• Tidak ada hasil yang ditemukan

kendala dengan

yang seringkali muncul?

Kendala dalam relasi dengan pemerintah di daerah salah satunya dalam soal pendanaan. Beberapa kali ada kasus di mana anggaran gagal cair pada waktunya karena faktor sepele, seper terlambat dimasukkan dalam APBD, sehingga terpaksa masuk ke APBD Perubahan. Ini kadang menghambat terutama di awal-awal saat suatu daerah baru memulai mengaplikasikan Sanimas.

Selain itu adalah soal perganan pejabat di daerah. Kadang di daerah itu rotasi dan mutasi jabatan itu sangat dinamis. Kita sudah menjalin relasi yang bagus dengan seorang pejabat di daerah, dia sudah punya pemahaman

dan pengeran yang cukup mengenai Sanimas dan pola relasi kerja dan hubungannya, ba-ba yang bersangkutan harus pindah ke instansi lain. Itu cukup merepotkan juga dan itu memang relaf sering terjadi.

Itu sebabnya secara berkala, di

...kendala

dengan

pemerintah

daerah salah

satunya soalppppeeeen

yyyyasssoooaoaalll

n

nddddanaaaaann

seap tahun, kita terus mengadakan pelahan untuk aparat-aparat pemerintah daerah. Ini untuk terus menjaga kelangsungan konsep Sanimas, sedaknya di level pemahaman dan pengeran, dari yang sifatnya konseptual sampai hal ihwal yang sifatnya teknis.

Setelah direplikasi secara masif, dengan sebaran lokasi yang berjauhan, dakkah itu menjadi problem tersendiri dalam rentang kendali?

Soal rentang kendali itu sempat jadi persoalan tersendiri. Di unit yang saya pimpin, awalnya hanya ada empat orang, dan itu harus mengawasi pengembangan Sanimas pada tahap replikasi yang mencapai hampir seratus k per tahun. Sekarang sudah sedikit lebih banyak karena menjadi delapan orang. Tapi itu dak berar sudah memadai rasionya. Dengan orang segitu harus mengawasi dari Sabang sampai Merauke, 33 provinsi dan 500 lebih kota dan kabupaten.

Itu sebabnya sejak awal replikasi kita outsourcing untuk menggunakan jasa konsultan. Merekalah yang turun ke lapangan, melakukan monitoring, mengawasi situasi dan kondisi di lapangan. Kami dak mungkin melakukannya sendiri dengan tenaga yang terbatas ini. Outsourcing dengan memanfaatkan tenaga konsultan itu

adalah pilihan yang rasional.

Tapi saya secara berkala tetap turun ke lapangan. Biar bagaimana pun kita harus bisa memahami situasi dan kondisi dengan mata kepala sendiri, dak hanya mengandalkan laporan orang lain atau konsultan.

Biasanya saya datang ke lokasi-lokasi yang relaf sulit atau di sana ada banyak persoalan. Kalau di lokasi-lokasi yang lancar dan mulus serta dak ada masalah untuk apa saya datang ke sana?

Apa pengalaman yang menurut Anda paling menarik dan mengesankan selama terlibat dalam pengembangan Sanimas?

Saya merasakan apresiasi yang tulus dari masyarakat. Beberapa kali saya turun ke lapangan dan saya disambut macam pahlawan. Semua macam-macam makanan dihidangkan. Itu sesuatu yang dak ternilai harganya. Mengharukan mendengar orang-orang berterimakasih dengan tulus pada saya. Kadang kita kan membutuhkan apresiasi semacam itu.

Tentu Sanimas sendiri dak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Apa yang masih perlu dibenahi dari pengembangan Sanimas di masa depan?

Ada perbedaan antara Sanimas yang

pemberdayaannya didampingi oleh fasilitator dari LSM dengan konsultan. Kalau dari LSM, mereka bekerja dengan ha. Mereka dak masalah harus turun ke lapangan berkali-kali. Kalau konsultan itu kan bekerja berdasarkan kontrak kerja. Jadi mereka mencoba efisien, termasuk dalam soal anggaran yang bisa berimbas pada frekuensi turun ke lapangan.

Selanjutnya adalah soal exit strategy. Perlu ada standar soal kapan dan dalam situasi apa kita bisa meninggalkan lokasi secara tepat waktu, juga tanpa meninggalkan persoalan-persoalan. Ini belum terstandarisasi dengan baik.

Penng juga ditekankan soal pemberdayaan terkait dengan anggaran. Soal pemberdayaan ini dak bisa dilakukan dengan keharusan selesai dalam satu anggaran. Pemberdayaan itu sesuatu yang kompleks. Ada kawasan yang mudah dan cepat, ada kawasan yang sangat sukar dan membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Kan, repot kalau pemberdayaan setahun belum selesai, sementara anggaran sudah bergan dan pembangunan belum dimulai karena fase pemberdayaannya belum tuntas. Saya beberapa kali meminta pada teman-teman di Bappenas untuk meminta agar pihak

Departemen Keuangan mencarikan solusi untuk persoalan macam ini.

Bagaimana awal mula keterlibatan Anda dalam program Sanimas?

Keka uji coba Sanimas dilaksanakan pada tahun 2003, saya baru saja bergabung di BORDA. Pada saat itu, pembangunan fisik uji coba Sanimas sedang berlangsung, rencana kerja masyarakat telah selesai dan KSM telah terbentuk. Sebagai uji coba Sanimas angkatan pertama, dibutuhkan pembelajaran. Kami menyelenggarakan lokakarya, mengundang komunitas penerima manfaat dan TFL termasuk juga ahli pengembangan masyarakat dari LSM mitra kerja dan pemerintah terkait untuk saling berbagi pengalaman pelaksanaan dan menyusun rekomendasi ke depan.

Lokakarya internal lantas dindaklanju dengan lokakarya nasional di Bali untuk mendokumentasikan pembelajaran bagi pengembangan keseluruhan program. Dua bulan kemudian BORDA, berdasar hasil diskusi dengan WSP-EAP Bank Dunia, menyepaka akan melanjutkan

kerjasama dengan Bappenas dalam mendukung dan memfasilitasi uji coba tahap berikutnya.

Pengaturan sumber dana

dari beragam pemangku kepenngan (pemerintah pusat/ Bappenas melalui Pokja AMPL, pemerintah daerah, BORDA, dan masyarakat) perlu diatur untuk menutupi biaya fasilitasi dan pembangunan fisik.

Pada saat itu, saya ditugaskan sebagai Direktur Wilayah BORDA, dan bersama dengan Bappenas, Departemen PU, wakil mitra LSM (Best, Bali Fokus, dan LPTP), termasuk pemerintah daerah, bersama-sama menyempurnakan desain program Sanimas, yang merupakan dasar bagi skema pelaksanaan skala nasional saat ini.

Apa perbedaan dalam keterlibatan BORDA antara tahap uji coba dengan tahap selanjutnya?

Sepanjang uji coba, BORDA bekerjasama dalam m proyek dari WSP-EAP yang berfungsi sebagai instusi pelaksana. Pada saat itu, kami mempunyai kebutuhan mengembangkan perangkat program. Ini merupakan kerja pionir dalam mengembangkan paket layanan yang menjadi jawaban berkelanjutan penanganan sanitasi bagi penduduk miskin perkotaan. Namun, uji coba tetap uji coba dan kami semua sadar akan hal itu, bahwa satu- satunya kesempatan meningkatkan layanan kebutuhan dasar sanitasi bagi penduduk miskin perkotaan dan mendukung komitmen pemerintah Indonesia dalam mencapai target sanitasi MDG adalah keka replikasi dan pelaksanaan skala luas dapat terlaksana. Keka itulah keterlibatan utama BORDA dimulai.

Sementara pada tahap diseminasi, BORDA tetap berkomitmen untuk menyumbang secara signifikan terhadap pembangunan sanitasi, khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah di Indonesia. Kami mengubah struktur kerjasama dari melaksanakan uji coba kepada menyelenggarakan diseminasi. Ini merupakan masa yang menantang bagi jejaring LSM kami. Diperlukan pengembangan standar pengelolaan berkualitas, pelahan

DOK. PRI.