• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr. dr. Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma, SpOG(K) Divisi Fetomaternal Departemen/SMF Obstetrik dan Ginekologi

FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan

Birth defect atau Congenital anomaly atau kelainan bawaan adalah abormalitas structural atau fungsional termasuk kelainan metabolic yang ditemukan pada saat lahir. Defek structural dan abnormalitas pembentukan jaringan atau organ pada bayi baru lahir disebabkan oleh embryogenesis yang tidak berjalan normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor genetic dan lingkungan yang terjadi pada masa kritis embriogenesis yaitu pada usia kehamilan kurang dari 8 minggu. 1

Diperkirakan 65-75 % kelainan bawaan tidak diketahui penyebabnya, sekitar 15% disebabkan oleh single gene disorders , 5 % disebabkan oleh abnormalitas kromosomal dan sekitar 10 % disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu kondisi medis ibu,penyalahgunaan obat,infeksi,radiasi, hipertermia,paparan zat kimia dan kondisi lingkungan uterus. 1

Secara umum, angka kelainan bawaan cukup besar, laporan dari Centre for Disease Control tahun 2008 menyatakan bahwa diperkirakan sebanyak 276.000 kematian bayi baru lahir mengalami kematian dalam 4 minggu pertama kehidupannya di seluruh dunia. 2

Laporan dari Boyle dari studi register persalinan selama kurun waktu 1984 sampai 2007 di 14 negara di Eropa menemukan angke kejadian kelainan bawaan mengalami peningkatan dari 6% menuju ke 16% dari persalinan. Hal tersebut juga berdampak pada banyaknya bayi baru lahir yang dirawat dan menimbulkan biaya yang tidak sedikit .3

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah menemukan 2,6/100 pada tahun 1994 sampai 2005. Ratusan jenis kelainan bawaan telah diidentifikasi, kelainan bawaan merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia 1 tahun pertama.. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan hingga beberapa saat setelah kelahiran bayi. Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja atau dapat pula beberapa kelainan kongenital yang terjadi secara bersamaan yang disebut kelainan kongenital multipel. Insiden kelainan kongenital di Indonesia tahun 2009 berkisar 15 per 1.000 kelahiran. Angka kejadian ini akan menjadi 4 – 5% bila bayi diikuti terus sampai berusia 1 tahun. Dari tahun 1994 – 2005 terdapat 2,55% kelainan kongenital dari seluruh jumlah bayi yang lahir.

Dibandingkan dengan deteksi komplikasi maternal pada kehamilan, kesehatan janin dan deteksi adanya kelainan bawaan kurang mendpatkan perhatian, disebabkan karena banyak penyebab nya yang tidak diketahui, memerlukan sarana diagnostic yang tidak sederhana dan kompetensi untuk mendeteksi kelainan bawaan yang belum memadai. Sehingga seringkali kelainan bawaan ini ditemukan pada saat lahir dengan segala konsekuensinya.

Oleh karena itu deteksi pasangan yang mempunyai risiko kelaianan bawaan dan bagaimana cara mendeteksinya sangat penting untuk menjadi perhatian. Penanganan kelaianan bawaan harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi karena banyak melibatkan berbagai bidang ilmu mulai sejak antenatal,intranatal maupun postnatal.

Etiologi dan Faktor Risiko Kelainan Bawaan

Penyebab kelainan kongenital terjadi pada masa prenatal dan perinatal, sebagian besar penyebab kelainan bawaan belum diketahui secara pasti. Faktor penyebab atau etiologi yang mungkin menyebabkan adalah radiasi, malnutrisi pada ibu hamil dan obat-obatan yang bersifat teratogenik. Infeksi TORCH (Toxoplas, Orther‘s, Rubella,

Cytomegalovirus, Herpes simplex virus) . Konsumsi asam valproat menyebabkan NTD pada 1- 2% kehamilan. Konsumsi kokain, alkohol dan merokok pada ibu hamil juga dapat menyebabkan disfungsi perkembangan saraf pusat pada janin. Hingga saat ini belum ada teori pasti yang dapat menjawab etiologi dari kelainan kongenital sistem saraf pusat secara jelas. Beberapa peneliti hanya sepakat bahwa kejadian kelainan kongenital sistem saraf pusat dikarenakan multi faktor yang berhubungan dengan faktor dari ibu dan janin di antaranya jenis kelamin bayi, berat badan bayi lahir, paritas, status masa gestasi dan usia kehamilan.2,3,4

Oleh karena penyebab kelaianan bawaan sebagian besar belum diketahui maka faktor risiko menjadi hal yang penting untuk diketahui.

Feldkamp pada tahun 2017 melakukan studi kohort untuk mengetahui pola dan penyebab kelainan bawaan di Utah, dan menyusun klasifikasi multidimensional berdasarkan Etiology, morpologi ( isolated,major dan minor) dan Pathogenesis sebagai berikut ( Feldkamp,2017):

1. Kelainan bawaan yang diktehui penyebabnya : abnormalitas kromosom, faktor lingkungan (paparan obat, gestasional diabetes,) , twinning (acardiac, conjoined twin)

2. Morpologi : Isolated ( kelaianan bawaan tunggal ), multiple (lebih dari satu kelainan morpologi) 3. Patogenesis : sequence, developmental field defect dan pattern.

Klasifikasi yang lebih kompehensip tentang kelainan bawaan berdasarkan waktu terjadinya : 1. Malformasi

2. Disrupsi 3. Deformasi

Klasifikasi berdasarkan perubahan histologis yang mendasarinya: 1. Aplasia

2. Hypoplasia 3. Hyperplasia 4. Displasia

Klasifikasi berdasarkan klinis: 1. Single system defect

2. Multiple malformation syndrome 3. Association

4. Sequences 5. Complexes

Klasifikasi berdasarkan konsekuensi medis: 1. Mayor malformations

2. Minor malformations Klasifikasi berdasarkan etiologi: 1. Kelainan kromosom (C) 2. Mikrodelesi (MD) 3. Teratogen (T) 4. New Dominant (ND) 5. Familial (F) 6. Syndrome (S) 7. Isolated (I) 8. Multiple (M)

Skrining Kelainan Bawaan

Penapisan pada pasangan untuk mendeteksi adanya potensi untuk mengalami kelainan bawaan pada bayi sangat penting dilakukan pada kelompok pasangan yang berisiko. Skrining kelainan bawaan dilakukan dengan cara yang berbeda, tergantung dari jenis kelaianan bawaan yang dicurigai akan terjadi.

Pada umumnya skrining dilakukan pada kelompok ibu hamil dengan paparan teratogen dan ibu hamil tidak dengan paparan teratogen. Prinsip skrining yang penting adalah marker yang digunakan dapat menjangkau popoulasi target, harga terjangkau dan mempunyai sensistifitas yang tinggi. Marker skrining yang baik bila mempunyai detection rate yang tinggi dan positip palsu yang rendah.

Skrining Prenatal perlu dipertimbangkan pada:

● Mempunyai keluarga dekat atau anak yang sebelumnya mengalami kondisi yang serius/kecacatan yang diduga kelainan kromosom.

● Diabetes-Hyperglikemia

● Wanita dengan lingkungan Hypertermia

● Salah satu pasangan memiliki kondisi yang serius yang kemungkinan menurun ke bayinya. (carier translokasi / inversi kromosom)

● Kedua pasangan adalah carier dari kelainan gen yang sama (carier translokasi / inversi kromosom).

● Wanita hamil pada umur 35 tahun atau lebih saat melahirkan.

● Terpapar terhadap zat-zat kimia atau lingkungan yang berbahaya.

● Terpapar dalam waktu lama terhadap obat-obatan seperti: valvroic acid, carbamazepin, efavirenz, atau obat teratogenik lainnya.

● Pada beberapa kasus abortus berulang trimester pertama.

- Prenatal skriining test: Dapat mengidentifikasi bayi yang berada pada peningkatan risiko mengalami masalah tertentu yang meliputi:

✓ USG

✓ Skrining awal kehamilan (trimester pertama): pemeriksaan nuchal transluscency dengan atau tanpa pemeriksaan darah ibu,

- Prenatal diagnostik tes yang digunakan untuk melihat apakah bayi benar-benar memiliki masalah tertentu meliputi:

✓ USG.

✓ chorionic villus sampling (CVS).

✓ Amniosentesis.

✓ kordosentesis.

Perlu dilakukan konseling sebelum tes dilakukan, apakah itu merupakan tes skrining atau tes diagnostik. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan mendiskusikan:

- Bagaimana dan kapan tes dilakukan? - Keuntungan dan kerugian dari setiap tes.

- Setiap risiko untuk bayi yang mungkin timbul dari setiap tes.

- Pemeriksaan lebih lanjut yang dapat ditawarkan setelah ibu menerima hasilnya. - Apakah tes lebih lanjut akan berarti bagi ibu dan bayi?

Beberapa jenis test yang dapat dilakukan untuk skrining adalah sebagai berikut : Trimester pertama:

a. Nuchal Translucency:

Adalah ruang anechoic yang terletak dibelakang leher janin pada umur kehamilan 11-14 minggu. Bila ketebalan NT > 3 mm dicurigai kemungkinan kelainan kromosom atau down syndrom

b. Marker Biokimia:

● PAPP-A (Pregnancy Associated Plasma Protein-A)

● Free β hCG.

c. Early Amnioscentesi

d. Chorionic Villous Sampling (CVS) Trimester Kedua:

a. USG:

➢ Mencari tanda-tanda defect Structural Mayor

➢ Mencari tanda-tanda soft marker (defect structural minor): b. Marker Biokimia:

➢ Maternal Serum Alpha-Fetoprotein (MSAF)

➢ Unconjugated Estriol:

Free β hCG.

c. Invasive Test:

➢ Second trimester Amnioscentesis:

➢ Cordocentesis.

Pada kelompok dengan paparan teratogen, penting untuk mengetahui prinsip-prinsip pertumbuhan fetus yang normal dan abnormal yang terkait dengan patogenesis kelainan bawaan atau teratogenesis. Prinsip umum dari kerangka berpikir kelainan bawaan yang disebabkan oleh paparan teratogen adalah dengan memahami The Wilsons General Principles of Teratogenesis. Prinsip tersebut bermanfaat untuk memahami bagaimana dan kapan paparan teratogenik dapat menimbulkan kelainan structural maupun fungsional.5

Adapun unsur-unsur prinsip dari Wilsons tersebut adalah sebagai berikut6 :

1. Genotype of the fetus : genotype fetus ini berpengaruh pada hasil interaksinya dengan paparan teraotogen 2. Timing of Exposure : kerentanan fetus terhadap paparan bahan teratogenik tergantung dari tahap

perkembangan fetus. Perubahan struktur fetus paling sering terjadi pada masa kritis pertumbuhan janin ( critical stages of development), yaiu pada usia kehamilan 2-8 minggu atau pada masa embryogenesis. Sebagai contoh neural tube defect terjadi pada hari ke 22 sampai ke 28 post konsepsi atau minggu ke 3 dan 4, dimana paparan harus terjadi sebelum atau selama periode tersebut.

3. Mechanism of teratogenesis : paparan teratogenik harus terjadi melalui cara dan mekanisme yang specific pada sel tubuh yang sedang tumbuh atau jaringan tubuh. Dua hal tersebut akan menimbulkan dampak morfologi dan fungsional yang berbeda.

4. Manifestations : apapun jenis paparannya maka manifestasi klinis akhir dari kelainan bawaan adalah malformasi,pertumbuhan terhambat, abnormalitas fungsional dan kematian janin. Manifestasi kelainan sangat tergantung pada tahap pertumbuhan janin pada saat mana paparan teratogenik terjadi,apakh pada masa embrionik atau pada masa fetal. Embryonic exposure akan mengakibatkan terjadinya kelainan structural,sedangkan fetal exposure akan mengakibatkan kelainan fungsional atau pertumbuhan janin terhambat.

5. Agent : pengaruh buruk dari paparan tergantung dari jenis paparan, misalnya bahan kimia,obat,radiasi atau panas. Selain itu untuk dapat menimbulkan kelaianan bawaan,bahan paparan harus dapat mencapai fetus melalui sawar plasenta atau secara tidak langsung melalui tubuh ibu ( misalnya radiasi).

6. Dose effect : kelainan bawaan akibat paparan bahan teratogenik tergantung dari besarnya dosis bahan yang bersifat teratogenik. Selain itu juga tergantung dari lamanya paparan.

Beberapa jenis paparan bahan teratogenik yang sering dilaporkan menimbulkan kelainan bawaan antara lain4,5,6,7 : a. Androgen dapat menimbulkan maskulinisasi janin wanita, biasanya terjadi pada paparan yang terjadi pada

usia kehamilan 9-12 minggu yaitu berupa pembesaran klitoris dan fusi labial.

b. Obat antiepileptic : risiko kelainan bawaan pada bayi dari ibu yang mengkonsumsi obat anti epileptic adalah dua kali lebih sering dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengkonsumsi obat epilepsy, khususnya cleft lips,cleft palate dan heart defect. Valrpoic acid dan carbamzepine meningkatkan risiko terjadinya Neural Tube Defect (NTD). Phenitoin menghambat penyerapan folat sehingga kadar asam folat serum rendah dan dapat menimbulkan kelaianan bawaan. Sekitar 10% janin akan mengalami Fetal Hydantoin Syndrome (microcephaly,growth deficiency,developmental delay,mental retardation,gambaran facial dysmorphic ) pada ibu hamil yang mengkonsumsi hydantoin.

c. Isotretinoin : obat ini adalah bahan yang merupakan teratognik yang poten. Obat ini biasanya untuk mengobati acne. Risiko kelainan bawaan pada wanita hamil yang mengkonsumsi Isotretinoin sekitar 25%. Kelainan structural yang bisa terjadi adalah kelainan kraniofacial, heart defect dan susunan saraf pusat. d. Obat psikoaktif : obat jenis ini sperti misalnya tranqulizer (fetal benzodiazepine syndrome),dan lithium

(polyhydrmnios)

e. Obat antidepressants : Imipramine adalah obat yang paling sering menimbulkan heart defect pada janin. f. Obat Antikoagulan : wrfarain embryopathy bisa terjadi padibu hamil yang mengkonsumsi warfarin,

dengan kelainan structural yaitu nasal hypoplasia dan abnormalitas optalmologik. Peningkatan risiko dapat terjadi pada paparan dosis warfarin lebih dari 5mg.

g. Obat Thyroid dan anti thyroid : propilthiourasil (PTU) dan metimazole dilaporkan menyebabkan fetal goiter.demikian juga triiodothyronin dapat menyebabkan fetal hypothyroid. Iodine radioaktif aman digunakan pada usai kehamilan kurang dari 12 minggu.

h. Obat antihiperstensi : beberapa obat anithipertesi yang dapat menimbulkan kelaianan bawaan adalah ACE inhitors dan Angiotensin receptor blocker. Kelainan yang dapat terjadi adalah renal tubular dysplasia. Semua akibat dari bahan paparan diatas dapat dilakukan skrining dengan pemeriksaan ultrasongrafi pada trimester satu, dua dan tiga. Pada pemeriksaan skrining USG perlu diketahui time table pembntukan organ organ janin, sehingga tidak semua kelainan bawaan bisa nampak pada pemriksaan USG trimester satu. Usia kehamilan yang paling ideal untuk melakukan deteksi kelainan structural janin adalah pada usia kehamilan 18 sampai 22 minggu (fetal anomalic scanning).

Pada kelompok dengan kecurigaan kelainan kromosomal, dilakukan skrining genetic dengan tujuan untuk mengetahui seseorang atau pasangan yang memiliki risiko untuk mendapatkan anak dengan kelainan kromosom dan kelainan bawaan. Kemungkinan terjadinya kelainan bawaan meningkat dengan meningkatnya umur ibu. Pada umur diatas 35 tahun kemungkinan bayi mengalami down syndrome mencapai 1 berbanding 400 dan rasio tersebut akan makin besar bila umur ibu lebih tua lagi. Namun skrining hanya menggunakan parameter umur ibu saja mempunyai angka positip palsu yang tinggi sehingga tidak disarankan untuk melakukan skrining hanya berdasarkan umur ibu. Skrining harus dilakukan dengan kombinasi Umur ibu, maternal serum marker dan USG. 7

Idealnya skrining dilakukan sebelum konsepsi, untuk menyiapkan pasangan memutuskan keputusan reproduksinya baik dari sisi prenatal diagnostic maupun opsi untuk luaran kehamilan yang terkait dengan kelainan bawaan. Skrining pada saat hamil sebaiknya dilakukan se awal mungkin, dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG pada trimester satu atau pemeriksaan biokimiawi dari darah ibu. Skrining kelainan genetic ini merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan pada antenatal care. Dengan melakukan antenatal terfokus sebagian besar kelainan genetic/kromosomal dapat terdeteksi. Apabila diperlukan pemeriksan Chorionic villous sampling, amniocentesis dan pemeriksaan darah tali pusat dapat dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi diagnostic.6,7,8,9

Selama 10 tahun terakhir in telah diperkenalkan pemeriksaan Non Invasive PrenatalTesting (NIPT) untuk menilai kemungkinan janin mengalami kelainan kromosom,khususnya trisomie 13,18 dan 21. Pemeriksaan ini lebih sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan biokimiawi (beta HCG, estriol, AFP dan PAPP –A). 9,10

Referensi

1. Harris BS, Bsihop K, Kemey HR, Walker JS,Rhee E,Kuller JA. 2017. Risk Factors for Birth Defects.CME Review Article. Obstetrical and Gynecologycal Survey.

2. Kirby RS. 2017. The Prevalence of selected major birth defects in the United States. Seminars in Perinatology 41; 338-344

3. Boyle B,Conkey RM,Garne E,Loane,Addor MC,Bakker,Bpuy PA,Gatt M,Greenlees R et al. 2013. Trends in te prevalence,risk and pregnancy outcome of multiple births with congenial anomaly : a registry based study in 14 European Countries 1984-2007.International Journal of Obstetrics and Gynaecology.

4. Feldkamp ML,Carey JC,Byrne JLB,Krikov S,Botto LD. 2017. Etilology and Clinical Presentaion and Birth Defects : Population based study. British Medical Journal.

5. Niebyl JR, Weber RB,Briggs GG. 2017 .Drugs and Environmental Agents in Pregnancy and Lactation : teratology,Epidemiology. Obstetrics Normal and Problem Prgenancies. 7ed.Elsevier; 136-150

6. Driscoll DA, Simpson JL,Holzgreve W,Otano L. 2017. Genetic screening and Prenatal Genetic Diagnosis. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies.7 ed,Elsevier; 193-215

7. Raza MZ,Sheikh A,Ahmed SS,Ali S,Ali Naqfi SM.2012. Risk factors associated with birth defects at a tertiary care centre at Pakistan. Italian Journal of Pediatrics.

8. Norwitz ER,Levy B. 2013. Non Invasve Prenatal Testing (NIPT) The Future Is Now. Reviews in Obstetrics and Gynecology.vol 6,No.2.

9. Salomon LJ,Alfirevic Z,Audibert F,Kagan KO,Paladini D, Yeo G. 2014. ISUOG Concensus Statement on the impact of non-invasive prenatal testing (NIPT) on Prenatal Ultrasound Practice. Ultrasound Obstetrics and Gynecology.

10. Yao Y,Liao Y,Han M,Lan Li S,Luo J.2016. Two kinds of common prenatal screening for Down Syndrome : a systematic review and Metaanalysis. Scientifics Report.

ULTRASOUND MARKERS OF CHROMOSOMAL ANOMALY