• Tidak ada hasil yang ditemukan

di Kalangan Suku-suku Anatolia Timur

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 125-132)

Sekembalinya di Van, Nursi tinggal selama beberapa bulan di mas-jid Iskandar Pasya untuk melanjutkan mengajar.7 Mulai pertengahan hing ga akhir musim panas, dia beserta sejumlah muridnya bepergian mengunjung i suku-suku Anatolia Timur. “Dengan menjadikan gunung-gunung dan dataran tinggi sebagai madrasah,” tulisnya, “saya meng-ajarkan tentang konstitusionalisme.” Dia menengarai bahwa pemahaman tentang bidang ini “sangat aneh dan membingungkan,” dan karenanya dia menyarankan kepada orang-orang dari suku-suku tersebut untuk meng-ajukan pertanyaan, lalu dia akan menjawabnya. Setelah itu dia membuat kompilasi hasil tanya jawab itu dan menerbitkannya dalam bahasa Turki pada 1913 dengan judul Munazarat (Perdebatan). Dia juga menyiap kan versi bahasa Arab-nya dengan judul Rahatat al-Awam (Resep bagi Orang

Awam).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup berbagai persoalan yang ada kaitannya dengan kebebasan dan rezim baru, serta berbagai kon-sekuensi bagi orang-orang dan pemimpin suku-suku tersebut. Jawaban-jawaban tersebut merupakan salah satu sumber utama gagasan-gagasan Nursi tentang bidang itu dan juga menjadi karya penting sekaligus

mena-rik yang patut mendapat lebih banyak perhatian, lebih dari yang dapat disam paikan di sini. Sebagian dari gagasan-gagasannya yang berkenaan dengan konstitusionalisme telah disampaikan pada bagian-bagian ter-dahulu. Di sini akan disampaikan beberapa tambahan berkenaan dengan definisi serta keterkaitannya dengan syariat. Selanjutnya, dijelaskan pula tentang bagaimana tatanan yang baru itu nantinya bisa mendatang-kan kemajuan (dalam hal ini contohnya suku Kurdi) serta menyatumendatang-kan kekaisaran Usmani dan juga Dunia Islam melalui “kebangkitan rakyat” dan tumbuhnya kesadaran untuk menjadi individu-individu yang man-diri, mau berusaha dan bersedia mengorbankan diri sebagai bagian dari “negara Islam”. Namun pertama-tama hendaknya diperhatikan bahwa Nursi tidak lepas tangan dari perjuangan ini, dia juga tidak membatasi diri pada tulisan atau yang sifatnya teoretis. Dia memperjuangkannya hingga ke Istanbul, hanya untuk memberitahukan kebutuhan rakyat Timur dan dengan segenap daya upaya berusaha melanjutkan rencana reformasi pendidikannya. Kemudian dia kembali ke kampung halaman-nya dan menjelajahi daerah-daerah berbahaya, bergunung-gunung, ter-belakang dan kawasan-kawasan kumuh. Dia ingin bertemu dengan orang kebanyakan, orang-orang yang derajatnya terangkat menjadi “pemegang kedaulatan” karena penerapan sistem konstitusional. Mereka inilah yang akan membangun masa depan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan awal dari orang-orang awam itu, Nursi memberikan perbandingan antara despotisme dan kon-stitusionalisme:

Despotisme adalah penindasan. Ia memperlakukan “yang lain” secara se-mena-mena. Pemaksaan yang dilakukannya bergantung pada kekua-tan. Ia adalah pendapat satu orang. Ia menjadi lahan yang subur untuk terjadinya eksploitasi. Ia merupakan landasan bagi tirani. Ia menafikan kemanusiaan. Despotisme inilah yang merendahkan martabat manusia hingga menjadi hina dina. Ia telah menyebabkan dunia Islam tenggelam dalam kehinaan dan degradasi, yang menimbulkan permusuhan dan iri dengki, yang telah meracuni Islam—dan pada kenyataannya ia mene-barkan racun yang menular ke mana-mana, serta menimbulkan konflik berkepanjangan dalam Islam sehingga melahirkan aliran-aliran yang menyimpang seperti Mu’tazilah, Jabbariyah, dan Murji’ah ...8

Al-Qur’an yang berbunyi: “Dan bersmusyawarahlah dengan mereka dalam

urusan itu” (QS. Ali-Imbran, 3:159) dan “Yang urusannya diputuskan dengan bermusyawarah antara mereka” (QS. asy-Syuura, 42:38). Musyawarah

ini-lah yang dianjurkan oleh syariat. Nyawa dari badan yang mulia ini adaini-lah kebenaran, bukan kekuatan. Jantungnya adalah pengetahuan; lidahnya adalah cinta kasih. Pikirannya adalah hukum, bukan individu. Sebenarnya konstitusionalisme adalah kedaulatan bangsa ...”9

Selanjutnya, ketika ditanyai mengapa dia memuja pemerintahan hingga sebegitu tingginya, Nursi menjawab:

Ketika sebuah pemerintahan memilih konstitusionalisme, gagasan ke-bebasan membangkitkan konstitusionalisme dalam segala bidang. Ga-gasan ini melahirkan semacam konstitusionalisme di semua bidang pe kerjaan, menurut panggilan hidup masing-masing. Hal ini meng-akibat kan terbentuknya semacam konstitusionalisme di kalangan para ulama, di madrasah-madrasah, dan di antara para siswa. Bahkan, hal ini memicu terciptanya konstitusionalisme dan pembaruan tertentu di segala bidang pekerjaan. Yang membuat saya sangat menyukai peme-rintahan konstitusional adalah kilasan-kilasan musyawarahnya yang ke mudian mengisyaratkan adanya sinar kebahagiaan dan memunculkan hasrat, daya tarik-menarik, dan keselarasan ...”10

Ketika ada yang mengatakan, “Sebagian orang bilang (konstitusional-isme) itu bertentangan dengan syariat,” Nursi menanggapinya demikian:

Semangat konstitusionalisme berasal dari syariat dan rohnya juga dari sana. Tetapi keadaan menyebabkan sebagian detailnya hilang untuk sementara waktu. Segala situasi yang timbul selama masa konstitu-sional tidak mesti berasal dari konstitukonstitu-sionalisme. Apa kiranya yang sesuai dengan syariat dalam segala hal? Apakah ada yang mengikutinya dalam segala hal? Karena keadaannya demikian, maka sebuah pemerin-tahan, yang juga merupakan lembaga korporat, juga tidak terlepas dari kesalah an. Mungkin hanya kota khayalan Plato saja yang bisa seperti itu. Meski demikian, dalam konstitusionalisme, jalan menuju kekejaman relatif terhambat. Dalam depotisme, kekejaman bisa berjalan lancar.11 Jadi, pendekatan Nursi bisa dianggap realistis. Kendati pada dasarnya konstitusionalisme tidak berbeda dengan prinsip-prinsip Islam, situasi yang teramat sulit pada masa itu menuntut adanya pendekatan yang terukur dan berimbang. Yang menjadi persoalannya adalah “menjadikan

konstitusionalisme sejalan dengan syariat secara mutlak dan seimbang dengan mempertimbangkan kebutuhan.”12

Orang-orang dari suku-suku tersebut juga mengajukan berbagai per-tanyaan mengenai kebebasan, yang telah digambarkan kepada mereka sebagai lisensi, ketidakpatuhan, kelonggaran peraturan. Nursi menyam-paikan definisi berikut:

Kebebasan yang indah itu terwujud dan dihiasi tingkah laku yang baik menurut syariat. Kebebasan untuk bersikap tidak patuh dan berperilaku culas itu tidak bisa disebut kebebasan; itu kebinatangan; itu tirani setan; itu budak yang diperintah oleh roh jahat. Kebebasan umum merupakan hasil dari bagian kebebasan individu. Ciri kebebasan adalah ketika kita tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.13

Kebebasan adalah ini: terlepas dari hukum keadilan dan hukuman, tidak ada orang yang boleh menguasai orang lain. Hak setiap orang di-lindungi. Setiap orang bebas melakukan tindakan apa saja, asalkan tidak melanggar hukum. Diterapkannya larangan: “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah (QS. Ali

Im-bran, 3:64).14 Artinya, “kebebasan bersumber dari iman kepada Tuhan.” Karena, “iman tidak perlu menurunkan derajat yang lain melalui tirani dan penindasan, dan merendahkan orang lain, bukan merendahkan diri di hadapan penindas. Seseorang yang menjadi hamba Tuhan tidak bisa menjadi hamba orang lain.” “Artinya, betapa pun sempurna keyakinan itu, kebebasan akan memancar dengan ke-kuatan yang sebanding de-ngannya.”15

Nursi juga mengemukakan bahwa kebebasan tidak boleh dilepaskan dari semua ikatan sosial dan peradaban: “Malahan, yang bersinar bagai-kan sang surya, yang terkasih dari setiap jiwa, dan yang merupabagai-kan haki-kat kemanusiaan adalah kebebasan yang bertakhta di istana peradaban nan patut dan yang dilengkapi pengetahuan, kebajikan, dan perilaku serta busana Islam nan indah.”16

Nursi disodori pertanyaan oleh orang-orang suku tersebut menga-pa mereka belum melihat manfaat dari amenga-pa yang diterangkannya. Nursi menjawab bahwa yang menghambatnya adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebodohan, kemiskinan, kebencian internal, dan ku-rang nya adab. Yang ingin dia sampaikan adalah bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas hal itu, namun dia menambahkan bahwa dia

hanya menunjukkan kesalahan-kesalahan mereka untuk “mengentaskan mereka dari kemalasan.” “Jika kalian ingin konstitusionalisme segera ter-wujud, bangunlah jalur rel kereta api melalui pendidikan dan kebajikan sehingga bisa dilalui kereta api karya cipta dan prestasi yang disebut per-adaban, dan memuat benih kemajuan, mengatasi kendala dalam waktu singkat dan bisa kalian nikmati. Kedatangannya tergantung secepat apa kalian membangun rel tersebut.”17

Patut kiranya kami sampaikan cerita berikut: selama perjalanannya di kawasan tersebut, Nursi sampai di Urfa dari Diyarbakir. Kemudian dia berjalan-jalan di kawasan sekitar dan, saat sudah kembali ke Urfa, Nur-si berceramah di hadapan sekumpulan orang di halaman masjid Yusuf Pasya. Dia memulai khotbahnya dengan menjelaskan bahwa di salah satu tempat yang telah dikunjunginya dia bertanya kepada seorang penduduk desa tentang keadaan pertanian setempat. Apa pun pertanyaan yang Nur-si ajukan kepadanya, penduduk desa itu menjawab: “Yang tahu Aga (tuan tanah feodal atau kepala suku) kami.” Nursi berkata padanya: “Nah, dalam hal ini, saya akan berbicara dengan kecerdasan kalian, yang ada di suku

aga kalian itu!” Dan dia meneruskan dengan menganjurkan agar dia tidak

akan merujuk segala sesuatunya kepada aga tetapi mulai berusaha dan berinisiatif, dan agar dia mengetahui segala macam persoalan yang ada sangkut pautnya dengan desa itu. Dia menjadikan cerita ini sebagai dasar pijakan khotbahnya.18

Contoh-contoh tersebut menunjukkan pesan Nursi kepada orang-orang itu bahwa jalan menuju masa depan ada di tangan mereka sendi ri. Inilah yang disebut kedaulatan bangsa. Ketika ditanya soal kedudukan ke-pala suku dan para pemimpin mereka—karena secara tradisional sebuah suku didominasi oleh kepala suku, tetua, dan tokoh agama—Nursi men-jawab sebagai berikut:

Setiap era punya kekuasaan dan penguasanya sendiri. Bagi kalian, se-orang aga dibutuhkan untuk menjalankan mesin era terdahulu. Jadi, kekuasaan imateriel pada era despotisme adalah kekuatan; siapa saja yang memiliki pedang yang tajam dan hati yang keras akan menjadi penguasa. Adapun pada era konstitusionalisme, yang menjadi sumber, semangat, kekuatan, penguasa serta aga adalah kebenaran; kekuatan-nya adalah akal budi, pengetahuan, hukum, dan opini publik. Siapa pun yang memiliki pikiran cerdas dan hati yang lembut akan menjadi

pe-nguasa. Karena pengetahuan meningkat seiring dengan bergulirnya zaman dan kekuatan senjata berkurang, maka pemerintahan Abad Per-tengah an, yang bergantung pada kekuatan senjata, pasti akan sirna. Karena pemerintahan modern bersandar pada sains, maka ia akan abadi.

Dengan berbicara seperti itu, Nursi tidak bermaksud menyerang para tetua atau kepala suku. Namun dia bermaksud menguraikan bagaimana dunia modern terbentuk dan juga menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh jika mereka tidak ingin ketinggalan zaman. Dalam tatanan baru, para pemimpin menjadi abdi bagi rakyat dan bangsa. Sambungnya:

“Wahai bangsa Kurdi! Jika ketajaman pedang mereka bergantung pada kekuatan fisik, niscaya para bey, aga, dan bahkan para syekh kalian itu akan jatuh. Dan mereka layak mendapatkannya. Namun jika mereka bersandarkan pada akal budi, bukannya kekuatan, dan menggunakan cinta kasih serta lebih mengutamakan pikiran ketimbang emosi, maka mereka tidak akan jatuh; bahkan, mereka akan bangkit.”19

Di bagian lain dalam khotbahnya itu kita akan mengetahui bahwa kritik utama Nursi ditujukan kepada para kepala suku. Tetapi, di sini dia menyebutkan bahwa yang “dia serang” adalah para kepala suku terda-hulu, dan Nursi menggambarkannya sebagai “kejahatan despotisme” lain. Sesuatu yang telah mengeruk sumber daya materiel maupun moral bang-sa sehingga menghilangkan rabang-sa kebangbang-saan dan memecah belah serta menghancurkan persatuan bangsa adalah “beberapa kepala suku, dan sejumlah penipu yang berlagak sebagai pejuang yang mengorbankan diri demi bangsa, dan sejumlah syekh palsu yang tidak memiliki kecakapan tetapi mengaku memiliki kekuatan spiritual luar biasa.”20 Gagasan me-ngenai kolektivitas, atau “kepribadian kolektif” atau “identitas maknawi” (sahs-i manevi) dari sebuah bangsa atau lembaga sosial, semacam ini acap kali dijumpai dalam tulisan-tulisan Nursi. Dia menggambarkan zaman modern sebagai “masanya kelompok atau lembaga sosial (cemaat) ... Jika ‘kepribadian kolektif’ yang merupakan roh dari lembaga sosial itu baik, maka ia lebih cemerlang dan lengkap dibandingkan [dengan kepribadian individu]. Namun jika buruk, ia akan jauh lebih buruk.”21 Dengan kata lain, Nursi menyarankan kepada rakyat Anatolia Timur bahwa tugas mereka sekarang adalah menghapus loyalitas dan kepentingan tradisional mere-ka yang picik, mengembangmere-kan cakrawala pikir meremere-ka, dan membangun kesadaran mereka akan kebangsaan Islam. Dia berkata kepada mereka:

Jika saja mempertaruhkan hidupnya hanya untuk mendapatkan peng-hasilan kecil, reputasi yang sekadarnya, kemuliaan semu, mendengar pujian ‘Kamu sungguh pahlawan pemberani,’ atau menjunjung tinggi kehormatan aga mereka itu bisa bangkit, akankah mereka mau mem-pertaruhkan nyawa mereka, dan ribuan nyawa lainnya jika mereka pu-nya, demi bangsa Islam yang tidak ternilai harganya karena membuat mereka mendapatkan persaudaraan dan dukungan moral dari tiga ratus juta umat Islam itu?

Selanjutnya, Nursi mengatakan bahwa pada hakikatnya kesediaan untuk mengorbankan nyawa demi bangsa merupakan bagian dari morali-tas Islam yang luhur dan merupakan syarat mutlak dari moralimorali-tas Islam itu telah dicuri oleh orang-orang di luar Islam. Itulah landasan kemajuan modern. Katanya lagi: “Dengan sepenuh jiwa, nyawa, kesadaran, pikiran, dan seluruh kekuatan, kita harus menyatakan: ‘Meskipun kita mati, Is-lam, yang merupakan kebangsaan kita, akan tetap hidup; ia akan hidup selamanya. Asalkan bangsaku kuat dan sehat. Pahala akhirat sudah cukup buatku. Hidup yang kusumbangkan kepada bangsaku itu akan membuat-ku hidup; ia akan membuatmembuat-ku bahagia di kehidupan nanti.”22

Singkatnya: dengan “dihancurkannya rintangan yang bernama des-potisme itu,” konstitusionalisme dan gagasan kebebasan telah menyebar ke seluruh Dunia Islam dan melahirkan suatu kebangkitan yang menye-luruh, dan telah membawa kemajuan dalam hal pemikiran dan juga pe-rubahan-perubahan besar. Hal ini dikarenakan kehancuran despotisme telah “menunjukkan eksistensi bangsa,” dan pada gilirannya, “mutiara Islam yang tersimpan dalam tiram kebangsaan mulai tampak.” Islam se-dang bergerak-gerak, mulai hidup. Sudah jelas bagi kaum Muslimin bahwa mereka tidak terpisah dan tercerai-berai, melainkan terhubung satu sama lain karena kepentingan bersama dan perasaan bersaudara. Dunia Islam disatukan seperti sebuah suku bangsa. Gerakan-gerakan ini juga mem-buat kaum Muslimin sadar bahwa mereka memiliki sumber kekuatan dan dukungan yang besar. Hal ini telah melahirkan harapan yang telah me-numbuhkan semangat mereka, yang sebelumnya diluluhlantakkan oleh rasa putus asa.23

Dari sini, kita bisa tahu mengapa Nursi bersikeras mendukung rezim yang ada, meskipun sah-sah saja bila ada yang keberatan berkenaan de-nga n CUP. Untuk menjawab keraguan dan keberatan yang diajukan

pada-nya oleh para anggota suku-suku tersebut, dia menegaskan bahwa rezim yang ada itu “terbaik di antara yang terburuk” dan bahwa “jika sekarang musyawarah sedikit menyimpang dari syariat, itu lebih baik karena da-hulu malah sangat-sangat menyimpang.”24 Dengan menjelaskan seperti ini, dia menghilangkan kekhawatiran terhadap agama, yang menurut mereka berada di bawah ancaman revolusi. Sebaliknya, konstitusional-isme merupakan cara untuk melindungi Islam. Keyakinan terhadap Islam dan keberagamaan yang ada di balik opini publik bangsa merupakan cara yang jauh lebih pasti, lebih efektif, dan mulia untuk melindungi agama daripada membiarkannya dalam perlindungan “seorang sultan yang telah kalah dan dirundung kesusahan, atau para pejabat yang suka menjilat, atau sejumlah polisi yang keterlaluan.”25

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 125-132)