• Tidak ada hasil yang ditemukan

ai untuk Sanimas

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 157-159)

Sanimas di pihak pemerintah. Selain itu, mereka juga bagian dari Pokja AMPL.

Surur Wahyudi dan Oswar sepakat bahwa momen untuk replikasi atau lebih tepat disebut sebagai “ujicoba ulang” itu dimulai pada seminar yang berlangsung di Bali pada April 2004. Saat itu tujuh Pemda yang melaksanakan Sanimas pada 2003 (Kota Denpasar, Kota Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pamekasan, Kota

Mojokerto, Kota Blitar dan Kota Kediri) berkumpul setelah selesai seminar karena kota dan kabupaten tersebut sudah mengirimkan surat minat melalui BORDA dan diteruskan ke Basah Hernowo selaku Direktur Permukiman dan Perumahan BAPPENAS untuk ujicoba lanjutan. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh Oswar Mungkasa dari Pokja AMPL dan juga dihadiri Alfred Lambertus dari WSP. Dari pertemuan tersebut kemudian disepaka untuk melakukan pertemuan lanjutan di Jakarta (BAPPENAS).

Keberhasilan ujicoba kedua itu, telah membukkan bahwa Sanimas bisa didanai melalui pendanaan bersama antara APBN, APBD, masyarakat serta LSM/Donor.

“Di situlah saya ‘ditantang’ Pak Susmono, kalau dak salah beliau masih menjadi Kasubdit Wilayah Tengah, bahwa kalau Sanimas di tujuh kota itu memang bisa berhasil, bagaimana di kota lain? Kemudian jumlah propinsi dan kota/kabupatennya ditambah dua yakni Jawa Tengah dan Yogyakarta, sehingga tahun 2005 dilakukan di 4 provinsi, yakni Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY, sekaligus dilakukan beberapa penyempurnaan untuk modul implementasinya, termasuk kelembagaan di pemerintah,” kenang Surur.

Karena lokasi tambahan dinilai berhasil

mengembangkan Sanimas, Departemen PU kemudian ingin mengembangkan dalam skala lebih massal dengan mengusulkan 100 lokasi di tahun 2006 melalui APBN dengan format program dan pendanaan yang sudah dilakukan pada tahun 2005. Apalagi setelah Agus Wijanarko, Dirjen Cipta Karya kala itu, melihat langsung Sanimas di Kota Pasuruan. Setelah momentum itulah, kata Surur Wahyudi, Dirjen memberikan lampu hijau untuk replikasi Sanimas dalam skala besar.

Susmono, yang waktu itu sudah menjabat sebagai Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman di Departemen PU merencanakan tahun 2006 Sanimas bisa dilaksanakan di 100 lokasi.

“Saya ingat sekali pada waktu itu ‘dunia persanitasian’ di Indonesia seper kebakaran jenggot, banyak pihak pesimis, terus terang termasuk saya sendiri, karena

SDM dak bisa disiapkan dalam waktu cepat. Mencari fasilitator dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu

singkat, apalagi untuk kerja di sektor yang kotor dan berbau, serta

melah mereka agar siap bekerja di lapangan rasanya sangat berat. Banyak sekali pengalaman program yang kemudian gagal justru keka di-scale up karena dak siap SDM-nya. Tetapi rupanya beliau punya alasan tersendiri. Beliau bilang bahwa kalau Sanimas cuma dilaksanakan di bawah 10 lokasi itu dak akan dilirik orang,” kenang Surur pahit, yang waktu itu hanya berani berkeluh kesah kepada Handy B. Legowo, staf Susmono yang juga sejak awal ikut membidani Sanimas.

BORDA tentu saja awalnya merasa keberatan dengan angka 100 lokasi per tahun. Sejak 2003, lokasi Sanimas dak lebih dari 10 - 15 per tahunnya. BORDA lantas menawarkan separuhnya, sekitar 50 lokasi per tahun agar lebih manageable dan chance of success¬-nya lebih nggi. “Tapi Pak Susmono malah bilang, oke kalau Anda cuma sanggup 50, sisanya biar PU nan yang garap. Padahal, kan, bukan begitu maksudnya,” lanjut Surur.

Dari situlah repikasi Sanimas dalam skala masif mulai dikembangkan pada 2006, kali ini langsung ditangani oleh Departemen PU, melalui Direktorat Pengembangan PLP, dak lagi oleh Direktorat Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS. Replikasi Sanimas terus berlanjut hingga sekarang, termasuk dengan sanitasi dari DAK pada 2010, yang namanya kemudian menjadi Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat/SLBM, tetapi didalamnya tetap ada Sanimas.

Sekitar akhir 2005 atau awal 2006, ada dorongan untuk menggan nama Sanimas menjadi Sanitasi Berbasis Masyarakat. “Saya bilang kalau di Jawa banyak yang namanya Slamet, katanya karena anak itu sakit-sakitan terus, nama anak itu digan menjadi Slamet, dan anak

tersebut sehat wal-afiat dan dak pernah sakit-sakitan lagi. Tetapi kalau menggunakan logika tadi, Sanimas kan dak sakit, dan harap

diingat bahwa Pemda-pemda saat itu

sedang menunggu buku Panduan Sanimas. Kalau kemudian diberikan buku panduan lain tentu mereka akan bingung. Ibarat minta ikan dikasih tempe, atau sebaliknya, pas mereka akan menolak,” kenang Surur.

Bagi Pokja AMPL sendiri yang sejak 2003

menjadi sponsor utama mewakili pemerintah dalam pengembangan Sanimas sama sekali dak terganggu dengan keterlibatan penuh PU dalam replikasi Sanimas sejak 2006. “Setelah Sanimas ditangani oleh PU, saya justru merasa lebih percaya diri lagi dengan Pokja AMPL. Sebab, peran Pokja dengan demikian bisa dianggap berhasil,” kenang Oswar Mungkasa.

Bukan maksud Pokja AMPL untuk menjadi pelaksana program pembangunan, tapi Pokja AMPL hanya menginisiasi satu program pembangunan yang sebelumnya dak ada, seper misalnya Sanimas dan Community-Led Total Sanitaon (CLTS) yang kemudian menjadi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) . Selain menginisiasi program, Pokja juga terlibat dalam kampanye publik dari program-program baru itu. Jika akhirnya Sanimas diambil alih oleh PU dalam pengembangannya, maka bisa dibilang Pokja AMPL sudah berperan sesuai visi awalnya.

“Saya jadi merasa percaya diri dengan Pokja AMPL ini,” urai Oswar lagi. Oswar menambahkan, peran Pokja dalam

mengenalkan, menginisiasi dan mengkampanyekan hal-hal baru itu sebenarnya juga mengambil alih resiko jika ada kegagalan. “Kalau satu departemen yang mengenalkan hal baru dan ternyata gagal, resikonya besar dan implikasinya juga kompleks. Kalau Pokja yang memulai, kalau pun gagal, paling ya… cuma kami-kami di Pokja ini yang ‘merah mukanya’,” papar Oswar.

BORDA sangat mengapresiasi peran Pokja AMPL ini. Saat Jim Woodcock, WSP, tahun 2004 bertanya pada Surur Wahyudi ihwal instansi atau departemen mana yang bisa melaksanakan Sanimas, Surur dengan enteng menjawab: Departemen Pokja AMPL. Tentu saja jawaban itu dak serius, karena Pokja AMPL jelas bukanlah departemen, tapi jawaban itu sedaknya bisa memberikan gambaran

bagaimana apresiasi LSM terhadap inisiaf yang kuat dari Pokja AMPL untuk mengakselerasi program-

program sanitasi, terutama Sanimas.

Tidak mengherankan jika banyak lembaga donor khususnya LSM internasional yang datang ke Pokja untuk mengajak bekerjasama dalam bidang AMPL.

Dalam refleksi Oswar, kerjasama dengan Pokja mungkin membuat lembaga-lembaga donor itu

bisa mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama, kerjasama dengan pemerintah dirasa penng karena biasanya kinerja sebuah program bisa lebih maksimal. Melalui Pokja AMPL mereka bisa merins kerjasama dengan pemerintah. Perlu diingat bahwa Pokja adalah lembaga yang terdiri dari beberapa instansi pemerintah, Bekerja sama dengan Pokja AMPL akan lebih mudah tanpa perlu terbelenggu oleh birokrasi pemerintah yang berbelit- belit. Kedua, luasnya jaringan kerja Pokja AMPL memberi peluang terjadinya kerjasama yang lebih luas dak hanya dengan pemerintah tetapi bahkan dengan LSM dan lembaga donor lain..

Sanimas sendiri akhirnya bisa dicatat sebagai salah satu model kerjasama yang cukup baik antara pemerintah dan LSM. Dalam sejarahnya, hubungan antara LSM dan pemerintah itu dak selalu mesra. Surur Wahyudi sendiri menyadari persoalan itu. Dalam satu kesempatan, saat berbicara dengan para Satker Provinsi di Palembang pada 2006, ia berbicara penngnya melibatkan LSM dalam pengembangan Sanimas. Tanggapan para Satker dari pemerintah rata-rata terkejut, defensif dan negaf. Mereka beranggapan LSM dak lebih dari orang-orang yang hanya tukang demo dan mencari keuntungan dari pemerintah.

“Saya katakan pada mereka, jumlah LSM itu sama banyaknya dengan isu yang ada di Indonesia. Tiap isu pas ada LSM-nya. Tapi dalam soal sanitasi, saya bisa tunjukkan nama-nama LSM yang bagus dan terbuk

Kalau sa

tu

departemen

mengenalk

an

Dalam dokumen PERCIK. Edisi Khusus. Media Informasi Ai (1) (Halaman 157-159)