• Tidak ada hasil yang ditemukan

kami memilik

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 120-124)

masalah

dalam

limbah tahu

BORDA

melewa sepuluh jenis penyaring yang berbeda-beda. Baru setelahnya dialirkan ke sungai.

Kini biogas itu sudah bisa dinikma oleh 29 kepala keluarga dari hasil 2400 kubik limbah tahu yang ada. Tiap kepala keluarga menggunakan dua tungku. Dengan kata lain ada 58 tungku kompor yang bisa memakai biogas tersebut. Gasnya dak kalah dengan gas LPG, bahkan saat kami datangi pada salah satu pemakai biogas tersebut warnanya apinya biru, nyaris tanpa warna merah, yang menandakan gas yang kotor. Untuk alat pengukur jumlah pemakaian tekanan gas memang dak ada.

Itulah yang oleh pihak KSM dan anggota yang memakainya dinamakan meteran tekanan. “Bila air berada di bawah garis nol, berar biogas masih kurang dan dak bisa digunakan,” ujar Ishadi mununjukkan skala manual di atas kompornya. Ia mengatakan, “Tidak ada ruginya memakai biogas. Jika terjadi kebocoran dak bakal meledak seper gas LPG, paling hanya bau yang dak sedap. Satu lagi bedanya biogas tetap harus menggunakan korek api untuk menyalakannya.”

Saat ditanyakan ngkat kepuasan, Ishadi mengatakan sangat puas dan irit. “Saya bisa nabung 50 ribu setelah pakai biogas ap bulannya. Bila memakai gas LPG yang 13 kg pengeluaran ap bulan mencapai 80 ribu,” ujarnya.

Pihak KSM Tirta Guna telah menyepaka di awal dengan para pemakai biogas dan pengusaha tahu yang membuang limbah untuk iuran perawatan dan biaya operasional bulanan. Para pemakai gas dikenakan Rp 30.000 sedangkan pembuat tahu dikenakan Rp 25.000. “Jumlah iuran berbeda karena, mereka yang

menyumbangkan limbah diberi keringanan, karena limbah itulah bahan dasar untuk biogas,” ujar Rudin.

“Uang yang kami dapat dalam sebulan itu sekitar Rp 830.000,” ujar Bambang selaku bendahara KSM Tirta Guna. Ia menambahkan lebih lanjut “Adapun uang itu kami pergunakan untuk upah operator Rp. 200.000 perbulan. Yang lainnya untuk kebutuhan biaya pertemuan-

pertemuan

serta untuk biaya tak terduga lainnya. Berar

yang tersisa dari iuran Rp. 530.000 ap bulannya.”

Walaupun hanya ga tempat dari delapan pembuat tahu yang bisa ditampung dan diolah, namun sudah menghasilkan yang lebih baik. Sosialisasi lingkungan makin dimasian. Lima tempat pembuat tahu yang dak bisa ditampung, kini dak lagi membuang limbah ke sungai, namun sudah dijual sebagai pakan ternak.

Kini KSM Tirta guna dak hanya fokus pada isu lingkungan. Kebutuhan masyarakat pun sudah mulai ikut diperhakan dan didukung sebagai

bentuk kontribusi pada masyarakat. “Saat pembuatan jembatan kami ikut memberikan bantuan material untuk pembuatan, uang itu kami dapat dari uang sisa bulanan pembayaran anggota. Selain itu saat pembangunan TPQ, kami ikut bantu walaupun semuanya dak begitu besar,” ujar Rudin yang dak mau mengucapkan jumlah

nominalnya. Kini aset KSM Tirta Guna selain Sanitasi pengolah gas juga memiliki tanah, untuk persiapan penambahan digester baru. Sedangkan digester yang lama sekarang sudah dipagari dan diberi pintu dengan besi. Begitupun dengan buku iuran pembayaran anggota juga sudah dibuatkan.

Kini warga sudah melupakan diri sebagai penyebab kegagalan kota Temanggung mendapatkan Adipura. Nyaris sepanjang obrolan kami dak ada lagi akan harapan itu, justru yang diharapkan adalah penambahan jumlah digester pembuat biogas.

Saya bisa

nabung

50 ribu

setelah pakai

biogas ap

bulannya...

ISLAH

S

aat menyusuri belakang Pondok Pesantren (PP) Nurul Ulum, kota Blitar, terlihat kamar mandi dan water closed (WC) berjejer. Tak kurang berjumlah 12 kamar mandi yang dilengkapi dengan WC. Hampir seap jam, pintu kamar mandi tertutup alias digunakan para santri membuang hajat besar. Apalagi jumlah santri PP Nurul Ulum hampir mencapai seribu orang yang berasal dari banyak daerah di Indonesia.

Dulu, sebelum ada Sanimas, nja dari ratusan santri PP Nurul Ulum itu dibuang begitu saja ke sungai. Bisa dibayangkan, berapa jumlah nja yang mengotori sungai ap harinya. Angka bisa makin membikin

cemas jika jumlah nja per hari itu diakumulasikan per

minggu,

per bulan atau per tahun.

Tapi itu dulu. Sejak 2007, fasilitas Sanimas sudah bisa beroperasi dan digunakan. Sistem yang dipakai adalah MCK Plus++. PP Nurul Ulum bukan tempat pertama di Blitar yang memiliki fasilitas Sanimas. Akan tetapi, PP Nurul Ulum adalah Sanimas pertama yang dibangun di lokasi pondok pesantren.

Apa yang terjadi di PP Nurul Ulum ini memang cukup mendesak dikembangkan di Blitar pada khususnya atau Jawa Timur pada umumnya. Sebagai provinsi yang terkenal sebagai basis Nahdlatul Ulama yang banyak mengembangkan pesantren, Sanimas bisa diandalkan sebagai salah satu medium

mengubah stereop pesantren sebagai tempat yang dak higienis.

Kan masih ada omongan yang

katanya kalau dak kena penyakit kulit dan gatal-gatal, ilmunya belum meresap, belum dianggap benar- benar santri,” kata Agus Madzin, pengasuh PP Nurul Ulum, sembari tertawa renyah.

Sebagai pesantren yang dikelola oleh para kyai dan pengasuh yang banyak berusia relaf muda dan berpikir terbuka, PP Nurul Ulum dak mengalami kesulitan untuk memahami konsep Sanimas. Para pengasuh mudah diberi pengeran bahwa konsep sanitasi konvensional yang membuang kotoran ke sungai itu dak ramah lingkungan.

“Seap pondok besar yang dihuni santri dengan jumlah besar, selalu punya persoalan dengan nja. Itu satu soal yang menjadi perhaan kami. Kami dipaksa untuk putar otak, mencoba mencari solusi guna

Sanitasi Para

Santri

mengatasinya,” tambah Baharuddin, salah seorang pengasuh pondok yang juga menjadi Ketua KSM Nurul Ulum yang menjadi penanggungjawab sekaligus pengelola Sanimas di sana.

Itu sebabnya PP Nurul Ulum amat bersemangat mengajukan diri sebagai kandidat penerima Sanimas. Strategi pengelolaan sanitasi yang lebih baik memang benar-benar menjadi kebutuhan mendesak. Semangat nggi dan faktor kebutuhan yang memang mendesak itulah yang membuat mereka bisa mengalahkan

ga kandidat lainnya dan terpilih sebagai penerima bantuan Sanimas pada 2006.

Sanimas memang sudah ditunggu- tunggu. Sudah lama para pengasuh memikirkan soal sanitasi ini, tapi dak tahu apa yang mes dilakukan, konsep dan strategi serta teknologi macam apa yang akan dikembangkan, serta kesulitan juga dalam soal pembiayaan. Sanimas, dengan bantuan dana dari pemerintah pusat dan daerah serta asistensi dan fasilitasi dari BORDA, menjawab semua kebutuhan itu.

Terbuk, setelah Sanimas beroperasi, ada banyak sekali manfaat yang berhasi dipek oleh PP Nurul Ulum. Dalam soal kesehatan lingkungan, tampak jelas bedanya. Lingkungan pondok dirasa jauh lebih bersih. Edukasi terus menerus yang dilakukan para fasilitator, para pengurus KSM dan prakk langsung

menggunakan fasilitas Sanimas juga membuat perilaku para santri menjadi lebih sehat.

“Ini hal yang bagus. Santri-santri kami dari banyak daerah, kebanyakan dari kawasan yang ngkat

pendidikannya masih rendah. Tiga persen di antara santri kami dari luar Jawa. Diharapkan, berkat pengalaman dengan Sanimas ini, mereka kelak bisa menularkan pemahaman dan pengeran mereka tentang sanitasi yang baik dan perilaku hidup yang lebih sehat,” tambah Baharuddin.

Aspek lain yang jelas-jelas menguntungkan adalah soal penghematan anggaran. Bayangkan, lanjut Badrudin, sebelumnya mereka harus secara berkala menyedot WC. Itu butuh biaya yang dak sedikit. Nah, seiring dengan perkembangan pondok yang kian tahun semakin banyak menerima santri, frekuensi penyedotan pun makin nggi. Sekarang, sejak Sanimas beroperasi, PP Nurul Ulum belum sama sekali melakukan penyedotan, sehingga anggarannya pun bisa dimanfaatkan untuk hal yang lain.

Salah satu alasan kenapa penyedotan itu masih belum dilakukan adalah karena nja itu dak hanya sekadar menumpuk begitu saja, tapi juga dimanfaatkan dan diolah untuk dijadikan biogas. Bahkan, menurut Baharuddin, biogas dari pengolahan nja di PP Nurul Ulum melalui teknologi Sanimas itu sudah keluar dan sudah bisa digunakan pada saat pengoperasian baru saja berjalan empat hari.

“Lebih irit. Dulu, per hari

sebelumnya kami pas menghabiskan sekitar 40 liter minyak tanah. Kini kami bisa mengandalkan biogas ini untuk memasak,” kata Anjarwa, wanita yang didapuk sebagai pemasak makanan bagi santri pondok. Makanan itu, tentu saja, dimasak untuk memenuhi kebutuhan makanan para santri.

Rencananya, jika teknologi

sudah memungkinkan, pengolahan nja para santri itu tak hanya akan menghasilkan biogas saja, tetapi juga menerangi ruangan-ruangan pondok. Harapannya, agar dak lagi bergantung pada listrik yang semakin mahal. Untuk sampai ke sana, mungkin masih butuh waktu. Tapi, sedaknya, satu langkah sudah dimulai.

Bukankah seribu langkah sekali pun harus dimulai dengan

satu langkah kecil?

B

ashori melangkah dengan santai menuju salah satu kamar mandi yang tersedia di fasilitas MCK Plus++ di Desa Panggung, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan. Ia tak menaikkan sarungnya, tak khawar jika sarung itu bisa terperciki najis yang membuatnya tak suci lagi untuk digunakan shalat.

“Di sini mes bersih, Mas,” ungkapnya dalam ba- hasa Jawa penuh keyakinan. Terlihat lantai keramiknya yang berwarna biru memang bersih dan mengkilap. Dua keset yang terlihat kering tanda sering digan membantu ngkat kebersihannya.

Lokasi MCK Plus++ di situ terbilang unik. Letaknya berada persis di tepi pantai. Kawasan ini bahkan dulu- nya adalah wilayah tambak. Memasuki akhir dekade 1970-an, barulah kawasan ini mulai diisi dengan ba- ngunan rumah.

Bangunan MCK Plus++ sendiri bahkan berada di atas perairan pantai dengan fondasi yang menancap di air laut. Ini juga salah satu faktor yang membuat pem- bangunan fasilitas Sanimas MCK Plus++ di situ sempat terhambat. “Pada saat menanam fondasi, kadang kita harus bekerja pada dini hari, karena harus menunggu air laut surut,” papar Arif Zaenuddin, fasilitator la- pangan dari LSM Best yang mendampingi warga dalam proses pembangunan Sanimas.

Fasilitas MCK Plus++ di desa Panggung ini layak dijadikan contoh bagaimana fasilitas Sanimas akan berjalan dengan baik jika diberikan pada masyarakat yang memang membutuhkan, bukan hanya sekadar menginginkan.

Mereka mengajukan diri sebagai calon penerima bantuan pembangunan Sanimas sampai ga kali. Ke sempatan pertama dan kedua gagal karena ka- lah bersaing dengan kandidat lainnya. Barulah pada kesem patan kega mereka terpilih sebagai penerima

Sanimas

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 120-124)