• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanimas memang

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 177-182)

bukan sekadar

membangun atau

menyediakan

sarana

lahan kosong tersebut tidak dijual, dan lain sebagainya. Proses pemberdayaan jelas nampak bahwa masyarakat menjadi sumber informasi dan ini memberi peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya karena masyarakat akan menjadi sadar atas potensi mereka dan digunakan oleh proyek dalam mengambil keputusan.

Tahap penting dalam memulai membangun kesadaran adalah proses sosialisasi. Penyadaran dan sosialisasi dilakukan di Kelurahan setempat sebagai calon penerima program Sanimas. Sementara proyek boleh mengklaim tentang adanya rasa ketertarikan dari masyarakat terhadap program yang ditawarkan. Sehingga diadakan pertemuan antara perwakilan masyarakat dengan para pelaku baik di pusat maupun daerah. Prosesnya difasilitasi oleh kelurahan setempat.

Masyarakat mulai mendapat penjelasan tentang maksud dan tujuan pembangunan sarana Sanimas di lokasi tersebut, prosedur perencanaan, kerugian yang ditimbulkan jika tidak terdapat sarana Sanimas, dan segala aspek teknis dan non teknis yang nantinya akan menunjang berjalannya proyek

Sanimas. Dalam pertemuan ini, pihak proyek

mengharapkan masyarakat ikut berpartisipasi dalam menjaga sarana dan

prasarana Sanimas, dari sebelum, saat, dan setelah Sanimas dibangun dan terciptanya lingkungan yang sehat. Sangat jelas bahwa masyarakat diberi informasi untuk kemudian diminta mengambil keputusan dan posisi dalam pelaksanaan program Sanimas nantinya.

Dalam pemberdayaan yang ditulis oleh Sutoro Eko, bahwa pada

dasarnya “orang luar” jangan

sampai berperan sebagai “pembina” atau “penyuluh”, melainkan sebagai “fasilitator” terhadap proses pemberdayaan masyarakat. Fasilitator dalam hal ini adalah pihak yang menyediakan ruang dan kemudahan bagi masyarakat untuk mengambil keputusan dan memberdayakan dirinya. Masing-masing elemen dalam Sanimas nampak memahami dan menghargai kepentingan maupun perbedaan satu sama lain. Pemberdayaan tersebut dimaksudkan agar masing- masing unsur semakin meningkat kemampuannya, semakin kuat, semakin mandiri, serta memainkan perannya masing-masing tanpa menganggu peran yang lain.

Karena dalam pemberdayaan, masyarakat harus berperan aktif dalam pelaksanaan konstruksi, maka tahap selanjutnya adalah membentuk

komite atau panitia pembangunan Sanimas. Seluruh anggota panitia tersebut adalah masyarakat sendiri. Tugas pokok dari panitia ini adalah untuk mengumpulkan dana kontribusi masyarakat, pengerahan tenaga kerja, pengadaan dan pengamanan material. Kelompok inilah yang akan mengkoordinasikan jalannya proyek dan juga membahas bentuk pengolahan seperti apa yang diinginkan, dengan didampingi tim dari LSM, sebagai

konsultan yang membantu masyarakat dalam memilih teknologi pengolahan, fasilitas, dan sarana-sarana sanitasi yang diinginkan. Jelas bahwa mobilisasi potensi sumberdaya dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan konsep dasar Sanimas yang didesain untuk memberdayakan masyarakat miskin perkotaan. Harapannya bahwa mereka dapat memilih sendiri program sanitasinya, menyusun rencana aksi, membentuk kelompok, mengelola pembangunan fisik hingga mengelola operasi dan pemeliharaannya.

Setelah masyarakat siap menentukan bentuk pengolahan yang akan

dibangun, maka selanjutnya dilakukan tahap pembangunan dan pemeliharaan. Tahap ini sangat membutuhkan peran serta masyarakat. Segala aspek tentang waktu hingga siapa yang menjadi pekerjanya adalah tanggung

jawab panitia. Sedangkan LSM memberikan disain perencanaan bangunan yang telah disepakati, mengawasi dan mengendalikan perkembangan pembangunan di lapangan setiap hari.

Ketika masyarakat harus menjalankan peran-peran yang memerlukan keterampilan, maka program Sanimas memfasilitasi dengan berbagai bentuk pelatihan. Bentuk pelatihan adalah untuk memberikan pengetahuan tentang tata cara pengoperasian Sanimas, manajemen keuangan, peraturan yang ditetapkan oleh lembaga, dan semua hal teknis. Hanya saja untuk pelatihan program Sanimas diberikan kepada panitia paska konstruksi yang diharapkan untuk menerapkannya kepada masyarakat. Itu artinya bahwa setiap langkah pemberdayaan harus selalu memuat unsur edukasi atau pendidikan termasuk transformasi. Kemudian orientasinya selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan atau keberlanjutan.

Fakta-Fakta Hasil Study Outcome Sanimas di 7 kota Lokasi Uji Coba Sanimas Tahun 2003-2005

Selama masa konstruksi bangunan,

pembagian kerja antarpara pemangku kepentingan nampak cukup efektif. Pembagian kerja ini sesuai prinsip pemberdayaan bahwa para pemangku kepentingan berada dalam posisi setara yang tumbuh bersama melalui proses belajar bersama. Kelembagaan yang dikembangkan Sanimas sangat dikenal warga seperti pengelola yang dalam hal ini disebut operator. KSM yang menjadi kelompok pengelola sarana mendapatkan legalitas dari kelurahan setempat dan sampai akte notaris tahun 2003 seperti yang terjadi pada KSM Pucuk Sari Selatan Kelurahan Ubung- Denpasar.

Aturan dalam organisasi adalah salah satu perangkat lain dalam pemberdayaan. Jika pemberdayaan benar-benar terjadi maka masyarakat akan mengikuti aturan apa yang ditetapkan bersama dan mengetahui perkembangan apa yang terjadi. Dalam Sanimas pelayanan dibuat terbuka, sarana dilengkapi dengan papan informasi yang berisi aturan PHBS dan tarif penggunaan. Penegakan aturan yang terkait dengan penegakkan hukum dalam praktek PHBS masih mengalami hambatan. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan praktek PHBS, nampak masih sulit merubah kebiasaan para ibu agar membuang kotoran/tinja bayi ke jamban/toilet. Alasan yang ditemukan karena belum adanya teguran bagi mereka yang membuang kotoran bayi

di sembarang tempat. Memang tidak ada aturan khusus yang memberikan batasan untuk itu. Kebiasaan para ibu/orang tua melakukan perilaku buruk tersebut masih terjadi, sebagian diantaranya karena malas masuk ke toilet, apalagi ke MCK yang bagi sebagian warga perlu waktu dan jarak.

Dalam panduan proyek Sanimas, kelembagaan di tingkat masyarakat terdiri dari 2 yaitu panitia pembangunan yang bertanggung jawab dari tahap persiapan sampai konstruksi dan Badan Pengelola yang bertanggung jawab pada paska konstruksi untuk pengoperasian dan perawatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Fakta di lapangan menunjukkan kelembagaan Sanimas pengelola paska konstruksi dikembangkan dalam bentuk

Kelompok Swadaya masyarakat (KSM). Pengurusnya rata-rata didominasi tokoh dan elit RT dan RW setempat.

Sangat disayangkan memang bahwa kelembagaan ini hanya aktif pada masa konstruksi yang masih dalam bentuk panitia pembangunan, sehingga pertemuan rutin tidak pernah dilakukan lagi. Tidak ada perencanaan paska konstruksi dan kinerja pengurusnya mulai mengendor. Walaupun masih ada yang aktif yaitu operator yang umumnya adalah ketua. Itupun operator aktif jika insentif yang diterima tidak pernah terlambat. Seperti apa yang terjadi di Kelurahan Balowerti-Kediri, kinerja operator semakin menurun karena insentifnya

sering tertunda.

Proses pemberdayaan kelembagaan perlu mendapat perhatian serius untuk menghindari kesan bahwa KSM hanya dibentuk sebagai prasyarat proyek. Pembentukan KSM tidak harus “dipaksakan” dengan cepat sebelum masyarakat calon pengguna merasa membutuhkan kelembagaan tersebut. Peran LSM pendamping yang penting dan harus berkompetensi dalam memberdayakan kelembagaan tersebut. Dalam proses pemberdayaan, fasilitator pendamping tidak sekedar memahami keterampilan teknis semata, tetapi jauh dari itu harus mampu mengembangkan kemampuan analisis, kesadaran kritis, pengalaman membangun proses belajar secara partisipatif dan inovatif, mau belajar dari pihak lain dan intuisi serta mengembangkan kecerdasan emosional.

Kesadaran lain yang dibangun dalam proses pemberdayaan Sanimas adalah tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Perilaku BAB di jamban sehat, menutup makanan, minum air yang sudah dimasak, memasak dan minum air bersih adalah kebiasaan yang sudah sering dilakukan oleh komunitas Sanimas yang berkategori masyarakat miskin kumuh perkotaan. Ini menjadi bukti bahwa perubahan adalah bagian penting yang harus dicapai dalam proses pemberdayaan masyarakat. Proses pemberdayaan dalam Sanimas dibangun dengan pendekatan partisipatif. Suara dan pilihan masyarakat sangat diperhatikan seperti yang terjadi di Kelurahan Miji-Mojokerto. Hasil studi mengungkapkan bahwa suara dan keputusan perempuan

ternyata menjadi perspektif dalam menentukan jenis kloset yang

digunakan sehingga aman dan nyaman untuk BAB bagi perempuan hamil dan manula.

Sanimas juga melahirkan rasa nyaman sosial, misalnya dalam relasi antarwarga semakin baik, tidak saling melihat ketika BAB dan jika mau BAB tidak repot lagi. Harga diri keluarga menjadi lebih baik karena tidak malu jika tamu ingin BAB. Forum silaturahmi di masyarakat-pun semakin bertumbuh.

Perbedaan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Sanimas dan Konsep yang Umum di Indonesia

Apa yang terjadi di Kota Mojokerto pada Oktober 2009 di satu proyek sanitasi melalui DAK 2009 sebesar Rp. 2,4 milyar yang menuai kritik masyarakat (Jawa Pos, 13 Oktober 2009). Hal tersebut terjadi karena masyarakat sendiri membandingkan dengan sanitasi yang dibangun melalui proyek Sanimas di kota yang sama. Artinya bahwa Proyek DAK yang membangun 6 unit jamban tidak melibatkan masyarakat sejak sosialisasi perencanaan hingga pelaksanaan dan mulai menampakkan tanda-tanda bahwa masyarakat tidak memiliki proyek tersebut. Sehingga menimbulkan kritik masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut menjadi indikator bahwa pemberdayaan masyarakat Sanimas telah melahirkan kesadaran kritis masyarakat.

Implikasinya adalah mengancam keberlanjutan dari sanitasi DAK tersebut dan akan menciptakan ketergantungan, itu yang terjadi pada sanitasi tanpa pemberdayaan.

Ketika pemberdayaan dibentangkan dari tingkat psikologis-personal (anggota individu masyarakat) sampai ke tingkat struktural masyarakat yang dibangun secara kolektif, maka

pemberdayaan masyarakat Sanimas menampakkan tanda- tanda

berjalan pada kedua level tersebut. Seperti yang ditulis Sutoro Eko yang diolah dari berbagai sumber, menunjukkan bagan dimensi dan tingkat pemberdayaan seperti berikut:

Hasil studi Mitra Samya tahun 2005 menunjukkan bahwa internaliasi pendekatan Sanimas, walaupun banyak dilakukan pada awal proyek, namun konsistensi penerapannya cukup efektif. Meskipun terkesan cukup

rumit, ternyata pendekatan Sanimas bisa diterapkan untuk masyarakat kota dan diakui mampu menumbuhkan tanggungjawab dan rasa memiliki (responsibility) di tingkat masyarakat terhadap sarana yang dibangun.

Apakah Konsep Pemberdayaan Masyarakat Sanimas Merupakan Konsep yang Ideal untuk Indonesia?

Sangat relatif untuk menga- takan apakah konsep pemberdayaan

masyarakat Sanimas merupakan konsep ideal untuk Indonesia?. Biaya konstruk- si sanitasi dalam Sanimas sangat tinggi. Sanimas menuntut syarat dengan kuali- tas tinggi yang tidak bisa sepenuhnya ditawar oleh masyarakat, itu biaya lain yang penting disediakan. Tetapi disisi lain dalam kerangka transformasi ke- terampilan teknologi dan pengelolaan, pengembangan kelembagaan pengelola secara transparan, partisipatif hingga

implementasi praktek tata kepemerin- tahan yang baik dalam konsep pember- dayaan untuk pengoperasian dan peme- liharaan menjadi sangat berguna dalam Sanimas. Sehingga Sanimas digunakan dan dipelihara secara berkelanjutan.

Menjadi tantangan dan kesempatan tersendiri ketika Sanimas mengembangkan konsep pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dalam Sanimas terlihat dominan dalam melahirkan pengelola untuk pemeliharaan sarana. Berbagai bentuk peningkatan kapasitas yang dibangun dalam menyiapkan pengelola baik dari aspek pengelolaan keuangan, penjadwalan hingga cara dan teknis pemeliharaan sarana sangat meyakinkan. Sementara langkah konstruksi, prosesnya banyak di dukung oleh LSM/fasilitator. Dukungan ini menjadi sangat penting karena Sanimas mensyaratkan penggunaan bahan kualitas tinggi dan perlu pengendalian yang kuat.

Hal di atas, sulit dipenuhi

masyarakat sendiri karena memerlukan biaya dan teknologi yang tinggi. Ketika penentuan lokasi Sanimas,

Bagan: Dimensi dan Tingkat Pemberdayaan

Tingkat Dimensi Psikologis Struktural

Personal/ Individu

Mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri,

kemampuan, kompetensi, movasi, kreasi dan control diri.

Membangkitkan kesadaran kris individu terhadap struktur sosial polik yang mpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya.

Masyarakat dan Kolekf

Menumbuhkan rasa memiliki, gotong royong, saling percaya, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolekf masyarakat.

Mengorganisir masyarakat untuk ndakan kolekf serta penguatan parsipasi dalam pembangunan dan pemerintahan.

Sumber: Sutoro Eko “Pemberdayaan Masyarakat Desa”, 2002

memang difasilitasi untuk mengadakan musyawarah masyarakat. Tetapi karena dalam penentuan lokasi tidak sekedar menggunakan ukuran aspek sosial dan justru aspek teknis geografis sangat dominan, maka posisi masyarakat dalam hal itu tidak bisa mengambil keputusan. Karena secara teknis ada tingkatan kualitas yang harus dipenuhi dari persyaratan lokasi.

Persoalan dan hambatan yang ditemui selama studi outcome Sanimas oleh Mitra Samya terkait dengan pemberdayaan masyarakat, bisa menjadi refleksi apakah konsep pemberdayaan masyarakat Sanimas merupakan konsep yang ideal untuk Indonesia.

Masalah utama dalam konteks pemberdayaan akan sangat terkait dengan organisasi pengelola. Adapun masalah organisasi yang ditemui adalah:

a. Keputusan dan kelembagaan masyarakat paska konstruksi kurang mendapat perhatian serius dari parapihak. Sehingga kerusakan skala ringan pada sarana seperti keran, kunci pintu, kebocoran tabung biogas dan tidak lancarnya saluran limbah mandi serta cucian, kurang diperhatikan.

b. Pembentukan KSM sebagai ujung tombak kelembagaan Sanimas tampak seperti hanya sebagai prasyarat proyek. Indikasinya antara lain; ide pembentukannya dari pihak luar, sebagian pengurus hanya aktif saat perencanaan dan pembangunan sarana, sedangkan kepengurusan paska konstruksi cenderung tidak aktif. Saat studi dilakukan, pengurus yang masih ada dan cukup setia memberikan pelayanan hanya operator. Pada satu sisi permasalahan paska konstruksi ini kurang mendapat perhatian Pemerintah Kota/Kabupaten, dan di sisi lain konsentrasi pendamping dari LSM juga nampak sangat minim. Koordinasi antarinstansi untuk melakukan monitoring dan penguatan kelembagaan KSM kurang memadai. Padahal kelembagaan paska konstruksi adalah hal penting untuk pengelolaan

dan pemeliharaan dalam kerangka kesinambungan.

c. Pendekatan Sanimas lebih cenderung menjadi berbasis teknologi (bukan berbasis masyarakat), karena kesinambungan sarana banyak didominasi aspek teknis. Pendekatan teknologi yang standar umumnya akan kaku, sehingga ruang untuk penyesuaian dengan kondisi sosial budaya dan agama kurang terjadi.

d. Salah satu indikasi tertib administrasi KSM adalah adanya sistem pelaporan yang baik, benar dan transparan. Kondisi seperti ini belum banyak terjadi karena pada umumnya pelaporan keuangan yang dibuat masih kurang rapi dan belum disampaikan ke publik. Di sebagian besar lokasi. laporan keuangan sangat sederhana, tetapi tidak sedikit diantaranya yang hanya dapat dibaca oleh yang membuat seperti pengurus saja.

e. Peningkatan kapasitas Sanimas kebanyakan hanya berlangsung di awal proyek. Bentuknya juga sebatas pelatihan, studi banding, kunjungan silang, atau pertemuan-pertemuan yang lebih bermuatan teknis ketimbang PHBS dan manajemen kelembagaan. Sehingga kelembagaan paska konstruksi belum siap untuk mengelola secara lebih berkualitas.

Saran dan Rekomendasi

a. Penerapan konsep pemberdayaan sebagai paradigma baru dalam

pembangunan sanitasi harus benar- benar berfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif.

b. Pelatihan paska konstruksi bagi masyarakat pengelola terutama dalam pengelolaan dan pemeliharaan perlu ditambahkan. Sehingga dinamika kelembagaan lokal dalam pengelolaan keuangan dan administrasi, manajemen kelompok hingga perawatan teknik lebih siap dan mandiri. Karena pemilikan Sanimas adalah masyarakat setempat, maka diperlukan lebih

banyak pelatihan kepada tukang setempat untuk pembangunan Sanimas dengan tetap menempatkan pelatih dari tukang luar jika tukang lokal belum tersedia.

c. Fasilitator pendamping dari LSM yang disebut orang luar jangan sampai dominan berperan sebagai pembina atau penyuluh, melainkan benar-benar sebagai fasilitator terhadap pemberdayaan masyarakat. Karena dalam konsep pemberdayaan tidak dikenal istilah unsur yang lebih kuat memberdayakan terhadap unsur yang lebih lemah untuk diberdayakan. Unsur yang lebih kuat hanya memainkan peran sebagai pembantu, pendamping atau fasilitator yang memudahkan unsur-unsur yang lemah memberdayakan dirinya sendiri.

d. Kelembagaan di tingkat masyarakat menjadi sangat penting terutama ketika paska konstruksi. Dalam rangka memperkuat posisi KSM sebagai pengambil keputusan, mampu melakukan pengoperasian dan pemeliharaan secara baik dan berhubungan dengan pihak lain secara mandiri, fasilitator harus memperhatikan pengembangan kelembagaan masyarakat paska konstruksi.

e. Fasilitator dan kader atau kam- piun masyarakat perlu diajak secara bersama-sama belajar mengembangkan keterampilan sampai pada tingkat kemampuan analisis, kesadaran kritis, berbagi pengalaman, hingga mengelola kecerdasan emosional yang akan me- numbuhkan empati sesama. Sehingga solidaritas antarwarga pengelola sanitasi dan pengguna terjalin dengan baik un- tuk bekerjasama. Meningkatnya solida- ritas antara warga secara kolektif adalah salah satu tujuan dari pemberdayaan masyarakat, karena perjuangan untuk perubahan tidak bisa hanya dengan kekuatan individu perseo-

Latar belakang

M

onitoring dan evaluasi adalah pekerjaan yang terkadang agak terlupakan, padahal apabila dilakukan dengan benar, kita akan mendapatkan masukan: apa yang sudah positif dari program yang kita lakukan, serta aspek apa yang masih harus diperbaiki. Menyadari hal tersebut diatas, Pokja AMPL Jawa Tengah atas fasilitasi Pokja AMPL Nasional dan WASPOLA menggagas upaya menyusun bersama-sama perangkat monitoring dan evaluasi untuk program sanitasi berbasis masyarakat. Setelah serangkaian diskusi, akhirnya diputuskan mengambil program Sanimas sebagai kasusnya. Untuk

melengkapinya telah dilakukan asesmen di beberapa lokasi Sanimas di Semarang dan Kendal, sekaligus mempersiapkan sebagai lokasi uji coba perangkat monitoring dan evaluasi.

Sanitasi oleh Masyarakat (Sanimas) merupakan program pembangunan sanitasi berbasis masyarakat yang dikembangkan berdasar prinsip Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat (selanjutnya disebut Kebijakan) dan diimplementasikan melalui kaidah pemberdayaan masyarakat. Dalam perkembangannya Sanimas saat ini telah berada pada generasi kelima sejak dimulai pada tahun 2001. Piloting atau inisiatif pertama difasilitasi oleh WASPOLA, di 7 kota/kab di 2 propinsi, pada tahun 2001. Hingga generasi kelima sudah dikembangkan di lebih 110 kabupaten/kota, termasuk wilayah fasilitasi WASPOLA. Pendekatan Sanimas pada dasarnya tidak mengalami perubahan berarti pada setiap generasi, kecuali sumber pendanaan (terutama setelah generasi ketiga ), serta pengorganisasiannya.

Perangkat

MonEv

Parsipaf

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 177-182)