instalasi
pengolahan
sampahn
ya
lokasi sampai pembentukan kelompoknya apakah juga mengajak parsipasi warga dan
memberdayakannya?
Betul, dalam soal itu, pengolahan sampah yang kami kembangkan juga mengadopsi prinsip-prinsip Sanimas, terutama aspek pemberdayaan dan parsipasi warganya. Penunjukan tempat pengolahan sampah di Jan sebagai percontohan juga mengadopsi konsep Sanimas, mengedapankan
pemberdayaan, dan lain-lan.
Kembali kepada Sanimas. Apa yang khas dari Jawa Timur terkait
dengan pengembangan Sanimas?
Jawa Timur terkenal dengan NU-nya, sehingga dari awal saya sudah mengusulkan agar ada lokasi Sanimas di pesantren. Ini penng agar biogas yang dihasilkan IPAL di pesantren itu bisa digunakan untuk memasak itu hasil makanannya juga dimakan oleh para santri. Hal itu cukup penng menurut saya karena ada kalangan yang menganggap makanan yang dimasak dengan biogas hasil pengolahan limbah nja itu dak halal. Di Mojokerto sempat ada juga yang begitu. Sampai- sampai fasilitator kami di lapangan dan pihak pemerintah juga sampai mencarikan fatwa kepada ulama setempat.
Benar ya betul-betul ada kasus seper itu? Anda sendiri sempat menghadapi langsung persoalan itu? Ada, dan saya sendiri pernah menghadapinya
langsung. Di Pamekasan, ada kyai khos yang bertanya pada saya apa makanan yang dimasak dengan biogas hasil pengolahan nja itu halal atau haram. Saya bilang, saya bukan ahli fiqh, jadi bukan bagian saya, itu bagian pak kyai. Tapi saya bisa jelaskan prosesnya.
Pak Kyai itu meminta saya menjelaskan. Saya jelaskan, sebenarnya Allah memberikan bakteri pada kotoran kita. Itu buk bahwa apa pun yang diberikan Allah itu bermanfaat, termasuk kotoran dan sampah. Tapi itu hanya berguna untuk orang-orang yg berpikir, untuk orang yang tahu ilmunya. Lalu saya bilang, nja itu ditempatkan di tempat yang seper perut. Bentuknya juga bulat
dengan mengerucut di atas, untuk mengerucutkan atau mengumpulkan k-k energi di bagian atas.
Namanya biodigester. Dari situlah berkumpul 70 persen gas metan dari pengolahan bakteri nja dalam
IPAL. Karena gas metan itu mudah terbakar, maka dari situlah ada biogas.
Sederhananya begitu saya jelaskan pada Pak Kyai. Lalu saya tanya balik: itu halal atau haram?
Akhinya kata pak kyai bilang: itu halal. Saya tanya beliau, apa Kyai mau makan? Oke, saya mau.
Katanya, panggil wartawan, saya akan makan. Lalu masuk itu ke Radar Madura.
Ke depan, apa yang Anda harapkan terhadap program Sanimas? Apa kira-kira yang masih bisa diperbaiki dan dingkatkan?
Untuk Sanimas sendiri saya berharap tetap berlanjut, dengan atau tanpa nama Sanimas. Ini terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat, parsipasi warga dan pendidikan mengenai sanitasi yang harus passipatoris. Kita tahu untuk dana DAK 2010 ini cukup besar, nah… kita menunggu seper apa petunjuk teknis (juknis) yang akan dikeluarkan PU. Seper yang saya utarakan di atas, saya harapkan sanitasi DAK tetap memperhitungkan proses pembangunan yang melibatkan parsipasi warga. Pendeknya, konsep Sanimas masih diadopsi di sana.
Saya, sekali lagi, dak mempersoalkan nama Sanimas dipakai atau dak. Saya hanya khawar dan sekaligus menyayangkan jika proses yang sudah kita jalani sejak lama itu dinggalkan begitu saja. Padahal saya kira sudah cukup banyak keberhasilan Sanimas dengan konsepnya itu.
... apa
mak
anan
yang dimasak
deng
an biog
as
hasil
peng
olahan
nja itu halal?
Bisa diceritakan bagaimana keterlibatan Anda dalam pengembangan Sanimas di Indonesia?
Saya waktu itu masih Kepala Sub Direktorat Wilayah Tengah II yang membawahi Jawa Tengah dan Timur diundang ke Bali untuk mendengarkan konsep Sanimas yang dipresentasikan oleh Alfred Lambertus. Waktu itu Bank Dunia minta direplikasi. Saya sendiri masih ragu, terutama karena biayanya mahal. Kalau dulu kan buat toilet cukup sekitar 15 juta, kalau ini ratusan juta. Ini agak menjadi bahan pemikiran juga waktu itu.
Lalu kita terima usulan itu, tapi dak langsung replikasi, melainkan di-ujicoba-kan di 7 lokasi, termasuk 6 di Jawa Timur yang menjadi area tanggungjawab kerja saya. Dari situlah akhirnya sampai pada tahap replikasi yang menjadi salah satu program utama Direktorat Cipta Karya sejak 2006.
Adakah bedanya antara konsep Sanimas yang dipresentasikan waktu itu dengan yang dikembangkan oleh PU pada tahap replikasi sejak 2006?
Secara umum masih sama, tapi kita tak serta merta mengaplikasi begitu saja konsep Sanimas yang kita dengar pertama saat presentasi di Bali itu. Ada beberapa hal yang berbeda, tapi yang terutama adalah pada aspek pendanaan. Cukup jelas uang dari kita [baca: pemerintah pusat] dak diberikan dalam bantuan langsung yang tunai sifatnya, tapi uang itu dikonversikan ke dalam bahan- bahan bangunan atau material yang dibutuhkan dalam proses pembangunan fasilitas Sanimas.
Kita juga memutuskan dak akan menunjuk kota mana yang akan menjadi penerima program Sanimas. Yang kita lakukan adalah kita melakukan advokasi, menggelar road show sampai sarasehan untuk mempresentasikan Sanimas ke kota/kabupaten. Dari situlah kita nannya menerima usulan kota/kabupaten mana saja yang tertarik dan ingin membangun Sanimas.
Kota/kabupaten yang mengusulkan dirinya itulah yang menjadi calon penerima, dak mungkin dan dak akan kota/kabupaten yang dak mengajukan diri akan mendapat bantuan Sanimas. Karena cukup jelas, Sanimas ini dak mungkin hanya ditangani oleh pusat, ini justru butuh parsipasi masyarakat dan juga kontribusi pemerintah kabupaten/kota, termasuk dalam soal pembiayaan. Karena seper yang sudah dibilang di awal, kita hanya bisa sharing atau membantu untuk penyediaan material.
Apa yang membuat PU tertarik untuk mengembangkan Sanimas sampai-sampai PU mempercepat program replikasi Sanimas yang bisa mencapai 100an buah per tahun?
Selama ini sanitasi hanya ada dua pe yaitu pe individual [ap