• Tidak ada hasil yang ditemukan

Garis Besar Kejadian antara 1918-1922

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 195-199)

Dengan mengikutsertakan Kekaisaran Usmani ke dalam peperang an di pihak Kekuatan Poros, para pimpinan Komite Perserikatan dan Kema-juan telah menyelamatkan dirinya dari kematian.14 Sebab, dengan ke kalah-an Kekaisarkalah-an Usmkalah-ani, skalah-ang pemenkalah-ang, dkalah-an khususnya Inggris, mampu mewujudkan rencana-rencana yang telah mereka buat sejak lama yaitu memecah belah Kekaisaran Usmani dan menyingkirkan musuh bebuyutan mereka, bangsa Turki. Saat mendengar pasal-pasal Gencatan Senjata Mu-dros, yang ditandatangani oleh Turki dan Inggris pada 30 Okto ber 1918, Sultan terdengar menggumam: “Ini bukan gencatan senjata; ini namanya menyerah tanpa syarat.”15 Sehari setelah penandatanganannya, para ang-gota utama CUP kabur menuju Berlin. Pada 13 November, sebuah armada yang terdiri dari 55 kapal milik para pemenang melempar sauh di lepas pantai Istanbul, termasuk empat kapal perang Yunani—hal ini melanggar persetujuan; dan pada 8 Desember, didirikan sebuah administrasi militer. Sementara bagi kaum Muslim Turki tidak ada yang menyakitkan selain melihat kekuatan sekutu memasuki Istambul sebagai penakluk, orang-orang Armenia, Yahudi, dan Yunani Usmani di kota itu malah menyambut mereka dengan suka cita. Jenderal Perancis, Franchet Desperey, bahkan menyusuri jalanan Istanbul menuju Kedutaan Besar Perancis menung-gang kuda putih, dengan gaya seorang kaisar atau raja penakluk.16

Kekuatan-kekuatan Sekutu telah menandatangani sejumlah persetu-juan perang rahasia mengenai pembagian Kekaisaran Usmani.17 Ketika Rusia melepaskan haknya menyusul pecahnya Revolusi Bolsyevik pada 1917, posisinya ditempati oleh Italia. Ketika Perdana Menteri Yunani, Venizoles, mengikutsertakan negaranya dalam perang tersebut pada ta-hun yang sama, ia dijanjikan akan mendapat Izmir dan sebagian Aegean (bagian barat Turki). Kebetulan, kawasan yang sama sudah dijanjikan ke-pada Italia.

Dengan demikian, setelah penandatanganan gencatan senjata, Pe-rancis menguasai sebagian Turki Selatan dan Tenggara, dan pada Febru-ari 1919 pasukan mereka memasuki Istanbul sebagaimana disebutkan di

atas. Pada 29 April, pasukan Italia mendarat di Antalya. Inggris menguasai Dardanelles dan tempat-tempat strategis lain. Rencana-rencana mendiri-kan negara bagian Kurdi di Anatolia Timur telah dibuat; Armenia bersiap-siap mendirikan sebuah negara khusus bangsa Armenia di bagian timur laut negara; dan orang-orang Yunani di kawasan Laut Hitam bertujuan mendirikan kembali negara bagian Yunani bernama Pontus. Bahkan, tu-juan akhir Venizoles dan banyak orang Yunani adalah mendirikan kembali Kekaisaran Bizantium yang lebih besar yang berbasis di Istanbul—ibu kota kuno, Konstantinopel. Ketika pada 15 Mei 1919, tentara Yunani menda-rat di Izmir dengan bantuan kapal-kapal perang Amerika, Inggris, dan Perancis, terperciklah api yang menyulut perlawanan di kalangan pen-duduk Muslim Anatolia terhadap para penyerbu,18 dan, setelah lebih dari tiga tahun perjuangan dan peperangan, mereka berhasil mengusir semua agresor.

Tetapi, tidak ada perlawanan yang terorganisasi dalam menghadapi pendudukan tersebut. Meskipun berbagai kelompok yang berbasis dan berperang di Anatolia, atau Angkatan Nasional, mendapatkan banyak pen dukung di Istanbul, di antaranya dari Nursi, namun beberapa perwa-kilan di parlemen, sultan, dan sejumlah negarawan serta ulama terkemu-ka menentang mereterkemu-ka, dengan keyakinan bahwa kebutuhan-kebutuh an negara Usmani akan bisa dipenuhi dengan baik melalui kerja sama dan kolaborasi dengan para agresor. Ketika para pendukung Angkatan Na-siona l mendapatkan kekuatan di Istambul, khususnya dalam parlemen baru yang dibuka pada Januari 1920, tentara Inggris bereaksi dengan menduduki kembali kota Istanbul pada bulan Maret, dan melakukan pe-nangkapan serta deportasi besar-besaran.19 Di bawah tekanan yang berat dari Inggris, sultan membubarkan parlemen satu bulan kemudian, dan keluarlah sebuah fatwa dari Syekhul Islam yang dibentuk secara khusus. Fatwa ini menyatakan bahwa kaum nasionalis adalah pemberontak dan membunuh mereka adalah wajib hukumnya.20 Kemudian dibentuklah se-buah angkatan bersenjata untuk memerangi mereka.

Di Ankara, yang menjadi pusat gerakan nasional, dibentuklah sebuah majelis perwakilan baru, dan pada 23 April 1920 Majelis Agung Nasional Turki dibuka secara resmi. Tetapi, baru setelah persetujuan Pemerintah Istanbul untuk menandatangani Perjanjian Sèvres pada Agustus 1920, perjuangan nasionalis mendapatkan dukungan nyaris sepenuhnya dari

rakyat Turki.21 Karena dibuat marah oleh penandatanganan dokumen penuh dendam yang isinya mengesahkan tindakan membagi-bagi Turki di antara kekuatan-kekuatan asing dan benar-benar “menyerahkan inte-gritas teritorial serta kedaulatan politiknya,”22 maka mereka memutuskan untuk membebaskan negara mereka dari para penyerang asing.23

Tidak pada tempatnya jika buku ini mendeskripsikan jalannya Pe-rang Kemerdekaan, tetapi perlu dicatat bahwasanya hingga gencatan senjata itu, bangsa Turki telah terlibat dalam berbagai perang sejak 1909, dan pada 1920 sudah kehabisan tenaga serta miskin dengan jumlah pen-duduk laki-laki berkurang drastis. Pada saat kalah, tentara Usmani (di-duga) telah dilumpuhkan24 dan dibubarkan oleh tentara yang menang. Hal ini sangat mengherankan karena diperkuat dan ditopang oleh keyakinan mereka kepada Tuhan dan agama Islam, orang-orang Turki mendapatkan kemenangan yang luar biasa. Agama dan para pemuka agama memain-kan peran sangat penting dalam peperangan yang mereka sebut sebagai jihad. Selain itu, salah satu tujuannya yang diakui semua orang, termasuk pemerintahan Ankara, adalah menyelamatkan khalifah dan sultan dari tangan musuh.25 Kemenangan mereka diakui oleh Gencatan Senjata Mu-danya yang ditandatangani oleh Inggris dan Turki pada 11 Oktober 1922 dan menerima pengakuan internasional dalam Perjanjian Lausanne yang ditandatangani pada 24 Juli 1923.

Kemenangan Turki dalam Perang Kemerdekaan bukan sekadar meng-gagalkan rencana-rencana imperialis yang dibuat oleh sejumlah kekuat an Eropa. Sebagaimana telah disebutkan, persoalan itu harus diliha t dalam perspektif yang lebih luas: selama seribu tahun bangsa Turki telah men-jadi “pemegang panji peperangan dunia Islam” melawan Negeri Ba rat Kristen. Kata “Turki” (Turk) diartikan sama dengan “Islam”. Ketika me-rek a berjaya melawan negeri Barat, kejayaan itu atas nama Islam, seba-liknya ketika mereka menderita kekalahan, maka sering kali pukulan itu di arahkan kepada Islam yang mereka wakili. Maka, ketika Usmani gagal me-nandingi kemajuan materiel negeri Barat dan akibatnya semakin lemah, bangsa Eropa Kristen menafsirkannya sebagai bukti keunggulan peradab-an Barat. Hal ini juga dipperadab-andperadab-ang sebagai sejenis pembenarperadab-an atas kese-rakahan mereka, saat mereka berlomba-lomba untuk membagi negara “pesakitan Eropa” itu.

se-bagai “musuh yang paling tekun memerangi Bulan Sabit,”26 dan bagi Im-perialisme Inggris, Islam tampak sebagai rintangan terbesar. Upaya-upa-ya untuk menaklukkan, menundukkan, dan memecah belah dunia Islam telah diatasi dengan sukses oleh kebijakan dan gerakan khalifah Usmani demi persatuan Islam. Kebangkitan kaum Arab melawan Usmani sela-ma Perang Dunia I dan penyerangan negara-negara Arab yang terpisah merupakan salah satu hasil dari propaganda dan spionase Inggris yang berkelanjutan dan tekun melawan Usmani.27

Dengan demikian, kekalahan Usmani pada 1918 dipandang oleh para pemenangnya sebagai kejayaan final dunia Barat atas Islam, peradaban Barat atas peradaban Islam, Salib atas Bulan Sabit. Dalam konteks inilah kita semestinya memandang pendudukan Istanbul,28 dan kita harus tetap mengingat pasal-pasal perjanjian perdamaian yang keras, yang jauh lebih keras ketimbang pasal-pasal yang dikenakan kepada bangsa-bangsa lain yang kalah.29

Tetapi hasrat utama Inggris dan Perancis untuk mengalahkan mu-suh abadi mereka tidak berhenti sampai di situ. Dengan menunjuk peja-bat-pejabat untuk mengawasi berbagai kementerian, pemerintah sendiri menjadi tidak lebih dari sekadar boneka. Setelah bertahun-tahun me-micu minoritas-minoritas Kristen untuk memberontak melawan negara Usmani, mereka kini terus mendorong mereka untuk mengambil alih ja-batan-jabatan tertentu di pemerintahan daerah dan administrasi negara. Diskriminasi terhadap kaum Muslim Turki di negara mereka sendiri ini sudah keterlaluan sampai-sampai hanya anak-anak Kristen yang boleh masuk sekolah negeri. Orang-orang Armenia dan Yunani juga memban-tai ribuan Muslim, sementara tentara pendudukan bersikap tidak tahu-menahu.30

Masalah-masalah yang berkaitan dengan pendudukan tentara asing terbilang banyak. Tetapi, dalam hal ini keadaan tersebut diperburuk oleh perilaku yang sudah mengakar di antara para pemenang. Di sini, yang harus ditanggung tidak hanya kepedihan karena kekalahan dan tindakan keterlaluan para tentara pendudukan yang bersantai-santai di “kemewah-an Konst“kemewah-antinopel”; ada sebuah kebijak“kemewah-an kristenisasi y“kemewah-ang berbahaya melalui usaha-usaha mendiskreditkan Islam serta melemahkan kerang-ka moral bangsa Turki melalui upaya-upaya penanaman kebejatan yang senga ja dijalankan, minum-minuman alkohol, dan “kejahatan peradaban”

lainnya. Sebagaimana kemudian Nursi ceritakan kepada para perwakilan di Majlis Agung Nasional: “Meskipun telah lama dunia Barat menyerang Islam dengan peradaban, filsafat, ilmu pengetahuan, misionaris-mision-aris serta segala upaya kerasnya dan telah menaklukkannya secara mate-rial, tetap saja negeri Barat tidak bisa menaklukkan agamanya.”31 Tam-paknya, kini arena untuk mengejar tujuan berbahaya itu sudah siap.

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 195-199)