• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya,

Departemen Pekerjaan Umum)

Pelaku Tahap III

Program Nasional (2006-...)

Saya Ingin

Sanimas Lebih

Masif

B OWO

rumah] dan MCK. Hanya saja itu dak maksimal. Saya berpikir ini satu lubang yang harus saya isi. Kalau saya hanya bikin 7 lokasi, untuk apa? Makanya saya ingin ini lebih masif lagi. Saya pernah bilang ke Pak Basah Hernowo (Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas saat itu. Red), saya mau 100. Kalau cuma tujuh itu dak akan ada gaungnya.

Orang banyak yang terkejut dan pesimis. Saya sendiri dianggap ambisius. Tapi ini tetap dijalankan dan berjalan terus dari tahun ke tahun. Ada krik yang saya terima karena ada juga memang Sanimas yang dak berjalan secara maksimal. Tapi itu dak berar membuat kita harus mundur.

Apa yang Anda lakukan agar replikasi Sanimas ini juga bergaung?

Banyak yang akhirnya meniru apa yang sudah

dilakukan. Saya justru senang dengan itu. Misalnya USAID kan bikin MCK Plus++ juga, yang dulu

dikunjungi Hillary Clinton saat berkunjung beberapa waktu lalu dalam kapasitasnya sebagai Menlu Amerika. Itu membuat konsep Sanimas ini jadi punya gaung. Saya sendiri terus berusaha mempromosikan ini. Kalau ada acara-acara tertentu, saya selalu memasangkan poster-poster, termasuk jika ada pejabat-pejabat nggi yang datang. Dari situ mereka mulai tahu.

Dari situ saya bisa mengajak banyak orang lain untuk sama-sama terlibat dalam pengembangan Sanimas ini. Terakhir saya bekerjasama dengan organisasi-organisasi wanita di Indonesia, dari Kowani sampai istri anggota kabinet Indonesia bersatu. Kami merasa ini cukup penng karena persoalan sanitasi memang membutuhkan banyak tangan untuk bekerja.

Bagaimana capaian dari upaya pengembangan sanitasi dalam kerangka target MDG 2014?

Sebenarnya sumbangan Sanimas untuk pencapaian tujuan MDG itu dak terlalu besar, tapi ini memang harapannya bisa menjadi efek bola salju. Kita lagi memikirkan bagaimana itu juga diadopsi dalam DAK Sanitasi. Ini masih terus diperjuangkan. Saya masih terus mengutarakan agar pembangunan sanitasi dengan dana

DAK itu bukan bangun fisiknya saja, harus disertakan pemberdayaan masyarakatnya.

Tidakkah saat replikasi Sanimas itu rentang kendali dan monitoring juga menjadi lebih susah karena tersebar di lokasi yang sangat banyak?

Saya menyadari kalau replikasi Sanimas berskala massal itu rentan mengurangi kualitasnya, karena

jumlahnya yang sangat banyak, sehingga monitoring dan rentang kendali

pun jadi sangat luas, belum lagi kemungkinan ada tahapan- tahapan yang belum maksimal tapi langsung dilonca. Salah satu upaya kami untuk mengurangi kemungkinan itu adalah dengan membuat pelahan bagi calon fasilitator. Untuk para fasilitator pun akan ada pelahan untuk

terus meningkatkan skill dan kemampuan mereka. Setelah mereka di lapangan, saya meminta LSM yang jadi partner kami, terutama BORDA, untuk mengawasi di lapangan. Tapi BORDA sendiri kan dak mungkin mengawasi semuanya karena mereka juga punya keterbatasan. Itulah sebabnya kami menggunakan konsultan untuk mengawasi k-k pembangunan Sanimas di lapangan. Kita juga punya Satker-satker (satuan kerja. Red) di masing-masing wilayah. Dengan itu mudah- mudahan situasi dan perkembangan di lapangan bisa dikendalikan, bersama LSM yang jadi partner kita dan para konsultan.

Kenda

sudah

direplik

asi dan

menjadi pr

o-

gram ut

ama

PU, kami t

etap

dak mungkin

melak

ukann

ya

sendiri

i

PU

Bagaimana dengan keterlibatan instansi lain di luar PU?

Kenda sudah direplikasi dan menjadi program utama PU, kami tetap dak mungkin melakukannya sendiri. Bappenas, Depdagri dan instansi lain tetap dibutuhkan. Masing-masing punya keahliannya sendiri-sendiri dan harus bekerja sama, karena persoalan sanitasi kalau ingin diselesaikan secara komprehensif ya harus melibatkan banyak pihak. Saya kalau mau mengumpulkan para bupa, misalnya, ya harus menggandeng Depdagri. Itu salah satu contoh saja.

Dalam Sanimas, kami dak mencoba membangun keharusan atau kesan bahwa karena ini program PU maka di kabupaten atau kota itu harus dinas PU juga yang menjadi leading sector-nya. Di masing-masing kota

dan kabupaten bisa beda-beda siapa leader-nya. Tapi kalau sudah menyangkut sanitasi dengan dana DAK PU, memang ada sedikit kesulitan. Jangan sampai karena ini dana DAK PU maka orang-orang yang ahli dari instansi lain jadi dak bisa dilibatkan.

Saya akan meminta bupa atau walikota agar pengerjaan sanitasi dengan dana DAK PU pun tetap bisa melibatkan orang-orang ahli dari instansi lain. Semacam kerja-kerja fungsional yang bukan struktural, seper ad hoc gitu kira-kira. Lain soal kalau di ap kota atau kabupaten sudah ada Pokja, tapi dari semua kabupaten atau kota kan belum semua punya Pokja.

Selain lintas instansi dan departemen, Sanimas juga menggandeng LSM, terutama BORDA. Bisa diceritakan bagaimana kerja sama ini dimulai? Adakah yang menarik?

Pengalaman dengan BORDA itu mula-mula karena memang kita membutuhkan mereka. Direktorat

Pengembangan Penyehatan Lingkungan dan Permukiman itu kan baru terbentuk, saya sendiri dulu praks diangkat masih sendiri, belum ada kantor sendiri, dan lain-lain. Karena itulah kita membuka diri untuk membangun kerja sama dengan mitra yang mungkin tertarik.

Dan waktu itu yang pertama kali merespons adalah BORDA. Kalau yang merespons pertama LSM lain mungkin akan berbeda. Dan saya cek ke Jerman, mereka reputasinya baik. Dan BORDA memang sangat menjaga komitmen. Dulunya kita komitmen dan saling percaya, ya sudah, langsung jalan. MoU baru per lokasi.

Kita dak menutup kemungkinan untuk bekerjasama dengan LSM lain, dak masalah itu. Kita juga sudah ajak beberapa yang lain, tapi sukar karena memang belum ada kesepahaman. Kita ajak LSM tertentu, tapi mereka dak mau keluar dari lokasi utama mereka, misalnya di NTT saja, itu menyulitkan. Kadang ada LSM yang dak mau mengubah metode kerja mereka yang sayangnya dak bisa kami lakukan karena kami terkait dengan pelbagai aturan birokrasi. Mereka dak mau menyesuaikan dengan kami yang memang dibatasi oleh sejumlah peraturan.

BORDA amat membantu dan mereka memahami persoalan itu. Mereka fleksibel dan dak kaku, sehingga ini sangat membantu kami yang selalu berusaha bekerja sesuai koridor dan aturan main yang berlaku. Padahal kami membutuhkan partner LSM selain BORDA, karena hasilnya berbeda kalau kita outsourcing dengan para konsultan.

Di ngkat pusat kan ada Pokja AMPL yang memainkan peran besar di ngkat koordinasi lintas departemen dan instansi. Bagaimana menurut bapak? Apa dak sebaiknya pola serupa juga diterapkan di daerah?

Tentu saja Pokja AMPL sangat berperan, kalau dak memang akan banyak kendala koordinasi dan hambatan birokrasi yang sifatnya struktural. Untuk itulah ke depannya memang kita berharap hal itu pula yang akan berkembang di daerah. Sekarang kan ada sekitar 80 Pokja di daerah, tahun 2010 kita harapkan sudah ada sekitar 120-an Pokja.

Di daerah sendiri belum semua para pemimpin daerah punya pemikiran dan pemahaman yang merata soal penngnya sanitasi. Kebanyakan daerah

yang punya concern terhadap upaya memecahkan persoalan sanitasi ya di daerah yang pernah mengadopsi Sanimas atau kota/kabupaten. Atau kota dan kabupaten yang masuk ke dalam Program Percepatan Sanitasi Permukiman (PPSP).

Apa lagi yang coba dilakukan untuk terus mendorong isu sanitasi ini agar bisa lebih punya gaung?

Kita sendiri akan membuat semacam jambore sanitasi. Kita akan undang tokoh-tokoh dan orang-orang yang terlibat dalam program sanitasi. Dari mulai

para pengurus masyarakat atau KSM, para fasilitator, sampai para bupa atau walikota. Ini untuk membangun pengeran yang sama mengenai persoalan sanitasi. Supaya mereka tahu komitmen pemerintah itu besar untuk mengentaskan soal sanitasi. Tahun lalu kita juga membuat jambore yang sama tapi untuk para pelajar. Dari situlah kami ingin mengembangkannya tahun ini menjadi lebih besar.

Dari situ saya berharap akan ada denyut

yang berskala nasional mengenai persoalan sanitasi. Kita ingin membangkitkan kembali kegiatan-kegiatan posif, seper gerakan jumat bersih pada masa lalu. Kita ingin ada gerakan-gerakan periodik, denyut-denyut sanitasi yang berjalan terus, yang akan memuncak pada konferensi nasional sanitasi. Nah, jambore ini sebagai k awal.

Kami juga sudah menyiapkan program-program yang menindaklanju program sanitasi berbasis masyarakat seper Sanimas. Kita sedang menyiapkan Sanitary Improvement Program [SIP] yang akan mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas sanitasi di rumah-rumah. Awalnya dak apa-apa rumah-rumah itu jambannya masih sederhana, dak ada sepc-tank-nya, dindingnya mungkin cuma kain saja.

Melalui SIP, kita akan membantu masyarakat untuk memperbaiki kualitas jamban di masing-masing rumah. Innya kita mengharapkan ada improvement. Kita tentu saja akan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan yang punya sejumlah program kampanye hidup bersih yang jangkauannya individual, seper kampanye cuci tangan, dan lain-lain.

PU sudah menggarap replikasi Sanimas sampai di ratusan kabupaten dan kota. Apakah ada imbasnya dalam isu sanitasi? Bagaimana perhaan banyak

kalangan terhadap sanitasi, misalnya Legislaf? Teman-teman di Senayan [parlemen]

sudah mulai memiliki

ketertarikan dengan persoalan sanitasi. Dulu ini bukan isu yang menarik. Sempat ada audiensi dengan anggota DPR mengenai soal sanitasi, termasuk pengembangan Sanimas. Waktu itu ada anggota dewan yang

mempertanyakan kenapa Pemda/Pemkot harus sharing pembiayaan. Tampaknya teman-teman di dewan sudah mendengar bahwa sharing yang diberikan oleh pemkot/ pemkab itu lebih besar.

Kemudian saya jelaskan soal konsep Sanimas ini, yang memang konsepnya boom-up, berbasis

masyarakat dan memang sudah menjadi program daerah. Seharusnya daerah itu malah 100 persen

dalam pembiayaannya. Mereka kan harus bekerja keras untuk menuntaskan target memenuhi

MDG, termasuk dalam soal buang air besar sembarang. Nah, dana yang diberikan pusat

itu dak lebih sebagai smulan saja.

Arnya, sudah mulai ada perhaan dari Dewan terhadap isu sanitasi. Kalau dulu kan apa-apa yang ditanyakan ke PU itu adalah jalan-jalannya bagaimana, saluran irigasinya bagaimana, jembatan Suramadu, dan infrastruktur- insfrastruktur besar yang kasat mata dan menonjol.

Terkait regulasi, apakah PU sedang menyiapkan semacam regulasi sengkat UU yang ada kaitannya dengan sanitasi?

Ada. Kita sedang menyiapkan kajian akademis mengenai RUU Sanitasi. Kita sudah beberapa kali membuat workshop. Sebenarnya dra-nya sudah mulai kelihatan. Teman-teman di DPR tampaknya lebih suka islah ”sanitasi”, karena islah itu lebih populer. Padahal secara akademis lebih tepat ya ”air limbah”. Nan kita bandingkan mana yang lebih tepat. Kita harapkan 2012 ini sudah akan dibahas. Kalau sekarang sih statusnya baru terdaar. Dewan tampaknya akan lebih memprioritaskan lebih dulu revisi sejumlah UU, seper UU Permukiman. Tapi kalau dibutuhkan, kita siap saja maju pada 2011.

Apa yang kira-kira masih perlu dingkatkan dari pengembangan Sanimas?

Saya masih berpikir Sanimas ini masih terlalu mahal. Sekarang memang sudah mulai turun. Awalnya kan itu bisa sampai 400 juta lebih, sekarang pelan-pelan mulai ditekan menjadi lebih rendah lagi, sampai ada yang sekitar 200an juta. Tapi memang dak bisa juga pembiayaannya itu ditekan sampai minimal karena standar Sanimas itu nggi. Ada sejumlah aspek teknis pembangunannya yang dak bisa ditawar-tawar, misalnya untuk membangun instalasi pengolahan limbah agar bisa menghasilkan biogas.

Kita

sedang

menyiapk

an

kajian

akademis

mengenai

RUU Sanit

asi

Bali, tepatnya Denpasar, sudah mengembangkan Sanimas sejak tahap pertama atau ujicoba pada 2003. Bagaimana keterlibatan PU di Bali terkait pengembangan Sanimas?

Sanimas memang sudah dikembangkan sejak 2003, dimulai dari kawasan Pucuk Sari, Ubung, Denpasar. Kawasan itu dak jauh dari lokasi terminal terbesar di Bali. Tapi Dinas PU sendiri baru terlibat secara penuh sejak 2006, saat Sanimas mulai direplikasi. Mulai 2009, keterlibatan PU makin besar dalam pengembangan sanitasi, terutama setelah ada DAK. Itu akan terus berlanjut pada 2010 ini. Sekarang, untuk pengembangan sanitasi di perkotaan ini, menjadi wilayah kerja

Pengembangan Infrastruktur Metropolitan yang berada di bawah Sub Direktorat Pembinaan Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Dinas PU Bali.

Apa yang membuat Bali, khususnya Denpasar, bisa dibilang cukup akf menggarap persoalan-persoalan sanitasi?

Saya dak tahu persis, mungkin Bappeda Bali lebih tepat untuk menjawabnya. Tapi mungkin karena soal

sanitasi, persampahan dan drainase itu dirasa penng untuk menjaga kualitas lingkungan terkait status Bali sebagai tujuan pariwisata berskala internasional. Susah untuk menjaga reputasi Bali sebagai kawasan turisme kalau lingkungannya kumuh dan dak sehat. Itu sebabnya di sini soal sampah, drainase dan limbah itu digarap secara seimbang.

Dari sembilan daerah kota/kabupaten di Provinsi Bali, apakah semuanya sudah mengembangkan Sanimas? Kalau belum semua, daerah mana saja yang sudah mengembangkan Sanimas?

Belum, belum semua daerah di Bali sudah

mengembangkan Sanimas. Baru ga kabupaten dan satu kota yang sudah melakukannya yaitu kota Denpasar, kabupaten Tabanan, kabupaten Gianyar, dan kabupaten Buleleng.

Menurut Anda, dari semua yang sudah mulai mengembangkan Saminas, mana yang bisa dianggap bagus dan baik?

Saya kira kita harus