• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pidato untuk Kebebasan”

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 74-79)

Pada hari ketiga revolusi, ketika kegembiraan dan perayaan-pera-yaan sudah mereda, Said Nursi memberikan banyak pidato dan amanat yang menjelaskan makna konstitusionalisme dan bagaimana kita harus memandangnya. Dia berkata bahwa jika syariat dijadikan sumbernya, “Bangsa yang tertindas ini akan maju seribu kali lebih jauh daripada pada masa-masa sebelumnya.”

Bukannya sekadar menjadi syair puja-puji tentang kebebasan, “Pi-dato untuk Kebebasan” (Hurriyete Hitap)64 secara khusus menjadi sebuah pengantar menuju gagasan-gagasan baru dan sebuah nasihat untuk me-naati Islam dan moralitasnya di era baru tersebut. Dengan datangnya ke-bebasan, bangsa Usmani telah diberi kesempatan untuk maju dan mem-bangun peradaban sejati seperti pada masa-masa sebelumnya, tetapi hal ini hanya akan tercapai jika syariat dijadikan landasan kebebasan. Di satu sisi, amanat tersebut menyoroti dampak-dampak negatif dari despo-tisme, dan, di sisi lain, menyoroti kemungkinan-kemungkinan kemajuan yang dapat kita peroleh melalui kebebasan tersebut. Bersama dengan ini, amanat tersebut membeberkan sebuah agenda yang berisi apa-apa saja

yang harus dicapai dan apa-apa saja yang harus dihindari untuk meles-tarikan kebebasan dan menjaga kemajuan. Untuk itu, amanat tersebut mendeskripsikan beberapa sebab merosotnya Usmani.

Sebelum memberikan nukilan amanat tersebut, perlu dicatat bahwa seperti halnya semua pendukung konstitusi—para anggota ulama65 dan kelas-kelas terdidik lainnya—Said Nursi tidak ragu-ragu untuk menyusun gagasan-gagasannya mengenai konsep-konsep liberal yang diperkenalkan kepada Usmani oleh Namik Kemal dan para Usmani Muda, dan diabadikan oleh CUP, sebagaimana telah dicatat di atas. Tetapi selain untuk menjaga persatuan dan kemajuan “bangsa” Usmani, serta menyatakan argumen-tasinya bahwa pada esensinya konsep-konsep yang menjadi landasannya haruslah islami, tujuan dan sasaran Said Nursi lebih komprehensif daripa-da tujuan daripa-dan sasaran para intelektual daripa-dan pemikir Usmani. Terlebih lagi, Said Nursi berjuang keras demi penerapan praktisnya. Dengan kata lain, dia yakin, sebagaimana juga mereka, bahwa Islam sudah mengandung syarat-syarat terwujudnya kemajuan dan peradaban, dan dia mengajukan banyak argumentasi yang mendukung ini, tetapi dia juga seorang aktivis dan memprakarsai karya-karya yang pada akhirnya akan mengarah kepa-da pencapaiannya. Gagasan-gagasannya mengenai reformasi kepa-dan proyek-proyek demi tersebarnya pendidikan di wilayah-wilayah timur, yang merupakan bagian dari perjuangannya itu, telah dibahas. Pada bab-bab selanjutnya, poin-poin lain akan menjadi lebih jelas. Satu aspek lain dari kebijakan Nursi adalah kepeduliannya untuk melibatkan rakyat kecil ke dalam tatanan konstitusional, sebuah inovasi. Dia juga mengungkapkan gagasan-gagasan asingnya dengan bahasa yang mudah dipahami dan me-nyajikannya sebagai sebuah program yang bisa dipahami dan dijalankan semua orang, sekaligus meletakkan gagasan-gagasan ini di dalam konteks Islam yang lebih luas. Semuanya berangkat dari para pemikir terdahulu dan Nursi memberi warna tersendiri pada gagasan-gagasan itu.

Nursi mengawali amanat itu dengan sebuah permintaan maaf. Dia berupaya merebut perhatian para pendengarnya dengan gayanya yang tidak berbelit-belit, hidup, dan indah—yang, menurut penjelasannya se-perti pakaiannya sendiri yang berlawanan dengan “busana modern” kare-na dia tidak kekare-nal tukang jahit a la Turque yang mungkin bisa menggarap setelan baju yang bagus dan membuat kancing-kancing sesuai yang dia inginkan.” Dia ingin agar para pendengarnya berpartisipasi secara

men-tal dalam apa yang akan dia katakan dan memberi kepada mereka bahwa semua orang saat itu harus bekerja sekuat tenaga jika menginginkan ter-capainya tujuan-tujuan konstitusionalisme; yaitu kemajuan dan pemba-ngunan kembali peradaban Islam.

Wahai Kebebasan! ... Saya memberikan kabar yang menyenangkan ini kepada kalian, bahwa jika kalian menjadikan syariat, yakni hidup itu sendiri, sebagai sumber kehidupan, dan jika kalian berkembang di surga itu, bangsa yang tertindas ini akan maju seribu kali lebih jauh daripada pada masa-masa sebelumnya. Jika, misalnya, ia mengajakmu sebagai pembimbingnya untuk segala urusan dan tidak menodaimu dengan me-nyembunyikan permusuhan pribadi dan pikiran-pikiran ingin membalas dendam ... Kebebasan telah membangunkan kita dari kuburan ke sediha n dan kezaliman, dan memanggil kita ke surga persatuan dan cinta bangsa. Pintu-pintu surga kemajuan dan peradaban yang bebas dari pende-ritaan telah terbuka bagi kita ... Konstitusi, yang sejalan dengan syariat, adalah pendahuluan menuju kemuliaan bangsa dan mengundang kita untuk masuk seperti penjaga harta karun surga. Wahai saudara sebang-saku yang tertindas! Mari kita berangkat dan memasukinya!

Setelah menyebutkan bahwa kini bangsa akan diliputi kemuliaan, Nursi melanjutkan dengan menjelaskan “lima pintu” yang nantinya harus dimasuki, atau lima prinsip yang harus dihayati sebuah bangsa agar surga ini bisa dicapai. Pertama, “persatuan hati”. Prinsip ini telah dijelaskan se-bagai mempertahankan kesadaran akan persatuan dan integritas Usmani, khususnya dalam kaitannya dengan kaum nasionalis dan gerakan-ge-rakan separatis kaum minoritas. Kedua, “cinta bangsa.” Artinya, pribadi-pribadi yang membentuk bangsa itu harus menyadari kebangsaan mereka dan menjaga cinta antara satu dengan lainnya. Ketiga, “pendidikan”, yang mengacu kepada sisi kultural dan tingkat pendidikan bangsa yang diting-katkan menuju sebuah titik yang memuaskan. Keempat, “daya upaya ma-nusia”. Artinya, semua orang dijamin mendapat pekerjaan dan menerima gaji yang adil dari pekerjaannya. Kelima, “menghentikan pemborosan”, yang berarti menghentikan sikap pamer dan berlebih-lebihan, baik itu pada tingkat individu maupun pada tingkat kemasyarakatan, karena hal itu mengakibatkan perpecahan dan merupakan penyakit yang utama para pejabat negara pada masa itu.66

Nursi menyebutkan dampak-dampak berbahaya dari kekejaman dan kebejatan moral yang muncul dari kezaliman, yang bersifat materiel dan juga moral. Dia berkata, “Suara kebebasan dan keadilan ... menghidupkan emosi, harapan, cita-cita bangsa yang mulia, dan karakter serta moralitas Islam kita nan indah, yang semuanya dahulu mati.”

Setelah cepat-cepat memperingatkan untuk tidak mematikan hal-hal ini lagi “melalui penyia-nyiaan dan kebodohan dalam urusan agama,” Nursi memprediksi bahwa persatuan, kepatuhan terhadap ajaran-ajaran moral Islam, dan berjalannya pemerintahan konstitusional yang berha-sil, dan praktik-praktik yang benar dari prinsip musyawarah akan men-ciptakan bangsa Usmani yang segera mampu “bersaing dengan bangsa-bangsa beradab.” Metafora-metafora untuk kemajuan yang Nursi gunakan di dalam bacaan itu menunjukkan keyakinannya sendiri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Nursi benar-benar menekankan perlunya mematuhi moralitas Islam demi tercapainya keberadaban dan kemajuan sejati dan selanjutnya me-nyatakan ketakutannya bahwa jika kebebasan itu dipahami sebagai lisen-si, ia akan hilang dan akan mengakibatkan kembalinya kezaliman, “karena kebebasan itu tumbuh dan terlihat melalui kepatuhan terhadap peraturan dan berlakunya syariat serta ajaran-ajaran moral yang bagus.”

Selanjutnya, Nursi berpesan agar tidak tertular “dosa-dosa dan keja-hatan-kejahatan keberadaban” dan meninggalkan kebajikan-kebajikan-nya. Bangsa Usmani harus meniru orang Jepang dalam hal mengambil dari peradaban Barat apa saja yang akan membantu mereka meraih ke-majuan, sambil tetap melestarikan budaya nasional mereka: “Dengan senang hati kita akan mengambil poin-poin dari Eropa—seperti teknologi dan industri—yang akan membantu kita meraih kemajuan dan keberadab-an. Namun ... dengan pedang syariat kita harus mencegah dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan peradaban menerobos batas-batas kebebasan dan keberadaban kita, sehingga anak-anak muda di dalam peradaban kita akan terlindung oleh sumber kehidupannya yang murni dan sejuk. Kita harus meniru orang Jepang dalam meraih peradaban, karena dengan ha-nya mengambil kebajikan-kebajikan dari peradaban Eropa mereka meles-tarikan budaya-budaya nasional, yang merupakan syarat keberlanjutan setiap bangsa. Karena adat nasional kita tumbuh di dalam Islam, maka ia harus dipatuhi dalam dua hal.”

Dengan membandingkan kondisi-kondisi di bawah rezim yang lama dan yang baru, Nursi meneruskan mendeskripsikan kebenaran-kebenaran abadi yang akan menjadi dasar terbangunnya kebebasan. Kebenaran-kebenaran itu, sebagai berikut: pertama, persatuan; kedua, ilmu penge-tahuan, pendidikan, dan keberadaban. Ketiga, generasi baru yang berisi manusia-manusia yang mampu dan terdidik untuk memimpin bangsa. Nursi mendeskripsikan bagaimana “dengan kebebasan yang melimpah,” kemampuan dan potensi semua orang, bahkan orang-orang desa pada umumnya, akan berkembang sehingga “lahan Asia dan Rumelia yang kaya itu akan menghasilkan” manusia-manusia cemerlang dan unggul yang betul-betul dibutuhkan. “Dan Timur akan menuju ke Barat sebagaimana fajar menuju senja. Jika demikian, mereka tidak akan lemah karena rayuan kemalasan dan racun kedengkian.”

Keempat, syariat. Nursi menjelaskan: “Karena kata syariat yang agung

itu berasal dari sabda Tuhan yang ada sejak dunia belum tercipta, maka ia akan terus ada meski dunia telah kiamat.” Karena ia dinamis. syariat beradaptasi dan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Ia mencakup kesetaraan, keadilan, dan kebenaran sejati dengan segala keterkaitan dan kebutuhannya. Masa-masa awal hadirnya Islam adalah buktinya. Dengan demikian, kata Nursi, kondisi mereka yang serba sial itu dikarenakan empat hal: kegagalan menaati syariat, penafsiran-penafsiran syariat secara sewenang-wenang dan keliru, sikap fanatik di antara “sarja-na ekster“sarja-nalis bebal” tertentu, dan “tindakan meninggalkan kebajikan-kebajikan Eropa yang sulit ditiru karena menganggapnya kurang meng-untungkan atau dianggap pilihan yang buruk, dan meniru begitu saja dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan peradaban yang memuaskan hasrat mendasar manusia.”

Kelima, sistem perwakilan islami yang disebut musyawarah (meşveret).

Di zaman modern yang kompleks ini, negara hanya bisa di te gakkan, di-jalankan, dan dibimbing melalui sebuah majelis perwakilan, mu syawarah, dan kebebasan berpikir.

Nursi menyelesaikan amanat itu dengan tiga “peringatan”. Pertama, para pejabat negara yang disiapkan untuk beradaptasi dengan rezim yang baru harus diperlakukan dengan hormat dan pengalaman mereka dijadi-kan pelajaran. Kedua, penyakit yang menyerang kekaisaran telah menye-bar dari pusat kekhalifahan, dari Istanbul, sehingga “ketiga cabang

‘pem-bimbing rakyat’”—para sarjana madrasah, para sarjana sekolah-sekolah sekuler, dan para sufi di tekke mereka—harus disatukan. Peringatan ketiga menyangkut para pengkhotbah. Lagi-lagi, Nursi meminta mereka mem-perbarui gagasan-gagasan dan metode-metodenya, dan berbicara dengan gaya yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Sehubungan dengan peringatan kedua, perlu diperhatikan bahwa Nursi sudah menunjukkan sejak jauh-jauh hari masalah-masalah yang timbul dari pengenalan sistem pendidikan sekuler yang berdampingan dengan sistem islami yang ada, seperti madrasah dan tekke Sufi. Dia yakin percabangan ini akan menjadi penyebab utama kemunduran “peradaban Islam”, dan “menggoyahkan landasan moralitas Islam” dan “memecahkan persatuan bangsa”. Dengan rencana-rencananya untuk merestrukturi-sasi sistem pendidikan di timur, dia bertujuan mendamaikan dan meng-gabungkan aliran-aliran yang terpisah ini melalui pendidikan, sehingga menyatukan kembali masyarakat yang terpecah belah di dalam Islam dan memulihkan pelanggaran-pelanggaran di dalam budaya Islam pribumi.

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 74-79)