yang
Krusial
mereka juga dilibatkan dalam sharing dana, serta mereka pula yang kelak akan mengurus dan mengelola fasilitas Sanimas. Karena itulah justru fase sebelum pengerjaan itu yang krusial dan penng, sebab dak bisa semuanya dilewa begitu saja.
Pada fase-fase itulah TFL justru harus sering berkomunikasi dengan masyarakat, baik dalam rapat-rapat resmi maupun dalam tatap muka informal sehari-hari. Pada fase itulah masyarakat diberikan pengeran tentang Sanimas, apa bedanya dengan proyek-proyek pembangunan pemerintah yang top down. Kita harus bisa menjelaskan bahwa parsipasi warga itu bukan untuk membebani warga, tapi justru demi keberlangsungan Sanimas itu sendiri.
Belum lagi menyangkut hal-hal teknis yang dak kalah krusialnya, terutama pemilihan lokasi bangunan. Ini seringkali alot. Kebanyakan bukan karena mereka sengaja beralot-alot, tapi memang dak mudah mencari lokasi di kawasan pemukiman di perkotaan yang ngkat kepadatannya sudah nggi. Susah mencari lahan kosong di kota. Jika harus dibeli, harganya pas dak murah.
Apakah kalau begitu tahap pengerjaan bisa dipantau dengan lebih santai dan longgar?
Bukan begitu maksud saya. Tentu saja tahap pengerjaan pun harus dipantau dengan serius. Hanya saja, kalau sesuai standar, seumpama bangunan sudah mulai dikerjakan, itu arnya tahapan-tahapan lain sudah terlewa dengan baik. Itu kalau ingin sesuai dengan standar. Nah, kalau tahapan-tahapan itu sudah dilewa, ini lebih mudah, karena masyarakat arnya sudah cukup memiliki pemahaman dan pengeran tentang Sanimas.
Soal teknis seper kekuatan konstruksi, standar
material yang dipakai, itu juga penng. Tapi di situ kan ada m teknis yang memang
sudah dilah secara khusus untuk mengontrol kualitasnya. Kebetulan saya
sendiri memang disiplinnya teknik sipil, jadi praks saya dak terlalu kesulitan
jika harus memantau dengan detail perkembangan teknis ini.
Mungkin teman-teman TFL lain yang dak punya pengalaman atau bukan berlatar belakang teknik sipil atau arsitektur akan sedikit menghadapi kendala. Tapi itu bisa diatasi oleh m teknis, baik dari pemerintah maupun dari BORDA atau BEST yang memang sudah terlah menangani hal itu.
Sebagai TFL tentu saja Anda dak sendiri, bukan? Ada TFL lain dari pemerintah. Bagaimana kerjasamanya?
Betul sekali. Saya bekerja sama dengan TFL dari pemerintah kota. Selama ini saya lebih sering bekerjasama dengan Pak Yustriono dari Bappeko (Badan Perencanaan Pembangunan Kota) yang merupakan TFL dari pemerintah. Selama ini kerjasamanya cukup baik. Beliau cukup sering berperan terutama dalam urusan yang berkaitan dengan pemerintah. Kebetulan untuk Sanimas di Kota Mojokerto ini kan berada di bawah penanganan Bappeko di mana Pak Yustriono memang berasal dari sana.
Setelah lokasi Sanimas di Pulorejo yang sedang Anda garap itu selesai, di mana lokasi Sanimas berikutnya yang akan Anda tangani?
Saya belum tahu pas. Ini terkait akan turunnya sanitasi dengan dana DAK. Sanitasi DAK itu kan menggunakan sistem kontraktual di mana pembangun
...bbbbbbbbbbbbbbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhwwwwwwwwwwwwwwwwaaaaaaaaaaaaaaaaa
parsipasi
warga itu
bukan untuk
membebani
warga,
warga, tapi
justru demi mi
keberlang-
sungan
Sanimas itu
sendiri
BORDAfasilitas sanitasinya adalah para kontraktor yang dipilih untuk itu. Saya belum tahu bagaimana teknisnya, saya juga belum tahu apakah masih akan menggunakan TFL dari LSM atau dak.
Tapi kalau dak salah saya mendengar ada ga lokasi untuk 2010, salah satunya di lokasi pondok pesantren. Tapi karena itu menggunakan dana DAK, saya belum bisa berkomentar banyak soal apakah saya masih akan bekerja sebagai TFL pada 2010 ini atau dak.
Bukannya pada 2009 kemarin itu juga sudah ada sanitasi DAK di Mojokerto?
Betul. Ada 6 lokasi sanitasi DAK di Mojokerto pada 2009 lalu.
Bagaimana perkembangannya?
Banyak kedakpuasan di masyarakat. Orang tahunya itu Sanimas, tapi mereka terkejut kenapa model pembangunannya dak seper Sanimas yang lain-lain? Harus dijelaskan lagi pada warga bahwa sanitasi DAK dak sama dengan Sanimas. Tidak banyak warga yang tahu kalau Sanimas itu dak mungkin sistem pembangunannya kontraktual dengan diserahkan pada kontraktor.
Yang jadi permasalahan itu kan banyak tahapan- tahapan yang dulu orang tahu biasa dilewa dengan tuntas dalam Sanimas. Misalnya pemilihan lokasi. Beberapa lokasi yang menjadi penerima sanitasi DAK itu sebenarnya lokasi yang dak terpilih saat diikutkan dalam
seleksi penerima Sanimas. Ini kan jadi sorotan waktu itu. Kalau ada yang dak terpilih saat seleksi Sanimas, berar lokasi itu memang dak memenuhi kriteria syarat para penerima, tapi kenapa malah terpilih menerima sanitasi DAK?
Belum lagi soal standar pembangunan konstruksinya. Misalnya biodigester untuk menghasilkan biogas di IPAL. Bentuknya itu berbeda dengan standar yang ada dalam Sanimas. Bentuknya itu dak bundar tapi memanjang seper kotak begitu. Saya dak tahu apakah itu akan bisa mengeluarkan biogas atau belum.
Bagi Anda sendiri, apa yang berharga dari pengalaman terlibat dalam pengembangan Sanimas
sebagai TFL?
Yang jelas saya jadi lebih tahu
masyarakat. Bukan cuma masyarakat di lingkungan rumah saya atau warga yang seumuran dengan saya saja, tapi masyarakat dari wilayah berbeda, dengan latar belakang pendidikan yang juga berbeda, karakter yang berlainan. Ini sangat memperkaya pengalaman saya pribadi.
Ada hal menarik yang Anda temukan selama menjadi TFL Sanimas di Mojokerto?
Banyak sebenarnya. Tapi yang masih saya ingat itu ya ihwal penolakan warga untuk menggunakan biogas yang dihasilkan biodegester IPAL Sanimas. Banyak yang menganggap dan berpikir itu haram, karena berasal dari olahan nja. Itu sebabnya mereka menolak menggunakan biodigester untuk memasak makanan yang akan mereka makan.
Kami akhirnya sampai memintakan fatwa pada MUI kota Mojokerto. Kami, baik TFL dari Best atau pemerintah sendiri, berinisiaf memintakan fatwa pada MUI. Setelah