mencapai sekitar 40% pada negara berkembang dan 20% pada negara maju. Insidensi dari anemia defisiensi besi meningkat selama kehamilan, dengan angka insidensi di negara berkembang dan maju masing- masing mencapai 59% dan 24%. Peningkatan defisiensi besi yang besar pada wanita hamil di negara berkembang mungkin terjadi karena edukasi gizi yang buruk dan kurangnya suplementasi besi.

Besi dan Pengaruhnya Pada Perkembangan Otak Janin

Defisiensi besi pada hewan uji menunjukkan penurunan kadar faktor neurotropik yang dihasilkan oleh otak/brain-derived neurotrophic factors (BDNF), penurunan gen target BDNF, dan perubahan diferensiasi neuron. Selain itu, defisiensi besi pada periode prenatal dan postnatal menurunkan BDNF dan neurogenesis pada gyrus dentatus pada hipokampus mencit. Dampak dari defisiensi zat besi ini akan terus ditemukan, karena jumlah sel granul dan piramidal menurun pada mencit dewasa. Selan itu, defek struktural dan molekular yang ditemukan pada mencit berhubungan dengan performa dalam aktivitas yang berkaitan dengan hipokampus, dimana mencit yang dilahirkan oleh induk yang mengalami defisiensi besi selama hamil dan menyusui menunjukkan berbagai jenis kelainan, sedangkan mencit yang dilahirkan oleh induk yang mengalami defisiensi besi selama hamil saja atau selama menyusui saja hanya menunjukkan beberapa jenis kelainan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa homeostasis zat besi berperan penting dalam pembentukan faktor neurotropik yang mendukung perkembangan otak.

Defisiensi besi dapat menyebabkan perubahan pada morfologi neuron. Morfologi neuron berkaitan dengan komputasi oleh sel dan berperan penting dalam pemrosesan informasi yang dilakukan oleh neuron tersebut. Dua ciri morfologis utama neuron adalah struktur pangkal dendrit serta kerapatan dan geometri spinal pada neuron. Pangkal dendrit yang sedang berkembang membutuhkan masukan dari luar untuk merangsang dan mendukung morfogenesis. Pangkal dendrit bergantung pada isyarat eksternal dari BDNF melalui protein transmembran. Isyarat tersebutakan memodulasi faktor-faktor yang memfasilitasi perpanjangan dan percabangan dengan menambah atau mengurangi polimerisasi aktin. Proses ini tidak terbatas pada periode perkembangan di awal kehidupan saja, karena juga diperlukan untuk pembentukanulang sirkuit saraf selama proses belajar berdasarkan pengalaman (experience-dependent learning)yang berlangsung sepanjang hidup.

Seperti struktur pangkal dendrit. morfologi spinal pada neuron juga dapat mempengaruhi fungsinya. Pada hari ke-15 postnatal, neuron piramida CA1 pada mencit yang mengalami periode defisiensi zat besi dalam rahim menunjukkan penurunan pembentukan cabang dendrit dan diameter kepala spinal yang lebih kecil. Kepala spinal yang lebih kecil dapat mengurangi kecepatan konduksi yang menyebabkan kurang terkoordinasinya masukan ke soma, dan juga menyebabkan penurunan densitas post sinaps yang dapat mempengaruhi transmisi sinyal.

Selaras dengan perubahan struktural yang disebutkan diatas, defisiensi zat besi juga berdampak pada plastisitas sinaps pada perkembangan hipokampus mencit. Contohnya, defisiensi besi prenatal mengganggu plastisitas sinaps pada area CA1 yang sedang berkembang dalam hipokampus, namun gangguan ini juga ditemukan pada masa dewasa setelah pemenuhan kembali zat besi. Saat kadar zat besi sudah kembali baik, mencit tidak menunjukkan adanya peningkatan kekuatan sinaps seperti pada kelompok mencit kontrol. Diperkirakan tahap-tahap penting pertumbuhan dendrit dan sinaptogenesis terganggu karena tidak tersedianya zat besi dalam jumlah adekuat. Kondisi ini akan berkontribusi dalam efek jangka panjang defisiensi besi terhadap struktur dan fungsi hipokampus.

Selain dari adanya perubahan pertumbuhan dendrit dan synaptogenesis, terjadi pula hipomielinasi saat ketersediaan zat besi menurun. Mielinasi yang baik diperlukan dalam transmisi impuls yang cepat pada akson. Mielinasi dimulai pada trimester ketiga kehamilan dan berlangsung sepanjang masa awal kanak-kanak. Pada sistem saraf pusat, oligodendrosit berperan dalam mielinasi akson. Seperti disebutkan sebelumnya, oligodendrosit mensintesis transferrin untuk memobilisasi zat besi apabila terdapat cadangan zat besi yang siap dipakai. Penelitian pada manusia dan mencit menunjukkan bahwa defisiensi besi dapat secara luas mempengaruhi mielinasi. Oligodendrosit mensintesis asam lemak dan kolesterol untuk mielin. Dalam percobaan pada mencit, pembatasan diet zat besi selama kehamilan dan awal periode postnatal menyebabkan penurunan signifikan protein mielin, lemak dan kolesterol pada corda spinalis, batang otak dan substansia alba pada otak. Selain itu, mencit yang mengalami defisiensi besi pada periode postnatal menunjukkan adanya defisit mielogenesis pada masa dewasa, meskipun cadangan zat besi dalam tubuh telah terpenuhi. Mencit yang diberikan diet minim zat besi pasca weaning mengalami penurunan mielinasi signifikan pada rombencephalon dan cerebrum. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan zat besi oleh oligodendrosit tidak berakhir pada periode perinatal, dan otak dewasa juga masih membutuhkan zat besi dalam jumlah cukup.

Zat besi juga dibutuhkan oleh sejumlah enzim yang bekerja pada sintesis neurotransmitter, antara lain enzim tryptophan hidroksilase yang memproduksi serotonin, dan enzim tirosin hidroksilase yang mensintesis norepinefrin dan dopamin. Sintesis neurotransmitter bermula sejak embriogenesis. Dopamin berperan penting dalam mengatur

kognisi dan emosi, reward dan kesenangan, pergerakan dan pelepasan hormon. Jaringan striatal, dengan dopamin sebagai neurotransmitter utamanya, berperan dalam pemrosesan kognitif dan emosional, afek dan perilaku positif, dan fungsi motorik. Studi pada manusia menunjukkan bahwa kelompok dewasa muda yang mengalami defisiensi besi sewaktu bayi menunjukkan penurunan kemampuan dalam melakukan kegiatan yang memerlukan kontrol diri dan perencanaan, dimana kesemuanya termasuk dalam fungsi eksekutif yang menggunakan jaringan striatal dengan dopamin sebagai neurotransmitternya.

Beberapa studi pada tikus menunjukkan bahwa neuron dopaminergik terlokalisir bersama dengan zat besi di dalam otak, kadar dopamin dan norepinefrin ekstraseluler meningkat pada tikus dengan defisiensi besi, dan terjadi perubahan densitas reseptor dopamin pada kondisi defisiensi besi. Tingkat perubahan ini sangat bergantung pada beratnya defisiensi besi yang terjadi pada masing-masing regio otak. Studi lainnya menyatakan bahwa densitas transporter serotonin dan norepinefrin juga mengalami perubahan bila terjadi defisiensi besi. Serotonin berperan penting dalam jaringan neural dan defisiensinya dapat menyebabkan kelainan neurodevelopmental, seperti autisme, kecemasan dan depresi. Transporter serotonin (SERT), yang bertanggungjawab untuk pengambilan kembali (reuptake) serotonin di dalam otak, merupakan mekanisme dominan yang mengatur kekuatan dan durasi neurotransmisi serotonergik. SERT lebih banyak ditemukan pada masa pertumbuhan dibanding masa dewasa. Defisiensi besi akan menyebabkan penurunan ekspresi SERT dan memperberat penurunan ekspresi BDNF. Seperti disebutkan sebelumnya, penurunan BDNF dapat menyebabkan gangguan serius pada fungsi dan struktur hipokampus, menyebabkan gangguan pada kemampuan belajar dan memori.

Pengaruh Defisiensi Besi Terhadap Fungsi Otak

Besi penting untuk eritropoiesis, pembentukan hemoglobin dan mioglobin, transkripsi gen, reaksi enzim sel, dan aksi pengurang oksidasi yang penting. Semua ini tentu saja penting untuk fungsi otak yang tepat, jadi tidak mengherankan jika defisiensi zat besi berakibat pada kelainan perilaku dan defisiensi dalam pembelajaran dan ingatan. Pada manusia, hippocampus matang paling cepat dalam waktu singkat: dari usia gestasi hingga usia 2-3 tahun. Selama periode ini, terjadi peningkatan penyerapan dan pemanfaatan zat besi serta neurogenesis, pertumbuhan dendrit, mielinisasi, sinaptigenesis, dan sintesis neurotransmitter. Memori bergantung pada Hippocampal, muncul dan matang antara usia 3-18 bulan. Karena bayi tidak dapat sepenuhnya mengatur transportasi besi yang melewati sawar darah otak 6 bulan pertama setelah kelahiran, maka sangat penting bayi memiliki cadangan besi yang memadai saat lahir.

Meskipun neurogenesis hipocampal berlanjut sampai dewasa, tetapi pembentukkannya lebih baik pada masa prenatal dan pada periode pascakelahiran awal Neuron bayi baru lahir berintegrasi ke dalam sirkuit saraf yang berkembang dan dianggap penting untuk pembelajaran dan ingatan. Dengan demikian, pada periode perkembangan kritis, penghindaran lingkungan yang menghambat neurogenesis atau yang mengubah pematangan neuron kemungkinan akan mempengaruhi perilaku sekarang dan masa depan. Defisiensi zat besi telah terbukti menghambat neurogenesis dalam pengembangan hipokampus.

Kurangnya besi pada saat kelahiran tampaknya juga menyebabkan defek jangka panjang. Anak-anak berusia lima tahun, yang lahir dengan kekurangan besi, mendapat nilai lebih rendah pada tes kemampuan bahasa, keterampilan motorik, dan kemampuan bergerak, bila dibandingkan dengan anak-anak yang cukup zat besi saat lahir. Di Israel, ditemukan bahwa anak-anak yang lahir prematur dan memiliki kadar feritin rendah saat lahir ternyata jauh lebih buruk pada tes yang melibatkan kognisi spasial dan pemrosesan sinyal pendengaran saat diuji pada usia 9 sampai 10 tahun, meskipun kadar hemoglobin mereka telah kembali ke normal. Studi lain menunjukkan hasil yang sama dengan remaja Costa Rica yang sangat kekurangan zat besi selama masa bayi, meskipun ada resolusi anemia saat bayi, tampak defisit saat diberi uji neurokognitif (uji Pembuatan Jalur, Pergeseran Ekstra-Intra, Stokings of Cambridge, Memori Kerja Spasial, Pengenalan Informasi Visual Cepat, Pengenalan Pola Memori, dan Memori Pengenalan Spasial) pada usia 19 tahun, bila dibandingkan dengan remaja yang cukup zat besi pada masa bayi.

Defisiensi zat besi menurunkan konsentrasi zat besi otak, yang menyebabkan banyak gejala perilaku, seperti iritabilitas, apatis, penurunan kemampuan, konsentrasinya, dan komplikasi lainnya. Masalah perilaku penting lainnya telah dilaporkan terkait dengan defisiensi besi juga. Sebagai contoh, anak-anak dengan Attention Defrusion Hyperactivity Disorder (ADHD) ditemukan memiliki kadar feritin serum yang lebih rendah, sebuah indikasi penyimpanan besi yang berkurang. Hewan uji yang memiliki zat besi berkembang perilaku mirip ADHD yang telah dikaitkan dengan sistem dopaminergik. Kekurangan dalam pengembangan motor juga merupakan gejala defisiensi besi pada neonatus.

Selain perkembangan kognitif, Skala Bayley tentang Perkembangan Bayi juga menilai keterampilan motorik kasar dan halus. Defisiensi besi dikaitkan dengan skor yang lebih buruk dalam penilaian fungsi motorik di dalam Skala Bayley tentang Perkembangan Bayi. Selanjutnya, bayi anemia memiliki skor Indeks Perkembangan Mental dan Psikomotor yang rendah, bahkan setelah 3 bulan terapi zat besi. Bayi anemia juga menunjukkan defisiensi dalam kemampuan bahasa dan koordinasi.

Studi kognitif pada manusia menggunakan Skala Perkembangan Bayi Bayley (Bayley Scales of Infant Development), yang menilai perkembangan motor, bahasa, dan kognitif pada bayi dan balita, membandingkan bayi

berusia 9-26 bulan yang diberi suplemen zat besi dibanding mereka yang diberi plasebo. Setiap kelompok diuji dan kemudian diuji ulang dalam waktu 8 hari sejak uji awal. Hasilnya menunjukkan peningkatan skor dalam Indeks Perkembangan Mental untuk kelompok suplemen besi, yang menghasilkan lonjakan minat pada topik ini. Banyak penelitian yang berbeda telah melihat kekurangan zat besi selama berbagai masa pertumbuhan. Namun, periode paling sensitif (dan periode yang dapat menyebabkan kerusakan yang paling ireversibel) adalah periode neonatal, yaitu antara 0 dan 24 bulan. Meskipun suplementasi dengan zat besi telah terbukti memperbaiki beberapa defisit kognitif selama periode ini, tetapi I.Q. dan skor tes prestasi yang lebih rendah masih ditemukan setelah perawatan.

Pemberian ferrous sulfat secara oral setiap hari meningkatkan skor Bayley. Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa 8 minggu suplementasi oral zat besi pada anak usia prasekolah yang anemia mengurangi defisit dalam perhatian visual dan nalar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diberi suplemen. Bayi usia 9 dan 12 bulan diuji mengenai kemampuan mereka untuk membedakan stimulus yang sangat dikenal, wajah ibu mereka, dari wajah orang asing menggunakan elektroensefalogram menunjukkan hasil lebih baik pada kelompok suplementasi besi. Besi fumarat memiliki bioavailabilitas lebih baik dibanding besi sulfat, meski capaian target kenaikan hemoglobin 2 g/dl baru bisa dicapai masing masing dalam 6 minggu dan 12 minggu. Besi sukrosa intravena dapat mencapainya dalam 2 minggu dikarenakan bypass terhadap mekanisme portal pada hepcidin dan ferroportin di hepar pada jalur oral.

Homesotasis Besi Pada Otak Fetus-Neonatus

Setelah usia 6 bulan, sawar darah otak menjadi pusat pengaturan masuknya zat besi ke otak, meskipun pleksus koroideus (jaringan pembuluh darah yang memproduksi cairan serebrospinal) juga merupakan lokasi pengaturan masuknya zat besi. Sawar darah otak berperan penting karena mencegah otak berhubungan langsung dengan zat besi pada plasma darah, sehingga kadar zat besi dapat diatur dengan lebih baik. Reseptor Transferrin (Tf) terdapat pada sel-sel endotelial pada sawar darah otak, yang menyebabkan terjadinya pengikatan dan endositosis zat besi yang dibawa oleh transferrin ke dalam otak. Arus masuknya zat besi ke dalam otak akan meningkat selama terjadi defisiensi besi, disebabkan oleh meningkatnya jumlah reseptor Tf pada sawar darah otak. Proses ini diregulasi oleh astrosit.

Pada bayi yang baru lahir, ceritanya sedikit berbeda. Saat lahir, sawar darah-otak tidak berkembang secara sempurna: hal ini mencegah protein transpor besi menyebar ke otak tapi tidak memiliki kemampuan untuk mentransfer besi dari darah ke parenkim otak. Beberapa studi yang dilakukan pada tikus pups menunjukkan bahwa protein pengatur zat besi, yang terlibat dengan regulasi reseptor Tf, tidak segera diekspresikan sampai hari ke-15 pasca kelahiran, ketika puncak mielinasi terjadi pada tikus. Belum diketahui pada bayi manusia waktu sawar darah otak matang, namun diperkirakan terjadi pada usia 6 bulan. Selama perkembangan prenatal besi terakumulasi di otak sehingga tingkat besi paling tinggi terjadi segera setelah kelahiran. Karena bioavailabilitas yang kurang dan kadar besi dalam ASI yang rendah, konsentrasi zat besi otak bayi menurun 6 bulan pertama setelah kelahiran, sampai saluran pencernaan dan sawar darah otak matang dan mampu menyerap makanan yang mengandung besi dan mengatur masukannya ke otak. Hal ini bertepatan dengan onset mielinisasi dan peningkatan transfer di tingkat mRNA di otak. Sejak oligodendrosit mensintesis Tf, otak adalah satu-satunya organ dimana Tf mRNA meningkat pasca-kelahiran. Urutan perkembangan pada mekanisme yang bertanggung jawab atas homeostasis besi menggarisbawahi pentingnya status zat besi ibu selama kehamilan.

Begitu besi menembus sawar darah otak, kurang lebih diketahui tentang bagaimana penyebarannya ke daerah otak yang berbeda. Kemungkinan besar Tf (disekresikan oleh pleksus koroid, yang juga merupakan titik regulasi lain) adalah cara utama dalam distribusi zat besi di otak. Namun, besi juga mungkin diangkut dengan cara mengikat feritin. Besi kemudian dapat diambil oleh sel-sel di berbagai daerah di otak yang mengekspresikan reseptor Tf dan/atau feritin, ekspresi reseptor ini juga bisa sebagai mekanisme regulasi. Hal ini menyebabkan distribusi besi yang tidak merata antara berbagai daerah otak, yang berubah sepanjang masa hidup. Secara umum, globus pallidus, nukleus merah, substantia nigra, dan putamen kaudatus memiliki konsentrasi zat besi yang lebih tinggi sepanjang masa hidup, dan otak cenderung untuk mengakumulasi besi sejalan dengan usia.

Status Besi Maternal terhadap Status Besi Fetal-Neonatal

Pemilihan waktu dari defisiensi besi pada kehamilan sangatlah penting. Pertama, terdapat kebutuhan besi yang penting pada awal kehamilan untuk perkembangan neural. Pada studi terkini terhadap mencit, empat rejimen asupan makan digunakan untuk menyebabkan defisiensi besi pada janin di periode kehamilan yang berbeda. Pembatasan besi maternal diawal sebelum konsepsi dan selama sepertiga pertama kehamilan berhubungan dengan defisiensi besi embrionik, anemia postnatal, berkurangnya kadar besi pada sistem saraf pusat, dan berkurangnya kecepatan konduksi neural pada uji respon auditorik batang otak pada hari ke-45 postnatal. Lebih penting lagi, gangguan fungsi neural tidak diinduksi saat pembatasan besi ibu dimulai pada awal dari sepertiga akhir kehamilan. Juga layak untuk diingat bahwa dalam penelitian ini, ibu tidak anemis; mengindikasikan pemilihan waktu kekurangan zat besi yang buruk cukup untuk mengganggu perkembangan dan fungsi neural. Kadua, seiring bertumbuhnya hati janin, sebagian besar (66%) dari besi tubuh keseluruhan bayi diperoleh dari trimester ketiga

kehamilan. Maka dari itu, bayi yang lahir sebelum waktunya dan/atau berat lahir rendah memiliki cadangan besi yang lebih rendah dan berada pada populasi berisiko tinggi untuk mengalami defisiensi zat besi.

Kesimpulan

Defisiensi besi merupakan defisiensi mikronutrien yang paling banyak terjadi di dunia. Defisiensi besi dapat dialami oleh semua umur, namun dampaknya paling besar pada bayi dan anak-anak. Pada negara berkembang, sekitar 12% dari anak berusia <5 tahun meninggal karena defisiensi mikronutrien. Anak-anak yang bertahan hidup kemungkinan besar akan mengalami defisiensi besi atau anemia. Pada negara-negara industri seperti Amerika Serikat, saat ini insidensi terjadinya defisiensi besi mengalami peningkatan, kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya jumlah anak dan dewasa yang mengalami obesitas (inflamasi mengganggu homeostasis zat besi).