• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tenaga Fasilitator

Lapangan

dan lugas kesalahpahaman warga yang kontra atau dak setuju dengan masuknya Sanimas ke lokasi tempat nggal mereka. “Tidak mungkin semua langsung setuju. Pas ada yang sikapnya kontra. Itu hal biasa saja. Kebanyakan memang karena mereka belum menger dan belum paham apa itu Sanimas berikut konsepnya,” urai Arif Zaenuddin, TFL di kota Pasuruan.

Arif punya pengalaman di mana warga justru terbelah ke dalam dua kubu yang sama-sama keras. Waktu itu Arif sedang menjadi TFL untuk lokasi Sanimas di desa Panggung, kecamatan Bugul Kidul, kota Pasuruan. Banyak warga yang belum menger konsep Sanimas yang mengutamakan pemberdayaan dan parsipasi warga. Ada banyak orang yang berpikir kalau ada proyek pemerintah masuk, maka warga yang menjadi pengurusnya akan mendapat kucuran dana ke kantongnya sendiri. Arif bahkan harus menjadi penengah dua kubu itu yang sampai harus dipertemukan oleh pihak kelurahan.

“Waktu itu suasananya sudah cukup panas. Pertemuan di kelurahan itu bahkan sempat hendak dijaga oleh Babinsa. Tapi saya menolak hal itu dan mengatakan pada Pak Lurah, kalau sampai harus diamankan dengan cara seper itu, maka yang ada malah suasana ketegangan. Itu akan sulit mencairkan suasana dan sukar juga untuk berdialog secara lebih luwes dan dak tegang,” papar Arif Zaenuddin. Sementara Novri Hendra punya pengalaman berbeda dalam mengatasi perbedaan pendapat dan sikap di kalangan warga. Ia mengaku, sikap kontra itu

sudah biasa ia temui dan hadapi di lapangan. Biasanya, mereka akan cair dan kendur penolakannya jika sudah dilakukan pendekatan personal sembari diberi penjelasan yang lebih detail mengenai hal-hal yang selama ini menjadi ganjalan bagi mereka. Jika sudah bisa diatasi, Novri sendiri justru tetap menjalin hubungan dengan orang-orang yang mulanya kontra itu demi kebaikan pengelolaan Sanimas itu sendiri.

“Orang-orang yang dulu kontra dengan Sanimas atau berseberangan pendapat dengan para pengurus KSM itu harus saya rangkul. Biasanya, orang-orang seper itu yang justru jeli menemukan kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang terjadi di lapangan. Tanpa perlu diminta, mereka akan getol mengawasi para pengurus KSM. Ini yang sering saya manfaatkan untuk memonitoring kinerja KSM. Mereka semacam penyeimbang yang informasi- informasinya justru dibutuhkan oleh para TFL,” tegas Novri, pria berkacamata yang juga seorang sarjana teknik sipil dari salah satu

perguruan nggi di kota Malang.

Para TFL inilah yang menjadi ujung tombak pengembangan Sanimas di lapangan. Parsipasi dan pemberdayaan masyarakat amat bergantung pada kinerja mereka di lapangan. Penguasaan materi terkait konsep dan detail Sanimas amat dibutuhkan, juga faktor kemampuan komunikasi dengan masyarakat yang notabene berasal dari berbagai kalangan.

Singkatnya, fasilitator adalah orang yang membantu anggota kelompok berinteraksi secara nyaman, konstrukf, dan kolaboraf sehingga kelompok yang sedang mengerjakan suatu program dapat mencapai tujuannya. Untuk itu semua, fasilitator mes netral. Arnya, seap berlangsung pembicaraan di antara kelompok warga, seper bagaimana solusi yang tepat untuk suatu masalah, adalah urusan anggota kelompok, dan bukan wilayah intervensi fasilitator. Fasilitator hanya mendampingi dan membantu agar warga bisa melakukan semua itu dengan bagus dan lancar.

Dalam sejumlah proyek

pembangunan, pengeran fasilitasi mengarah pada ”mempermudah”

dengan

BORD A

cara memberi bantuan teknis (keterampilan, informasi) pada masyarakat. Karena itu, kita mengenal fasilitator dengan keterampilan teknis yang spesifik seper fasilitator air dan sanitasi, fasilitator kesehatan masyarakat, mikro kredit, gizi masyarakat, dan lain-lain. Di sini, fasilitasi merujuk pada pengelolaan parsipasi masyarakat sekaligus pemberian keterampilan, informasi, atau pilihan-pilihan metode atau teknologi untuk diadopsi masyarakat.

Itulah sebabnya pelahan tenaga fasilitator menempa peran utama. Begitu para TFL itu resmi direkrut, yang mereka iku pertama kali adalah pelahan fasilitator. Mereka diwajibkan mengiku hal itu. Tanpa pelahan itu, mustahil mereka bisa menguasai konsep Sanimas dan menyosialisasikannya. Baik BORDA, BEST maupun pemerintah sering mengadakan pelahan-pelahan fasilitator ini. Mereka terus di up- grade kemampuannya.

Departemen Pekerjaan Umum sendiri mengaku pelahan bagi para fasilitator ini memegang peranan kunci dalam replikasi Sanimas. Sejak 2006, Sanimas di-replikasi sedemikian rupa dalam skala yang besar dan massal. Tiap tahun bisa ada sekitar 100an lokasi yang dibangun. “Itu menyulitkan dalam kendali mutu, juga dalam soal rentang kendali yang makin tersebar jauh. Untuk itulah PU terus menerus mengadakan pelahan bagi para tenaga fasilitator yang menjadi ujung tombak di lapangan. Ini mau dak mau harus kami lakukan secara berkala dan terus menerus,” urai Susmono, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Permukiman di Departemen Pekerjaan Umum.

Mereka juga harus punya

kemampuan memediasi antara warga dengan pemerintah maupun LSM

yang menjadi mitra

pemerintah. Itu sebabnya ada dua TFL yaitu TFL yang dikirim oleh LSM yang menjadi mitra pemerintah dan TFL dari pemerintah yang biasanya berasal dari instansi yang menjadi pelaksana pengembangan Sanimas di kota atau kabupaten tersebut.

Sony Basuki, Senior TFL BEST yang mengkoordinasi beberapa TFL di Jawa Timur wilayah Barat, mengakui penngnya peranan menjembatani antara warga dengan pemerintah itu. “Sering juga muncul persoalan- persoalan kecil terkait hubungan antara warga dengan instansi yang ditunjuk menangani Sanimas. Kadang ada masalah dengan pencairan dana, kadang ada masalah perijinan. Di situlah peranan TFL di lapangan yang menjembatani. Itu sebabnya ada TFL dari pemerintah,” ujar Sony, yang sejak 2009 duduk di Komisi II DPRD Kota Pasuruan.

Sebagai Senior TFL, Sony sudah dak lagi memegang salah

satu lokasi Sanimas. Tugasnya justru mengkoordinasi fasilitator-fasilitator di beberapa kota dan kabupaten. Para senior TFL ini biasanya sudah memiliki jam terbang nggi dalam mendampingi warga. Minimal punya pengalaman dua tahun.

“Tugas mereka bukan hanya mengkoordinasi, tapi juga ikut menjaga kesinambungan program Sanimas di wilayah kerjanya. Mereka mau dak mau mes punya hubungan yang bagus dengan para stakeholder di pemerintahan untuk terus mengupayakan agar Sanimas tetap ada di tahun-tahun berikutnya,” ujar Surur Wahyudi dari BORDA.

Arif Zenuddin, TFL di kota Pasuruan, misalnya. Ia bercerita bagaimana dia harus terus

menghubungi dan berkomunikasi dengan para stakeholder di Pasuruan untuk terus menjaga kesinambungan program Sanimas. Dia kadang harus menemui anggota DPRD, Sekretaris Daerah, bahkan sampai Walikota. Ia mengaku, karena itulah maka relasi seorang TFL harus luas dan mencakup berbagai kalangan.

“Saya sampai mendatangi walikota langsung untuk lokasi Sanimas terakhir yang sedang saya tangani ini. Soalnya waktu itu ada sedikit kesalahan dalam budgeng, sehingga saya sendiri harus pro-akf membereskan persoalan ini,” ujarnya.

Baik Arif, Novri atau Sony Basuki yang berasal dari LSM

semuanya sedang mencerma masa depan Sanimas setelah

Departemen PU akan mendapatkan dana DAK

Sanitasi. Mereka berharap DAK Sanitasi bisa tetap

mengadopsi Sanimas, bukan kontraktual. Ini

mungkin terkait masa depan mereka sebagai

TFL, selain itu mereka juga menyayangkan jika program pengembangan sanitasi lagi-lagi harus dibangun oleh para kontraktor yang seringkali mengabaikan proses pemberdayaan dan parsipasi warga. Para konsultan yang dilibatkan dalam pengembangan sanitasi DAK juga dianggap dak cukup terlah dan sabar dalam mendampingi warga selama proses persiapan pembangunan Sanimas.

Di Mojokerto sendiri, Sony Basuki mengupayakan agar para TFL ini tetap bisa mendampingi warga dalam menyiapkan aspek pemberdayaan dan parsipasinya. Seumpama dana sanitasi DAK ini pun memang akhirnya menggunakan sistem kontraktual, Sony berharap agar PU tetap menggariskan bahwa aspek pemberdayaan dan parsipasi warga itu tetap diadopsi.

Mereka

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 164-166)