sejak tahun 90-an sudah berupaya terus mengembangkan prakarsa pemberdayaan masyarakat dengan berbagai praktek dan penterjemahannya masing-masing. Pemberdayaan dalam proyek Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) diterjemahkan yaitu: perempuan, laki-laki, orang kaya maupun miskin mampu mengatur hidupnya sendiri. Mereka dapat menentukan agendanya sendiri, menambah keterampilannya, meningkatkan kepercayaannya sendiri. Sementara dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), pendekatan pemberdayaan masyarakat menekankan pada aspek partisipasi dan kemandirian sehingga tercapai pembangunan berkelanjutan dalam 3 aspek kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan fisik
lingkungan. Dalam proyek Water Supply and Sanitation for Low Income Community (WSLIC), pemberdayaan diterjemahkan melalui Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Sejak penjajakan,
survey, perencanaan, penyusunan detail enginering design (DED), konstruksi hingga operasi dan pemeliharaan paska konstruksi dilakukan oleh masyarakat melalui kelembagaan setempat yang dibentuk masyarakat. Tentu semua proses di atas menggunakan fasilitator yang memfasilitasi dan mendorong prosesnya. Dalam program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), juga menerapkan prinsip pemberdayaan, menempatkan masyarakat sebagai sumber keputusan dan memilih teknologi sanitasi yang akan mereka bangun sendiri. Proses penyadaran secara kritis adalah menjadi tumpuan keberhasilan program STBM.
Ada pula yang melihat pemberdayaan lebih dari sekedar proyek yaitu pemberdayaan dimaksudkan untuk memampukan rakyat mempunyai posisi dan kekuatan tawar–menawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah posisinya. Kecenderungannya bahwa kendali berada di tangan rakyat diantara komunitas mereka.
Pemberdayaan masyarakat dalam kasus-kasus di atas sepertinya didefinisikan1 sebagai ‘peningkatan kapasitas perseorangan atau kelompok untuk mempengaruhi pengembangan (development) dan pilihan (hidup) dan mentransformasikan pilihan tersebut kedalam tindakan yang diinginkan dan kedalam hasil bagi pengembangan dari komunitas mereka’.
Dalam bahasa Inggris pemberdayaan adalah “empowering”, sehingga
pemberdayaan akan sangat berkaitan dengan Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD) dan Pengorganisasian Masyarakat atau Community Organizing (CO). Kedua pendekatan tersebut mengandung makna dan ciri yang berbeda.
Berdasarkan hal di atas, kita bisa melihat 3 karakter umum program- program pengembangan masyarakat: berbasis masyarakat (community-base) atau masyarakat sebagai pelaku utama (subyek) dalam perencanaan, pelaksana- an hingga pemantauan dan penerima manfaat dari program;
berbasis sumberdaya setempat (local resources-base), yaitu penciptaan kegi- atan dan pengembangannya dengan melihat aset sumberdaya setempat (alam, manusia, sosial, finansial, fisik/ infrastuktur) yang ada;
berkelanjutan (sustainable), yaitu program berfungsi sebagai penggerak awal pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan Masyarakat (community development) diartikan sebagai pemba- ngunan yang ditujukan kepada komu- nitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun LSM.
Seperti apa yang ditulis oleh Ginandjar Kartasasmita2 bahwa konsep pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-
based development). Memberdayakan masyarakat Community Organizing (CO) Community Development (CD)
Pengembangan lebih mengutamakan pembangunan
•
kesadaran kris dan penggalian potensi pengetahuan lokal komunitas.
Mengutamakan pengembangan komunitas
•
berdasarkan dialog atau musyawarah yang demokras.
Usulan komunitas merupakan sumber utama
•
gagasan yang harus dindaklanju secara kris, sehingga parsipasi rakyat dalam merencanakan, membuat keputusan dan melaksanakan program merupakan tonggak yang sangat penng. Bergerak dengan cara menggalang masyarakat ke
•
dalam suatu organisasi yang mampu menjangkau seluruh lapisan komunitas.
Suara dan kepenngan rakyat lebih utama daripada
•
kepenngan kaum elit.
Memaklumi ar penng pembangunan sarana-
•
sarana fisik yang dapat menunjang kemajuan komunitas, namun k-tekan pembangunan itu ialah pengembangan kesadaran komunitas sehingga mampu mengelola potensi sumber daya mereka.
Pengembangan yang lebih mengutamakan sifat
•
kefisikan masyarakat.
Mengutamakan pembangunan dan perbaikan
•
sarana-sarana sosial ekonomi masyarakat. Contohnya, pelahan mengenai gizi, penyuluhan KB, pembangunan WC, jalan raya, bantuan hibah, bantuan peralatan sekolah, dan sebagainya.
Lingkup pekerjaan melipu: peningkatan
•
pengetahuan, keterampilan, dan penggalian potensi-potensi sosial ekonomi untuk tujuan menyukseskan target yang sudah ditetapkan oleh satu pihak pemerintah atau LSM. Parsipasi dan usulan dari bawah pada
•
umumnya kurang didengar. Kalaupun didengar tetapi mendapat posisi pada nomor berikutnya, karena ada kepenngan dari pembawa program.
Pihak yang dideka untuk memulai kegiatan
•
CD itu antara lain elit masyarakat, aparat pemerintahan, dan pihak birokras lainnya. Tabel Perbedaan Ciri Community Organizing (CO) dan Community Development (CD)
Sumber: diolah dari catatan pelahan pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan yang dipimpin masyarakat oleh Mitra Samya, 2003-2006.
1. Krishna (2003) di dalam ‘Conceptual and Operational Links between Empowerment, Social Capital and Community Dreiven Development’
2. Dalam Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat, sebagai bahan kuliah pada Program Pascasarjana Studi Pembangunan, ITB.
adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat. Dengan kata lain
memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Mengapa Pembangunan Sanitasi Perlu Pemberdayaan
Secara spesifik jika kita mengamati fakta sanitasi di Indonesia terutama pada masyarakat pinggiran (urban- semi urban), kerap kurang mendapat perhatian serius dalam konteks penanganan, terutama karena masalah legalitas. Sehingga berdampak pada lambatnya peningkatan cakupan
pelayanan. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat perkotaan pinggiran yang kurang mampu dengan kondisi sanitasi perkotaan yang kurang memadai, mengindikasikan akan kebutuhan investasi yang besar.
Dalam kenyataannya untuk memperbaiki kondisi sanitasi di perkotaan, nampak peran masyarakat menunjukkan kecenderungan meningkat ketimbang sebelumnya yang lebih pada inisiatif pemerintah.
Di sisi lain, teknologi inovasi sanitasi perkotaan yang
cenderung
mahal dan terbatas, mengakibatkan lambatnya perubahan kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Apapun alasannya untuk kepentingan keberlanjutan
pembangunan sanitasi dan peningkatan keberdayaan masyarakat, maka
perubahan paradigma dari supply-driven ke demand-driven tidak bisa ditawar lagi. Walaupun dalam penerapannya masih tahap awal dan memerlukan komitmen yang kuat dari para
pemangku kepentingan. Sudah saatnya bahwa pengetahuan, perilaku dan motivasi para pengambil keputusan tidak lagi memandang persoalan
sanitasi sebagai persoalan teknis, sehingga aspek pemberdayaan tidak dianggap prioritas.
Karena itulah lahir yang namanya Sanitasi Berbasis Masyarakat (SBM). Satu prakarsa untuk mengembangkan program sanitasi dengan ide dari bawah. Inisiatif harus dimulai dari masyarakat pelaku dan dilakukan secara sporadik, karena masyarakat menghadapi persoalan nyata, bukan di atas kertas saja. Dukungan berbagai pihak seperti LSM/Ormas, swasta dan perguruan tinggi mulai digalakkan.
SBM mensyaratkan adanya
kemauan masyarakat untuk membayar (willingness to pay), gerakan gotong royong dan kebersamaan secara kolektif melalui kelembagaan yang kuat. Termasuk menetapkan bersama siapa pengguna dan siapa pengelola. Karena berbasis masyarakat, maka dukungan dari pihak luar (pemerintah, donor dan swasta) seharusnya datang kemudian.
Program Sanitasi Berbasis Masyarakat mengindikasikan bahwa program sanitasi hendaknya dapat memberikan stimulasi terhadap perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dalam masyarakat. Karena diketahui bahwa setiap warga masyarakat mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan sanitasi yang memadai, tidak terkecuali masyarakat miskin. Keterlibatan mereka yang sehari-hari bergumul dengan urusan sanitasi akan meningkatkan keberlangsungan sarana yang dibangun. Implikasinya bahwa akuntabilitas dalam proses perencanaan melibatkan pendekatan yang transparan dan terbuka adalah tuntutan yang penting dijalankan.
Pemerintah sudah selayaknya menempatkan diri berperan sebagai fasilitator, terutama untuk memberdayakan masyarakat. Tidak kalah pentingnya bahwa praktek pemberdayaan memerlukan partisipasi masyarakat secara aktif pada setiap tahapan proses pembangunan sarana sanitasi, sehingga menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dikembangkan (enabling). Potensi tersebutlah yang penting untuk diperkuat (empowering) dalam mendorong perubahan melalui stimulasi program sanitasi berbasis masyarakat.
Kita semua sadar bahwa pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah masyarakat tidak dijadikan obyek dari pembangunan sanitasi, tetapi menempatkan masyarakat sebagai subyek (pelaku utama) dari pembangunan sanitasi mereka sendiri.
Sesuai dengan pendapat Ginanjar Kartasasmita bahwa upaya tersebut harus terarah (targeted) yang secara populer disebut pemihakan. Artinya bahwa pembangunan sarana sanitasi perlu memiliki sasaran yang benar dengan kerangka kerja tujuan yang jelas. Dalam pemantauan dan evaluasi secara konsisten harus bisa menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat dalam menginisiasi dan melakukannya.
Konsep Pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat, sejak 2003 melalui Pokja AMPL sudah melahirkan kebijakan nasional. Dalam kebijakan tersebut secara tegas diuraikan bahwa karakteristik yang paling menonjol dari pengelolaan berbasis masyarakat adalah kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan atas seluruh aspek yang menyangkut air minum dan atau penyehatan lingkungan berada di tangan anggota masyarakat mulai dari identifikasi kebutuhan pelayanan, perencanaan tingkat pelayanan yang diinginkan, perencanaan teknis termasuk pilihan teknologi desain professional, pelaksanaan pembangunan hingga pengelolaan operasional. Sehingga tidak bisa ditawar lagi bahwa pembangunan sanitasi berbasis masyarakat memerlukan proses pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dalam Sanimas adalah salah satu wujud praktek dari kebijakan tersebut.
Sanimas sebagai Salah Satu Contoh Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Sanitasi Perkotaan
Tahun 2003–2005 adalah masa ujicoba program Sanimas di 7 Kabupaten/Kota. Ujicoba Sanimas dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan para pihak (LSM setempat dan Pemerintah) melalui proses pemberdayaan. Proyek
ini tidak semata untuk menyediakan sarana dan prasarana, tetapi juga peduli terhadap perubahan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat.
Sanimas memang bukan sekedar membangun atau menyediakan sarana, tetapi bagaimana pengoperasian dan pemeliharaan paska konstruksi mampu dilakukan masyarakat secara mandiri tanpa menciptakan ketergantungan. Tentu harus menggunakan fasilitator yang benar-benar mumpuni dan memiliki sejumlah keterampilan dan kemampuan. Seperti apa yang ditulis oleh Sutoro Eko3 bahwa pemberdayaan harus dibangun secara profesional. Teori dan praktek dibangun pada saat yang sama. Para pekerja pemberdayaan tidak hanya butuh “belajar” keterampilan, tetapi juga “mengembangkan” keterampilan tersebut. Sehingga transformasi kemampuan terjadi ke masyarakat.
Bagaimana Pemberdayaan Berjalan dalam Program Sanimas?
Proses pemberdayaan bisa terlihat ketika prosedur perencanaan ditetapkan sebagai tahapan awal. Tahapan awal dimaksud adalah penetapan lokasi sasaran. Penetapan berdasarkan pertimbangan jumlah permukiman padat yang memenuhi kriteria dengan cara melakukan survei pengamatan langsung di lapangan ke tempat- tempat yang sekiranya membutuhkan bantuan dalam penyediaan sarana dan
prasarana sanitasi. Dalam konteks ini, tidak ada unsur pemberdayaan yang diterapkan. Kemudian ketika survei lanjutan, memang hasilnya juga mempertimbangkan kepastian dari seluruh warga yang merupakan calon pengguna sarana Sanimas. Dalam hal ini, warga hanya menjadi salah satu referensi tentang penetapan lokasi Sanimas karena selama survei harus mempertimbangkan:
Kebutuhan akan MCK (lokasi yang 1.
akan dipilih, dilihat masyarakatnya membutuhkan sarana sanitasi MCK atau tidak?)
Kebiasaan (perilaku masyarakat 2.
sehari-hari di sekitar lokasi dalam masalah membuang limbah rumah tangganya)
Kepadatan penduduk (difokuskan 3.
pada tingkat kepadatan penduduk yang ada, sehingga dari situ akan diketahui perbandingan jumlah fasilitas yang telah ada. apakah sudah mencukupi atau tidak?) Tanah atau lahan kosang 4.
(difokuskan pada ketersediaan lahan yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan Sanimas). Survei di atas belum bisa
menetapkan lokasi secara resmi, maka dilakukan pendalaman survei. Langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat, yaitu dengan memberikan informasi bila proyek ini dilakukan. Pada pendalaman survei ini hal yang merupakan tujuan dasar adalah mencocokkan semua persepsi yang telah dibuat pada saat melakukan peninjauan, dengan meminta atau mendengar penjelasan langsung dari masyarakat untuk seleksi penilaian kelayakan penerima program Sanimas. Sebagai contoh, jika pada tahapan survei, terdapat suatu lahan kosong yang menurut pihak lembaga dapat digunakan untuk lokasi pembangunan, ternyata
setelah di cek langsung dengan menanyakan ke masyarakat,
3. Dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai materi diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa yang diselenggarakan Badan Diklat Propinsi Kaltim Desember 2002.