yang sudah dibangun lama itu. Minimal, katanya, dak membuang sampah- sampah padat ke jamban. Tapi masih saja ada sampah padat dengan berbagai
bentuk yang masuk ke pipa. Ini membuat pipa-pipa itu tersumbat dan jika sudah begitu tetap juga Nur Hasyim yang turun tangan.
Pengelolaan dan perawatan Sanimas di Bakalan ini memang tetap ditangani Nur Hasyim. Ia sendiri, kenda berstatus sebagai Ketua KSM, seringkali turun langsung jika ada persoalan. Bukan sekali dua dia turun ke IPAL untuk mengambil benda-benda padat yang menyumbat pipa.
“Sebenarnya ada dua operator yaitu Pak Sarnam dan Pak Yusuf, tapi karena dak ada iuran yang run, saya sendiri bingung untuk membayar honor mereka,” ujar Hasyim lagi.
IPAL Sanimas di Bakalan sendiri sudah disedot ga kali. Dua kali masih menggunakan dana iuran karena waktu itu masih lancar. Penyedotan yang terakhir itu baru bisa dilakukan saat ada warga baru yang menyambungkan jamban di rumahnya dengan IPAL. Dari dana itulah mereka bisa menyedot untuk yang kega kalinya. Tapi karena
uang itu pun dak cukup, aku Hasyim, terpaksa cuma dua operator saja yang bekerja. Operator satunya mau dak mau terpaksa dak dilibatkan.
Hasyim sendiri bertekad untuk terus mempertahankan Sanimas ini. Bersama orang-orang yang masih peduli dan menjadi pengurus KSM, Hasyim berharap bisa membangkitkan lagi parsipasi warga. Pengurus KSM sendiri sudah menunjuk orang baru sebagai petugas yang akan menarik iuran dari warga. Petugas itu akan mendatangi rumah per rumah sebanyak ga kali seap bulannya untuk berjaga-jaga jika ada warga yang enggan membayar saat ditagih pertama kali. Untuk kunjungan kedua dan kega, Hasyim berencana akan mendampingi langsung petugas yang ditunjuk itu.
Kasus seper ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Pasuruan. Tahun lalu, lokasi Sanimas di Pekalongan, tepatnya di kelurahan Panjang Baru, juga terkendala dengan penarikan iuran ini. Lurah Panjang Baru waktu itu, Joko Seawan, menyebutkan warga dak lancar
membayar kewajibannya. Padahal besaran iuran itu dak terlalu besar, hanya 3 ribu rupiah per bulan, sama
seper yang terjadi di KSM Kalimas pimpinan Nur Hasyim.
Memang, kesadaran warga terhadap penngnya parsipasi dak selalu merata, juga dak selalu stabil.
Banyak contoh di mana tahun-tahun pertama semua serba lancar, tapi lama kelamaan, setelah merasa
dak ada masalah apa-apa, mulailah fase di mana penarikan iuran itu mulai dak lancar lagi. Mungkin
warga merasa tanpa membayar iuran pun mereka masih bisa membuang air besar ke jamban di rumahnya sendiri tanpa ada gangguan dan permasalahan.
Hampir di seap lokasi Sanimas yang dikunjungi Percik, terutama yang menggunakan sarana perpipaan komunal, selalu ada warga yang agak susah saat ditarik iuran. Tapi, di lokasi-lokasi itu, jumlahnya dak signian. Arnya, proporsi antara warga yang akf dan susah dalam iuran itu masih jauh lebih besar warga yang kooperaf.
“Di sini paling ya cuma dua atau ga rumah saja yang kadang agak susah. Harus lebih dari sekali ditagih, minimal dua kali atau kadang sampai ga kali. Tapi ya akhirnya tetap membayar. Mungkin mereka memang sedang kesulitan keuangan, makanya terpaksa menunda membayar iuran,” aku Suyatmi, warga yang ditunjuk sebagai petugas iuran Sanimas di Kampung Penca (penyandang cacar), Kadipiro, Surakarta.
Kasus di KSM Kalimas Pasuruan sendiri menunjukkan kenda ada persoalan di dalam parsipasi
warga dalam bentuk iuran, fasilitas Sanimas sendiri masih berfungsi dengan baik. Lepas dari apakah warga cukup run
K
K
Keessaaadddaaarrraaannnn
w
waarrggaaa
t
t
teerrhhaaddaapp
a
p
peennnnggnnyyaa
si
p
p
paaarrrssiipippaaasssiii
dak selalu
dddaaakkk sseellaall
merata, juga jjjuuu
dak selalu
stabil
ZENmau membayar iuran atau dak, mereka sedaknya tetap bisa menikma keberadaan jamban pribadi yang terhubung dengan pipa-pipa menuju IPAL komunal.
Problem yang lebih serius sebenarnya bukan di soal iuran. Beberapa lokasi Sanimas di tempat lain, kenda sarananya masih berfungsi dengan baik, sayangnya justru ada yang mangkrak dan dak maksimal penggunaannya. Beberapa di antaranya adalah soal rasio pengguna yang dak ideal atau terlalu rendah sehingga dana besar untuk membangun Sanimas terkesan mubazir.
“Di Sidoarjo sendiri sempat ada persoalan dalam penentuan tanah yang akan digunakan sebagai lokasi MCK Plus++. Mulanya warga sepakat di tanah yang dekat aliran sungai, tapi dak dapat izin dari dinas perairan karena memang dak boleh membangun di daerah sempadan
sungai. Akhirnya mereka mencari lokasi tanah yang lain. Sayangnya tanah penggan itu justru agak
jauh dari perumahan warga
yang memang membutuhkan MCK Plus++, malah lebih dekat dari perumahan warga yang orangnya relaf lebih nggi pendapatannya dan sudah banyak yang memiliki sepc tank di rumah. Jadi praks MCK Plus++ di lokasi itu dak maksimal penggunaannya. Terlalu sedikit yang menggunakan,” papar Abdullah Basri, Koordinator BEST di Jawa Timur.
Jika penentuan lokasi lahan itu dak memper hitung- kan dengan teli dan tepat sebaran para penggunanya, besar kemungkinan warga akan sulit atau malas untuk menggunakan lokasi MCK Plus++, seper yang diceritakan oleh Abdullah Basri di atas.
“Seumpama saja waktu itu warga bisa diarahkan untuk mencari dan menggunakan lahan lain yang lebih dekat dengan lokasi pemukiman mereka sendiri, mungkin MCK di sana bisa lebih maksimal lagi digunakan. Mungkin ini terjadi karena di lapangan banyak orang yang dak cukup sabar untuk secara perlahan-lahan menemukan lahan penggan atau mencari peluang-peluang lainnya,” ujar Abdullah Basri lagi.
Faktor kesabaran ini menjadi penng dalam tahapan pemberdayaan masyarakat sebelum bangunan
Sanimas dibangun. Berbeda dengan pengerjaan bangunan yang relaf
bisa diprediksi berapa lama waktu pengerjaannya, aspek sosialisasi, pemberdayaan dan penyiapan masyarakat itu dak bisa dipaskan waktunya. Seap lokasi berbeda-beda ngkat pemahaman dan penerimaannya, juga berbeda-beda pula ngkat resistensinya. Ada lokasi yang mudah dimasuki gagasan baru, termasuk gagasan dan konsep Sanimas, ada lokasi yang alot dan susah untuk dimasuki konsep pembangunan berbasis masyarakat seper Sanimas.
Sayangnya, dak semua pihak punya cukup kesabaran untuk mengiku tahapan-tahapan yang sudah menjadi standar dalam pengembangan Sanimas, terutama dalam aspek pemberdayaan masyarakatnya. Tidak terkecuali instansi pemerintah sendiri.
Ir. Handy B. Legowo, dari Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (PU), sendiri mengakui hal itu terjadi di PU. “Di PU sendiri, konsep pemberdayaan masyarakat yang parsipatoris itu memang hal baru. Bahkan sampai sekarang masih ada yang tetap bilang hal itu sebagai buang-buang waktu. Dulu itu kan otak saya otak top- down. Di otak saya cuma buat desain yang bagus, dak terlalu memikirkan masyakarat mau terima apa dak, yang penng dibangun dulu saja. Terserah masyarakat