• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYU LEKANG (LEPIDOCHELYS OLIVACEA) Rois Amrullah Akbar 1)

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 (Halaman 141-146)

Hendri Kurniawan2)

Enki Dani Nugroho3)

1),2),3)Magister Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember E-mail: roisamrullah94@gmail.com

ABSTRAK

Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) adalah satu satunya penyu yang mempunyai lubang infra marginal

berderet yang berkembang secara baik dan lengkap. Apabila dilihat dari bentuk luarnya Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) mempunyai ciri yang unik, karena mempunyai Lateral Scutes yang dilengkapi dengan Prefrontal Scutes serta karapasnya yang saling tumpang tindih. Sehingga dengan keunikan yang dimiliki Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) sangatlah cocok untuk digunakan sebagai sumber belajar biologi sub pokok bahasan pelestarian in situ. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh kedalaman sarang terhadap tingkat keberhasilan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivacea) di pantai Ngagelan Banyuwangi yang dijadikan sumber belajar biologi kelas X semester II pokok bahasan keanekaragaman hayati sub pokok bahasan pelestarian in situ. Metode penelitian dengan menggunakan uji statistik Anava. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragam perlakuan P3 memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tingkat keberhasilan penetasan telur penyu lekang dengan taraf kepercayaan 5%. Berdasarkan rata-rata P3 (ukuran kedalaman 38) memiliki nilai tinggi yaitu 81 ekor dan yang terendah pada P1 memiliki nilai rata-rata 46 ekor.

Kata Kunci: kedalaman sarang, penyu lekang, sumber belajar

ABSTRACT

Enduring turtle (Lepidochelys olivaceae) is the only turtle that has infra-marginal row of holes that develop good and complete. When viewed from the outer shape Enduring Turtles (Lepidochelys olivaceae) have unique characteristics, because it has equipped with lateral scutes and prefrontal scutes overlapping carapace. So that the uniqueness of Enduring Turtles (Lepidochelys olivaceae) is suitable for use as a learning resource conservation biology sub subject in situ. The purpose of this research is to know the influence of the depth of the nest to egg hatching success rate ridley turtle (Lepidochelys olivacea) in Banyuwangi Ngagelan beach which is used as a source of learning the second term of the tenth grade biology subject. The sub subject is the biodiversity preservation in situ. The research method by using statistical tests Anova. The results showed that a variety of treatment P3 significantly different effect on the success rate of hatching turtle eggs cracked with a level of 5%. Based on the average P3 (size depth 38) has a value as high as 81 tails and the lowest in the P1 has an average value of 46 birds.

116

ISBN 978-602-72071-1-0

PENDAHULUAN

Salah satu masalah dalam pendidikan IPA dimasa ini adalah kurangnya pemakaian sumber belajar untuk mendukung suatu kegiatan belajar mengajar. Biasanya sumber belajar selalu dikaitkan dengan alat dan bahan yang harus dibeli di tempat tertentu, sehingga alat dan bahan kadang-kadang menjadi sandungan bagi guru untuk menciptakan iklim belajar yang ideal. Akibatnya siswa hanya dijejali dengan hafalan dan tugas yang membuat mereka menjadi jenuh dan tidak tertarik terhadap mata pelajaran IPA tidak terkecuali mata pelajaran Biologi.

Sumber belajar merupakan sumber yang dapat dipakai oleh siswa baik sendiri-sendiri atau bersama- sama dengan siswa lainnya untuk memudahkan belajar (Hamalik, 2008). Lingkungan disekitar siswa harus dioptimalkan sebagai media dalam pengajaran dan lebih dari itu dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa dalam mempelajari biologi. Dari pendapat di atas jelaslah bahwa sumber belajar tidaklah harus berbentuk bahan cetak atau buku saja tetapi bisa pula dalam bentuk yang lain. Yang jelas bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber belajar jika keberadaannya dapat dimanfaatkan baik oleh guru maupun siswa untuk mempermudah jalannya proses pembelajaran (Lely, 2008).

Lingkungan memberikan bahan-bahan konkrit mengenai kehidupan sehari-hari untuk dijadikan bahan pelajaran. Contoh lingkungan yang dapat dijadikan sumber belajar misalnya halaman sekolah, kebun disekitar sekolah, pasar, supermarket, musium, kebun binatang, tempat pembungan sampah akhir (TPA), kebun raya, kolam, sawah, danau dan sungai (Komarayanti, 2007).

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung.

penyu merupakan salah satu dari kekayaan laut, dan di Indonesia sendiri terdapat enam jenis penyu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Enam jenis penyu tersebut antara lain: Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Belimbing (Dermochelys coreaceae), Penyu Tempayan (Carreta carreta), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Pipih (Natator depressa), dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae). Keenam jenis penyu yang ada di Indonesia telah dilindungi Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Hayati dan Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pantai selatan kawasan taman Nasional Alas Purwo dikenal sebagai salah satu habitat pendaratan penting untuk beberapa jenis penyu yang ada di indonesia. Menyadari hal tersebut Balai Taman Nasional Alas Purwo, sebagai pengelola yang diberi kewenangan pengelolaan kawasan TNAP, melakukan upaya konservasi penyu melalui pembentukan unit pengelolaan

khusus yaitu unit pengelolaan penyu semi alami di Ngagelan.

Pada pantai Ngagelan terdapat beberapa jenis penyu yang mendarat pada setiap tahunnya yang paling banyak adalah penyu lekang dari pada penyu lain seperti penyu hijau, penyu sisik, dan penyu belimbing. Penyu lekang menduduki peringkat tertinggi dari pada penyu lainnya.

Untuk menjaga tercapainya kelestarian Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae), kegiatan pengelolaan yang cepat sangat diperlukan sehingga populasinya dapat dipertahankan. Didalam upaya pengelolaan perlu diketahui kondisi populasi, struktur umur, sex ratio, dan keanekaragaman genetiknya sehingga dapat menjamin kelestarian Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) pada kawasan tersebut. Disamping itu teknik pengembangan populasi dan upaya pengendalian dari gangguan tehadap populasi dikawasan konservasi juga menjadi bagian penting dalam kegiatan pengelolaan Penyu Lekang (Fadhoil 2012: 07).

Melalui kajian objek Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana cara melestarikan Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) agar tidak punah. Lebih lanjut proses dan produk penelitian ini dapat digunakan sebagai Sumber Belajar Biologi di SMA.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental. Alat yang dipergunakan pada penelitian ini adalah thermometer, meteran, ember atau kotak sterofoam, sendok pasir, alat penggali, senter, selang dan spidol. Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah telur penyu abu-abu (lekang), jaring kawat,dan kertas label.

Populasi dalam penelitian ini adalah populasi penyu lekang yang berada di penangkaran semi alami pantai ngagelan Taman Nasional Alas Purwo. Sampel dalam penelitian ini adalah telur dari penyu lekang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu menghitung persentase keberhasilan menetas, menghitung persentase tukik yang keluar dari sarang dan dokumentasi untuk mengabadikan gambar pada saat penelitian.

Teknik analisis data secara statistik dengan menggunakan analisis varians (Anava) yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan penetasan telur penyu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kedalaman Sarang Terhadap Tingkat Keberasilan Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidichelys olivaceae)

Pengamatan yang dilakukan untuk menghitung jumlah telur yang menetas berdasarkan hasil analisis varians atau analisis sidik ragam perlakuan kedalaman sarang terhadap tingkat keberasilan penetasan telur penyu lekang menunjukkan hasil bahwa perlakuan berbeda nyata (signifikan) pada taraf kepercayaan 5%. Seperti data yang ada pada tabel 1.

ISBN 978-602-72071-1-0

Tabel 1. Data Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Parameter Pengaruh Kedalaman Sarang Terhadap Tingkat Keberasilan Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) Perlakuan Kedalaman (cm) Rata-rata Notasi P1 (30 cm) 45,8 A P2 (34 cm) 70 B P3 (38 cm) 80.8 C P4 (42 cm) 79,6 B P5 (46 cm) 74 B

Data yang ada pada tabel 1, menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata dengan P2, P3, P4, dan P5. Sedangkan P2, P4, dan P5 berbeda tidak nyata. P2, P4, dan P5 berbeda nyata dengan P3. Dan P3 berbeda nyata dengan P1, P2, P4, dan P5. Berdasarkan notasi rata-rata tabel diatas P3 memiliki tingkat penetasan yang tinggi dari pada P1, P2, P4, dan P5. Berarti pada perlakuan kedalaman ukuran 38 cm memiliki tingkat keberasilan yang Optimal dibandingkan dengan perlakuan kedalaman yang lain.

Hasil pengamatan yang di lakukan di pantai Ngagelan TNAP pada kedalaman yang ada di semi alami dengan yang berada pada habitan aslinya itu hampir sama berkisar 37-38 cm, ada yang berkisar sampai 40 cm untuk ukuran kedalaman sarang penyu lekang namun itu sangat sedikit hampir tidak ada pada habitat aslinya.

Di habitat aslinya itu lebih baik penetasannya tetapi lebih banyak predatornya d bandingkan dengan semi alami, di semi alami telur penyu lekang lebih di jaga dan penetasannya juga baik hampir sama dengan di habitat aslinya untuk tingkat penetasannya. Maka dari itu lebih baik di penangkaran semi alami untuk menjaga pelestariannya.

Menurut Nuitja (1992) kedalaman lubang telur dipengaruhi oleh panjangnya kaki belakang (Pore flipper) dengan kedalaman sarang untuk penyu lekang antara 37-38 cm dan diameter 20-21 cm. Jadi sangat jarang sekali sarang penyu lekang melebihi ukuran tersebut.

Untuk mengetahui jumlah telur yang menetas pada dilihat pada gambar histogram dibawah ini:

Gambar 1 Histogram Pengaruh Kedalaman Sarang Terhadap Tingkat Keberasilan Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) yang menetas

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa P3 dan P4 hampir memiliki tingkat penetasan yang sama namun dalam rata-rata P3 lebih tinggi tingkat penetasannya dari pada P4 yaitu 81 ekor dan untuk perlakuan yang lainnya yang lebih kecil tingkat penetasannya adaah P1 dengan rata-rata 46 ekor. Berdasarkan gambar diatas P3 lebih ideal kedalaman sarang penyu lekang untuk penetasannya.

B. Jumlah Tukik Penyu Lekang (Lepidichelys olivaceae) Yang Keluar Dari Sarang.

Setelah telur menetas tukik akan keluar dari dalam sarang ke permukaan sarang hal ini juga menentukan berapa banyak tukik yang hidup, jika tukik dapat keluar dari sarang berarti tukik tersebut hidup tetapi jika tukik tidak keluar dari sarang berarti tukik penyu tersebut mati di dalam sarang meskipun telah menetas. Maka dari itu telur yang menetas belum tentu tukik penyu juga dapat hidup.

Berdasarkan hasil analisis varians atau sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengaruh kedalaman sarang terhadap tingkat keberasilan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) untuk jumlah tukik yang keluar dari sarang menunjukkan hasil bahwa perlakuan berbeda tidak nyata pada taraf kepercayaan 5 %, dan juga menunjukkan bahwa Fhit < Ftabel maka H0 diterima sedangkan H1 di tolak, maka tidak di uji lanjut atau uji BNT. Menurut Suhaemi (2011 : 35) jika F hitung < dari F tabel atau hipotesis nol diterima, maka kesimpulan hasil peneletian hanya didasarkan atas hasil Uji F tersebut.

Tetapi untuk mengetahui jumlah tukik yang keluar dari sarang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2 Histogram Jumlah Tukik Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) Yang Keluar Dari Sarang.

Pada gambar di atas menunjukkan jumlah tukik yang menetas yang lebih banyak adalah pada P3( ukuran sarang 38) dengan jumlah rata-rata 80 ekor.dan yang jumlah tukik yang lebih sedikit adalah P1 (ukuran sarang 30 cm) dengan jumlah rata-rata 45 ekor. Dilihat dari jumlah rata-ratanya antara P1 ke P2,dan P3 mengalami peningkatan sedangkan P3 ke P4 dan P5 mengalami penurunan. Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa P3 lebih tinggi tingkat keberasilan menetasnya. Untuk mengetahui tukik yang keluar dari sarang dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

118

ISBN 978-602-72071-1-0

Gambar 3 Gambar Tukik yang sudah keluar dari sarang.

Gambar di atas adalah tukik penyu lekang yang telah keluar dari sarang yang sudah beberapa hari menetas dari telur penyu lekang, kemudian akan dilepaskan ke laut setelah semua tukik tersebut bisa bergerak.

Dari pernyataan diatas tingkat keberasilan penetasan telur penyu lekang tidak hanya di pengaruhi kedalaman tetapi juga di pengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik untuk menentukan apakah telur penyu bisa menjadi embrio dan menetas menjadi tukik atau tidak menetas menjadi tukik. Menurut Ponihadi (dalam Wasito, 2004) daya tetas dapat dipengaruhi oleh faktor biotik seperti semut yang masuk kedalam sarang dan membuat sarangnya diantara telur-telur penyu tersebut. Hal ini mengakibatkan kulit telur menjadi keras sehinggga telur mengalami kesukaran untuk pecah, tukik sulit keluar, dan janin dapat mati karena cangkang yang keras mengakibatkan terganggunya pertukaran udara dan gas dalam telur. Selain itu, perlakuan terhadap telur pada saat pengambilan dan penanaman kembali ditempat penetasan semi alami yang kurang hati-hati juga mengakibatkan terjadinya kerusakan telur. Masuknya mikroorgaisme melalui pori-pori yang terdapat pada kulit telur mengakibatkan kuning telur menjadi encer merupakan faktor biotik lainnya. Menurut Sarwono, 1993 (dalam Irwanto, 1996) pengambilan telur penyu tidak boleh terbalik artinya bahwa telu-telur penyu tersebut harus sesuai dengan kondisi aslinya, hal ini dilakukan agar bagianteur yang mengandung kantong udara yang dipakai untuk pernafasan tunas embrio tidak robek atau rusak. Sehingga pertukaran zat dengan udara luar tidak terganggu.

Sedangkan faktor abiotik yang mempengaruhi tingkat daya tetas antara lain adalah suhu. Suhu yang terlalu tinggi atau rendah menyebabkan kematian pada janin. Hal ini disebabkan karena enzim dalam protein telur pada suhu yang terlalu tinggi atau rendah tidak dapat bekerja dengan baik sehinga metabolisme terganggu. Istiqomah, 2004 menyatakan bahwa suhu sarang merupakan faktor fisik yang berpengaruh terhadap perkembangan dan daya tahan embrio.

Faktor abiotik lainnya adalah kondisi telur itu sendiri artinya telur tidak terlalu lama disimpan. Karena telur yang teralu lama disimpan dengan suhu optimal akan merusak kehidupan embrio. Dibawah ini adalah gambar telur yang rusak atau tidak dapat menjadi embrio dan tukik yang belum sempurna.

Gambar 4 Telur Penyu Lekang Yang Tidak menetas.

Gambar diatas menunjukkan telur penyu lekang yang tidak menetas karna faktor biotik atau abiaotik, akhirnya telur tersebut menjadi encer atau tidak mengalami perubahan embrio di dalam telur penyu.

Berdasarkan tinjauan potensi belajar, maka pantai Ngagelan Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat yang berpotensi untuk digunakan sebagai sumber belajar baik pengamatan langsung di kawasan, maupun menggunakan penyampaian secara audiovoisual. Tetapi tidak semua sumber belajar dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar sesuai dengan apa yang diharapkan.

C. Penerapan dan Pengembangan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar Biologi Pokok Bahasan Keanekaragaman hayati Sub-pokok Bahasan Pelestarian in situ

Penerapan dan Pengembangan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar Biologi Pokok Bahasan Keanekaragaman hayati dapat dijabarkan dalam bentuk :

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang meliputi Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Tujuan Pembelajaran, Indikator Pencapaian Pembelajaran, Uraian Materi, Jenis kegiatan, Waktu pelaksanaa, Metode Pembelajaran, alat evaluasi. 2. Selain dalam bentuk RPP, proses dan produk dari

hasil penelitian juga dikemas dalam bentuk CD pembelajaran yang berisi kompetensi pembelajaran, indikator, uraian materi.

3. Vidio pembelajaran untuk memperkuat penjelasan materi yang berisi penyu bertelur, tukik menetas, tukik yang dipelihara, penanaman telur dan pengambilan telur dari sarang alami.

PENUTUP Simpulan

1. Kedalaman sarang terhadap tingkat keberasilan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) berdasarkan analisis varian atau analisis ridik ragam perlakuan P3 memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tingkat keberhasilan penetasan telur penyu lekang dengan taraf kepercayaan 5%. Berdasarkan rata-rata P3 (ukuran kedalaman 38) memiliki nilai tinggi yaitu 81 ekor dan yang terendah pada P1 memiliki nilai rata-rata 46 ekor.

2. Kedalaman sarang terhadap jumlah tukik penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) yang keluar dari sarang berdasarkan analisis varian atau analisis ridik

ISBN 978-602-72071-1-0

ragam perlakuan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata dengan taraf kepercayaan 5%. Pada P3 rata- ratanya tertinggi yaitu 80 ekor.

3. Produk penelitian pengaruh Kedalaman sarang terhadap tingkat keberasilan penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) dapat dijadikan sebagai sumber belajar biologi yang berupa RPP, Slide materi pembelajaran (CD Pembelajaran) dan Video.

Saran

Bagi ilmu pengetahuan hendaknya digunakan sebagai penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kedalaman terhadap tingkat penetasan telur penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) dan bagi peneliti selanjutnya meneliti mengenai bagaimana pengaruh letak telur, tentang suhu dan kelembapan sarang penyu lekang (Lepidochelys olivaceae).

DAFTAR PUSTAKA

Fadhoil, 2012. “Studi Karakteristik Penyu Lekang

(Lepidochelys olivaceae, Eschscholtz 1829) serta Habitatnya di Pantai Ngagelan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi sebagai Sumber Belajar Biologi di SMA kelas X semester 2 pada Pokok Bahasan Dunia Hewan Sub Pokok Bahasan Vertebrata (Kelas Reptilia)”. Universitas Muhammadiyah Jember.

Irwanto, Hadi. 1996. Pengaruh Jumlah Penanaman Telur Terhadap Lama masa Inkubasi dan Persentase Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) Secara Semi Alami di Pntai Ngagelan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Malang. Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Institut Pertanian Malang.

Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar, Bandung: Bumi Aksara

Komarayanti, Sawitri. 2007. Hibah Pembelajaran Bersasis Lingkungan Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Biologi dengan Pendekatan Konstruksivisme Model Kooperatif Problem Based Learning dan Model Group Investigation. Jember: FKIP MIPA UNMUH Jember.

Lely Halimah, 2008. Pemberdayaan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Berbahasa Indonesia Siswa Kelas 4 SD Laboratorium UPI Kampus Cibiru.

Suhaemi, Zasmeli. 2011. Diktat Metode Penelitian Dan Rancangan Percobaan. Program Studi Peternakan. Padang: Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa.

Wasito, Widyananta.2004. Pengaruh Jumlah Telur Terhadap Masa Inkubasi dan Daya Tetas Telur Penyu Lekang yang Dieramkan Pada Sarang Penetasan Semi Alami Di Ngagelan TNAP Banyuwangi. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Fakultas kedokteran hewan. Universitas Airlangga.

120

ISBN 978-602-72071-1-0

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA KONSEP

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 (Halaman 141-146)