• Tidak ada hasil yang ditemukan

Widya Rizky Amalia 1) Bunda Halang 2)

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 (Halaman 110-119)

Akhmad Naparin

3)

1),2),3)Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat E-mail: Amalia.W.R.07@gmail.com

ABSTRAK

Sejalan dengan perkembangan dan industrialisasi serta meningkatnya aktivitas masyarakat yang memanfaatkan sungai di Kota Banjarmasin, telah menyumbangkan kadar residu logam berat ke perairan. Fokus dari penelitian bertujuan untuk mengetahui kehadiran logam berat kadmium (Cd) pada air, daging serta mikroanatomi insang ikan Kelabau (Osteochillus melanopleurus). Ikan merupakan organisme akuatik yang akan menderita oleh perairan tercemar. Penelitian menggunakan metode deskriptif dan metode parafin. Analisis data berdasarkan PP. RI No. 82 Th. 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Air untuk Cd adalah 0,01 mg/L, PerGub Kal-Sel No. 05 Th. 2007 untuk Baku Mutu Air Sungai untuk Cd adalah 0,01 mg/L dan DirJen POM No. 0725/B/SK/1989 untuk Kadar Maksimum Kadmium (Cd) pada Ikan adalah 0,1 mg/Kg serta dengan membandingkan tingkat keparahan struktur mikroanatomi insang dari famili Cyprinidae. Hasil memperlihatkan kandungan Cd di air berkisar 0,004-0,006 mg/L, pada daging berkisar <0,0002-0,0033 mg/Kg atau hasil masih berada dibawah nilai ambang baku yang telah ditetapkan. Sementara itu, hasil penelitian histopatologi telah memperlihatkan adanya alterasi seperti edema, inflamasi, hiperplasia, hipertrofi, kongesti, hemoragi, invasi ektoparasit,fibrosis dan nekrosis.

Kata Kunci : Kadmium (Cd), Ikan Kelabau (Osteochillus melanoleurus), Histopatologi

ABSTRACT

In the line of development and industrialization increase as well as the activity of citizen that utilize river in Banjarmasin City, has contribused in giving high degree of heavy metal residues to water. The focus of the research is the presence of heavy metal cadmium (Cd) in water, meat also gills microanatomy of Kelabau fish (Osteochillus melanopleurus). Fish are aquatic organism that will be suffered by polluted water. Using descriptive methods and parafin methods. The data analysis is based to PP. RI. Number 82 Year 2001 on Water Quality Management and Water Environment Pollution Control for Cd si 0,01 mg/L,

Governor’s Decree of South Borneo on Quality Standard of River Water for Cd si 0,01mg/L and General

Directur of Food and Drugs Number 03725/B/SK/1989 on Maximum Cadmium (Cd) Contamination in Food for Fish is 0,1 mg/Kg also by comparing the damage degrees of gill microanatomical from Cyprinidae family. Result of the research has shown that Cd in Water were about 0,004-0,006 mg/L, in meat were about <0,0002-0,0033 mg/Kg or result are below than the permissible limit that has been set. Meanwhile, the result of histopathology has shown alterations such as edema, inflamamation, hyperplasia, hypertrophy, congestion, hemorage, ectoparasite invasion, fibrosis and necrosis.

Keywords : Cadmium (Cd), Kelabau Fish (Osteochillus melanopleurus), Histopathology.

Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016

“Mengubah Karya Akademik Menjadi Karya Bernilai Ekonomi Tinggi”

Surabaya, 23 Januari 2016

ISBN 978-602-72071-1-0

PENDAHULUAN

Banjarmasin adalah kota yang diapit oleh wilayah perairan, hal tersebut berpengaruh pada sistem drainase dan kehidupan masyarakat yang memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas. Perkembangan ekonomi satu daerah menitik-beratkan pada pembangunan sektor industri. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan dan industrialisasi di Kota Banjarmasin telah muncul dampak lain berupa kerusakan lingkungan dan penurunan kesehatan yang ditimbulkan oleh limbah. Salah satunya ialah limbah logam logam berat. Logam berat yang terlarut dalam perairan pada konsentrasi tertentu dapat berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meski daya racun yang ditimbulkan oleh suatu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran suatu kelompok dapat menjadikan terputusnya suatu rantai kehidupan (Palar, 2008:37 ).

Sungai Martapura merupakan salah satu sungai besar di Kota Banjarmasin yang bermuara pada Sungai Barito, pada bagian muaranya mendapatkan masukan utama dari aliran air Sungai Basirih. Sungai ini bernilai fungsi tinggi oleh masyarakat hal tersebut terlihat dari tingginya aktivitas pemanfaatan keberadaan sungai. Perairan sungai ini dapat dipastikan terpapar oleh bahan pencemar baik berasal dari kegiatan rumah tangga maupun kegiatan industri dan transportasi. Saat ini kondisi perairan di Banjarmasin telah memprihatinkan tak terkecuali dengan kondisi ikan di muara Sungai Martapura.

Ikan merupakan organisme teleostei yang aktif bergerak. Ikan yang hidup di wilayah terbatas seperti sungai dan danau akan menderita karena kondisi perairan tercemar (Darmono, 2010:89). Salah satu jenis ikan yang diduga turut langsung merasakan dampak pencemaran ialah ikan Kelabau (Osteochillus melanopleurus). Ikan Kelabau merupakan jenis ikan potensial yang bernilai ekonomis tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dari Setijaningsih dan Asih (2011:1), telah terjadi penurunan populasi di habitat asalnya yakni Sumatera dan Kalimantan. Diduga penurunan tersebut berasal dari paparan logam.

Jika di dalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam yang tinggi dan melebihi nilai ambang baku mutu yang ditentukan dapat dipastikan telah terjadi pencemaran lingkungan. Organ dalam tubuh ikan yang turut langsung merasakan dampak suatu pencemaran adalah insang. Pemeriksaan histopatologi insang akan memberikan gambaran seberapa parah tingkat pencemaran yang terjadi.

Berdasarkan pada kondisi tersebut maka tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kandungan kadmium (Cd) pada air, daging serta mikroanatomi insang ikan Kelabau (Osteochillus melanopleurus) yang hidup di bagian muara Sungai Martapura.

METODE

Penelitian menggunakan dua metode yakni metode deskriptif dengan teknik pengambilan data dan sampel diambil secara langsung di lapangan serta metode parafin untuk penelitian histopatologi. Populasi dalam penelitian adalah ikan Kelabau yang terdapat di muara Sungai Martapura, sementara sampel penelitian adalah

sampel air sungai sebanyak 200 ml/ 3 titik lokasi uji dan sampel daging ikan/ 3 titik lokasi uji dengan kisaran sampel 150-250 gr/ikan, bobot ikan yang diperoleh 250 gr Titik I, 550 gr Titik II & 490 gr Titik III. Proses pengujian sampel air dilakukan di Balai Pengembangan & Konstruksi Banjarmasin. Pengujian sampel daging ikan dilakukan di Balai Riset & Standarisasi Industri Banjarbaru. sedangkan, pemeriksaan histopatologi dilakukan di Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru.

Peralatan penelitian sampel air, ikan dan parameter menggunakan Kemmerer Water Sampler Van Dorn (KWS), botol, kertas label, penggaris, pancingan, timbangan, Cool Box, millieter block, Atomic Adsorption Spectophotometer (AAS), termometer, pH meter, roll meter, Secchi disk. Peralatan histologi meliputi scapel, tissue cassate, Automatic Tissue Processor, Vacum, Base mold, Freezer, Paraffin Bath,

Water Bath, basket, oven, kaca benda, kaca penutup dan

Photomicroschope Olympus cx31. Larutan yang diperlukan adalah Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% sebagai pengawet, etanol absolut, xylol, parafin,

glyecrin 99,5%, ewith (albumin), hematoxilin & eosin dan DPX sebagai perekat.

86

ISBN 978-602-72071-1-0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian kandungan kadmium (Cd) pada sampel air sebagaimana tertera dalam tabel 1 Tabel 1. Kandungan Cd Pada Air

No. Lokasi Sampel Kandungan Cd (mg/L) Kadar Maks. Cd (mg/L) PerGub No. 05 Th. 2007 Kadar Maks. Cd (mg/L) PP. RI. 82 Th. 2001 1. Titik I 0,004 0,01 0,01 2. Titik II 0,005 0,01 0,01 3. Titik III 0,006 0,01 0,01

Hasil pengujian kandungan kadmium (Cd) pada sampel daging tertera dalam tabel 2. Tabel 2. Kandungan Cd Pada Daging

No. Lokasi Sampel Kandungan Cd (mg/L) Kadar Maksimal Cd (mg/Kg) DirJen POM No. 03725/SK/VII/19

1. Titik I 0,0047 0,1

2. Titik II <0,0002 0,1

3. Titik III 0,0033 0,1

Hasil pengukuran parameter kualitas air sungai tertera dalam tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran Parameter Air Sungai

Keterangan :

*menurut, Daelani 2002

**menurut Kordi 2004 : Erma 2013 ***menurut Rukmini 2001 N o Parameter Fisika & Kimia

Satuan Lokasi Sampel Kisaran PP RI No. 82 Th. 2001

Syarat Umum Hidup Ikan

T.I T.II T.III

1 Suhu air ◦c 26 26 26 26 - 25-32 2 pH air mg/L 6,8 6,8 6,6 6,6-6,8 6-9 6,5-9,0 3 Kecerahn air cm 26 15 28 15-28 **≥45 *30-60 4 Kedalaman m 3,5 1,3 5,6 1,3-5,6 - - 5 Kecepatan arus S 12 103 21 12-103 - - 6 DO mg/L 4,60 5,98 5,59 4,60-5,98 4 ***5-6 7 BOD mg/L 4,64 5,54 1,65 1,65-5,54 3 - 8 COD mg/L 6,17 9,25 3,08 3,08-6,17 25 -

ISBN 978-602-72071-1-0

Hasil Pengamatan Secara Mikroanatomi Terhadap Struktur Mikroanaotmi

Gambar 1.1 struktur mikroanatomi insang ikan kelabau Titik I mengalami N : Nekrosis, 10x10

Gambar 1. Struktur mikroanatomi insang ikan normal family Cyprinidae, Setywan (2013) 10x10

Gambar 1.2 alterasi berupa adanya Fu : Fusi lamella sekunder dan Nekrosis lamella sekunder

10x10

Gambar 1.3 alterasi berupa adanya H : Hipertrofi, 10x10

Gambar 1.4 alterasi berupa E : Edema, PM : Penimbunan mucus dan K : kongesti 10x10

Gambar 1.5 perbesaran 10x40

Gambar 1.6 adanya perubahan berupa adanya H : Hiperplasia lamella sekunder, He : Hemoragi lamella sekuder serta adanya IE : Invasi Ektoparasit, 10x10

Lamella sekunder Hialin kartilago Ruang interlamela N Fu N Hi E K PM E PM K IE H He

88

ISBN 978-602-72071-1-0

Kanndungan Kadmium Pada Air

Kehadiran logam Cd di perairan tidak hanya disebabkan oleh buangan limbah industri maupun rumah tangga tetapi kontribusi oleh alam secara tidak langsung turut menimbulkan pencemaran logam berat ini terjadi. Sebagaimana hasil pengamatan bahwa di Kota Banjarmasin berdiri perindustrian yang mengahasilkan substansi logam ke lingkungan udara. Menurut Widowati, dkk. (2008:65) kadmium di atmosfer berasal Gambar 2. Struktur

mikroanatomi insang ikan normal family Cyprinidae, Setywan (2013), 10x10

Gambar 2.1 struktur mikroanatomi insang kelabau Titik II mengalami alterasi N : Nekrosis 10x10

Gambar 2.2 terlihat adanya perubahan Fi : Fibrosis lamella primer serta terjadi N : Nekrosis lamella sekunder, 10x10

Gambar 3.2 Alterasi berupa N : Nekrosis, Fu : Fusi lamella sekunder, 10x40

Gambar 3. Struktur mikroanatomi insang ikan normal family Cyprinidae, Setyawan (2013) 10x10

Gambar 3.1 struktur mikroanatomi insang ikan kelabau Titik III, alterasi berupa Fu : Fusi lamella sekundr, N: Nekrosis, 10x10

Gambar 3.3 alterasi berupa N : Nekrosis lamella sekunder, 10x10

Gambar 3.4 alterasi berupa Hi : Hipertrofi lamella primer, N : Nekrosis lamella skunder, 10x10

Lamella sekunder Ruang interlamela Lamella sekunder Ruang interlamela Hialin kartilago N N Fi Fu N Hialin kartilago normal N Fu N Hi N

ISBN 978-602-72071-1-0

dari penambangan/pengolahan, bahan tambang, peleburan, galvanisasi, pabrik pewarna, pabrik baterai dan pabrik electroplating. Pelepasan Cd dari limbah industri ditambah Cd yang berasal dari alam akan menimbulkan pencemaran lingkungan yang meluas mengingat Cd merupakan substansi persisten di dalam lingkungan.

Berdasarkan tabel 1. Terlihat bahwa kadar kadmium pada setiap titik pengamatan yakni 0,004 mg/l, 0,005 mg/l dan 0,006 mg/l meningkat pada setiap titik. Hal tersebut disebabkan oleh pergerakan arus air yang kontinyu dan sumber utama dari pencemarnya. Titik I berlokasi pada area kawasan jaring apung (KJA) Banua Anyar dimana sumber utama limbah logam Cd berasal dari kegiatan rumah tangga, aktivitas transportasi air dan aktivitas KJA sendiri. Connel dan Miller (1995:346) menyatakan bahwa jumlah runutan yang cukup besar disumbangkan ke dalam cairan limbah rumah tangga oleh sampah-sampah metabolik, korosi pipa-pipa air (Cu,Pb, Zn dan Cd) dan produk-produk konsumer (misalnya formula deterjen yang mengandung Fe, Mn, Cr, Ni, Co, Zn, B dan As). Pada titik II yang berlokasi pada area Kelurahan Seberang Mesjid Pasar Lama sumber utama limbah Cd berasal dari kegiatan industri pencelupan kain sasirangan serta kegiatan rumah tangga. Menurut Palar (2008:117), penggunaan Cd dan persenyawaannya (CdS , CdSeS) banyak digunakan sebagai zat warna meskipun penggunaannya hanya dalam konsentrasi rendah. Sedangkan pada titik III yang berlokasi disekitar area kawasan Pabrik Karet, sumber utama dihasilkan oleh kegiatan industri pabrik karet dan perindustrian disepanjang aliran Sungai Basirih yang dekat dengan wilayah muara Sungai Martapura serta padatnya kegiatan transportasi kapal-kapal besar (pengangkut barang maupun penumpang). Pelumas mesin hasil kegiatan transportasi dan lepasnya cat pelapis badan kapal juga berpotensi menyumbangkan logam ke perairan. Menurut Widowati, dkk. (2008:64) bahwa kapal yang mengalami korosif dan melepaskan pigmen warna pelapis kapal ke perairan merupakan salah satu sumber pencemar logam Cd pada air.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa air sungai mengandung Cd dengan konsentrasi 0,004-0,006 mg/L atau masih berada dibawah nilai ambang baku mutu Peraturan Presiden No.81 Th 2001 dan Peraturan Gubernur No. 05 Th 2007 yakni sebesar 0,01 mg/l. hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kecepatan pergerakan angin yang presisi dengan kondisi arus menyebabkan pengenceran konsentrasi limbah, serta pengambilan sampel yang dilakukan saat hujan dimana massa air turut mengencerkan konsetrasi. Selain itu, proses bioakumulatif yang dilakukan oleh makhluk hidup disekitar wilayah penelitian seperti terdapat banyaknya tumbuhan permukaan air. Metode yang bisa digunakan untuk membersihkan atau mengurangi pencemaran adalah dengan tanaman yang disebut fitoremediasi (Widowati, dkk., 2008 :70).

Kandungan Kadmium Pada Daging

Pada kebanyakan kasus penelitian hubungan antara jumlah adsorpsi atau laju pertambahan konsentrasi logam

antara jaringan dengan konsentrasi dalam air adalah berbanding lurus. Namun, pada uji dalam penelitian yakni ikan kelabau (Osteochillus melanopleurus) sebaliknya. Menurut Darmono (1995:32), distribusi dan akumulasi logam sangat berbeda-beda untuk setiap organisme air. Umumnya semua organisme perairan akan terpengaruh dengan kehadiran bahan pencemaran di habitatnya terutama pada konsentrasi melebihi normal. Menurut Darmono (2010:87), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap mahkluk yang hidup di dalamnya seperti 1) bentuk ikatan, 2) pengaruh lingkungan (pH,kadar garam dan oksigen terlarut), 3) kondisi hewan yakni fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), 4) kemampuan hewan menghindar dari wilayah polusi dan 5) kemampuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap toksik logam.

Berdasarkan tabel 2. Hasil pengukuran kandungan Cd pada daging pada titik I yakni 0,0047 mg/kg, titik II yakni <0,0002 mg/kg dan titik III yakni 0,0033 mg/kg. ketiga konsentrasi tersebut ternyata lebih rendah daripada konsentrasi logam pada air. Rendahnya proses akumulasi disebabkan oleh kemampuan organel seluler dalam menurunkan efek mobilisasi dalam menurunkan toksisitas melalui adanya kehadiran protein khaelat logamnseperi sitosol, lisosom dan nukleus (Lu, 1995:349). Mineral seperti Cu, Co, Se, Ca, Fe dan Zn. dimana persenyawaannya akan menghasilkan transformasi biologi berupa efek antagonis yang akan menurunkan daya racun yang dimiliki suatu zat atau material yang masuk ke dalam tubuh menjadi bentuk molekul yang sederhana atau persenyawaan sederhana (Palar, 2008:43).

Kehadiran mineral logam khaelat dan kecukupan unsur protein suatu organisme mampu menurunkan adsorpsi logam Cd melalui produksi metalotein sebagai barier pertahanan. Hal inilah yang menyebabkan hadirnya efek ekskresi dan regulasi berbeda-beda.

Penurunan konsentrasi di dalam tubuh ikan diduga disebabkan oleh logam Cd yang diikat oleh pengkhaelat logam. Logam akan berikatan dengan protein plasma bermolekul berat rendah 6.000 (Metalotienin) yang banyak mengandung gugus sulfihidril dengan kemampuan ikat 11%. Metalotienin yang terdiri dari protein (polipeptida) memiliki masa molekul kecil (6-7 kDa) dengan kandungan sistein 26-33% non-asam amino aromatik (histidin), dimana Cd akan terikat dengan gugus sulfihidril (-SH) dalam enzim karboksil, sisteinil, histidil, hidroksil dan fosfatil dari protein dan purin (Widowati, dkk. 2008:75).

Hasil pengukuran kandungan kadmium pada ketiga daging ikan kelabau yang berkisar <0,0002-0,0033 mg/kg yang didasarkan pada Direktur Jenderal Pangan dan Obat No. 03725/B/SK/1989 tentang Kontaminasi Maksimal Kadmium (Cd) untuk Ikan adalah 0,1 mg/kg atau berada dibawah nilai ambang baku mutu yang ditetapkan. Dinamikasi adsorpsi logam ini disebabkan kandungan logam dalam perairan yang dapat berubah-rubah serta pengambilan sampel yang dilakukan saat musim hujan, dimana konsentrasi akan lebih rendah oleh sebab pengenceran konsentrasi oleh banyak massa air di badan perairan. Namun, tidak menutup kemungkinan nilai ini

90

ISBN 978-602-72071-1-0

akan terus bertambah mengingat sifat biotransformasi, biamagnifikasi serta bioakumulatid logam Cd.

Kualitas Parameter Air Sungai

Berdasarkan tabel 3. Kualitas suatu parameter akan mencerminkan konsentrasi di dalam tubuh suatu organisme. Pada hasil pengukuran suhu berkisar yakni 25- 32◦C, kondisi suhu yang semakin meningkat akan berpengaruh terhadap laju metabolisme yang terjadi. Jika pada suatu perairan konsentrasi logam Cd melebihi normal, maka akan menyebabkan laju adsorpsi menjadi meningkat.

Umumnya kondisi kecerahan suatu perairan berhubungan dengan kondisi kebersihan air dimana limbah yang terbuang ke badan perairan akan berpengaruh pada kekeruhan badan air, sehingga dapat disimpulkan bahwa badan air jenuh dengan limbah terlebih lagi jika limbah tersebut adalah limbah yang mengandung logam. Hasil pengukuran kecerahan pada ketiga titik berkisar 15-28 cm atau kecerahan tergolong rendah.

Kedalaman suatu perairan secara kualitatif menentukan banyaknya penetrasi sinar yang masuk. Semakin besar sinar yang dapat menembus suatu perairan maka kondisi kehidupan biota seperti tumbuhan air memungkinan untuk berkembang dan proses fitoremediasi logam dapat terjadi secara alamiah. Pada pengukuran titik I berkisar 3,5 m, titik II 1,3 m dan titik III 5,6 m. pengukuran terendah terdapat di titik II yakni 1,3 m hal ini terjadi jika badan sungai secara geografis memiliki kedalaman yang kurang dibuktikan dengan banyaknya bertambat kapal-kapal kecil di wilayah sungai area Pasar Lama Banjarmasin serta terjadinya pendangkalan akibat limbah rumah tangga.

Melalui kecepatan arus dapat diperkirakan kapan bahan pencemar mencapai suatu lokasi tertentu. Hasil pengukuran ketiga titik diperoleh kecepatan tertinggi di titik I yakni 12 m/s, disusul titik II 21 m/s dan terendah 113 m/s pada titik III.

Persenyawaan logam Cd termasuk kedalam persenyawaan sulfida , seperti halnya senyawa hidroksida, senyawa oksida dan senyawa karbonat. Senyawa-senyawa tersebut sangat mudah larut dalam air. Berdasarkan hasil pengukuran pH berkisar antara 6,6-6,8 , menurut Palar, (2008:36), badan perairan yang mempunyai derajat keasaman (pH) mendekati normal atau pada daerah kisaran pH 7 sampai 8, kelarutan dari senyawa-senyawa ini cenderung stabil.

Kondisi oksigen terlarut bervariasi bergantung pada suhu suatu perairan dan tekanan atmosfer. Suhu ketiga titik berkisar 25-32◦C dan DO berkisar 4,60 mg/l Titik I,

5,98 mg/l Titik II dan 5,59 mg/l Titik III, menurut Fardiaz (1992:33), konsentrasi oksigen pada suhu mencapai 32◦C adalah 7,4 mg/l atau DO cenderung masih mempertahankan kondisi hidup biota akuatik serta tidak mengakibatkan proses hidrogenasi meningkat.

Berdasarkan hasil pengukuran BOD di Titik I sebesar 4,64 mg/l, 5,54 mg/l Titik IIdan 1,65 mg/l Titik III. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan pencemarnya.

Menurut Effendi (2003:27), kisaran BOD yang melebihi 10mg/l dianggap telah mengalami pencemaran.

Berdasarkan hasil pengukuran COD di Titik I sebesar 6,17 mg/l, Titik II 9,25 mg/l dan Titik III 3,08 mg/l atau konsentrasi berada dibawah nilai ambang baku menurut PP RI. No. 82 Th. 2001 yakni 50mg/l.

Histopatologi Mikroanaotmi Insang

Pemeriksaan histopatologi pada suatu organisme yang hidup di daerah tercemar akan memberikan gambaran tingkat keparan pencemaran yang terjadi. Berdasarkan hasil pemeriksaan struktur mikroanatomi insang ikan Kelabau yang dipancing di Titik I memperlihatkan adanya alterasi berupa edema, peradangan, kongesti, hemoragi, hipertrofi, hyperplasia, fusi dan adanya invasi ektoparasit serta nekrosis. Pada Titik II alterasi berupa fibrosis lamella primer disertai deskumasi atau nekrosis lamella sekundernya dan pada Titik III alterasi berupa hipertrofi lamella primer, fusi lamella sekunder dan nekrosis lamella sekunder.

Edema diduga disebabkan oleh kehadiran logam Cd yang memasuki insang yang menyebabkan penurunan aktivitas ATP dalam enzim karbonik anhidrase dan ATP ase sehingga menyebabkan kolaps kompa natrium pada selaput yang peka. Hal ini menyebabkan terjadinya influks natrium intrasel dan difusi kalium ekstrasel juga menyebabkan kegagalan iso-osmosa air yang berujung pada peradangan jaringan insang.

Dilatasi dan peradangan dalam filamen insang dianggap sebagai akibat dari terjebaknya ion logam. Peradangan akan membuat kapiler insang mengalami vasodilatasi yang menyebabkan prakapiler insang membuka, akibatnya terjadi peningkatan aliran darah pada kapiler yang sebelumnya inaktif sehingga jaringan lebih hiperemis. Bertambahnya aliran darah (hiperemia) dalam jaringan insang akan disusul oleh perlambatan aliran darah dan perubahan tekanan intravaskular terhadap pembuluh insang. Biasanya dilatasi pada sistem vena insang akan menyebabkan hambatan vena balik sehingga kesan pembendungan darah terjadi disebut kongesti.

Jika tekanan intravaskuler (hidrostatis dan osmotik) pada kapiler insang terus meningkat oleh adanya logam Cd akan menyebabkan permeabilitas dinding kapiler meningkat yang menyebabkan extravasasi cairan sehingga terjadi penumpukan cairan yang disebut sebagai hemoragi.

Hiperplasia pada lamella sekunder insang diduga disebabkan oleh hubungan yang terjadi saat logam Cd dalam air mengion menjadi Cd2+. Hal ini akan menyebabkan proliferase massif pada sel eiptel kapiler juga pada sekresi mukus. Kondisi ini akan mengarah kepada tertutupinya permukaan lamella insang oleh hasil proliferasi tersebut sehingga menyebabkan perlekatan pada kedua sisi lamella yang disebut fusi lamella.

Fusi lamella sekunder menciptakan kondisi dimana jaringan insang tidak akan mampu dimasuki oleh logam Cd tetapi justru mengakibatkan kegagalan respirasi yang berujung pada kematian ikan.

Menurut Prasetyo (2010:4), myxospora merupakan parasit yang paling umum menginvasi kulit dan insang

ISBN 978-602-72071-1-0

ikan air laut dan air tawar. Ektoparasit ini ditemukan pada preparat titik pertama sekaligus juga diduga menyebabkan tingginya kerusakan yang terjadi pada preparat tersebut.

Fibrosis pada jaringan insang merupakan kondisi dimana terjadi pembentukan jaringan ikat. Hal ini diduga terjadi akibat kontak langsung dengan perairan yang tercemar logam Cd atau sebagai kompensator pasca peradangan pada lamella primer (hipergranulasi) dalam adaptasi ikan.

Hipertrofi yang terjadi pada organ insang khususnya lamella primer diduga merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap fungsi atau hormon oleh keadaan fisiologis maupun patologis. Menurut Efrizal, dkk. (1998:15), hipertrofi pada lamella sekunder maupun primer insang merupakan tanda-tanda awal ikan terpapar bahan kimia. Diduga logam Cd menyebabkan bertambahnya ukuran jaringa insang.

Sel yang mengalami nekrosis atau deskuamasi pada lamella insang akan mudah untuk terlepas dari jaringan penyokongnya dan menyebabkan jaringan disekitarnya rentan terhadap iritasi maupun radang. Nekrosis ditemui pada ketiga preparat, diduga terjadi karena toksikan seperti logam Cd menyebabkan ketidakmampuan sel mengkompensasi kehadiran zat toksik tersebut sehingga mengakibatkan lisis komponen sel yang berujung pada degradasi progresif letal ireversibel atau kematian jaringan yang tidak terkontrol.

Kerusakan pada tahapan ini diduga tidak hanya disebabkan oleh zat toksik seperti logam Cd di dalam perairan tetapi juga disebabkan oleh keadiran toksikan lain seperti zat kimia organik dan anorganik yang ada di dalam perairan atau tingginya konsentrasi amoniak yang

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 (Halaman 110-119)