• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tawanan Kamp Perang

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 182-192)

Nursi dikirim ke Provinsi Kosturma di Rusia barat daya. Pertama dia dikirim ke Kota Kologrif, kemudian ke sebuah kamp di Kota Kosturma di Sungai Volga. Menurut salah satu sumber, sebelum dikirim ke Kosturma itu, Nursi tinggal beberapa saat di sebuah kamp besar di sebuah tempat yang lebih masuk di kawasan kosong utara. Di sinilah dia menghabiskan sebagaian besar masa tahanannya. Beberapa orang sesama tawanan

mem-berikan berbagai cerita mengenai Nursi dan aktivitasnya selama berada di kamp penahanan. Sebagai kepala komandan sebuah resimen, dia memiliki otoritas. Dia memanfaatkan otoritas ini untuk menjamin kebebasan para tawanan dalam menjalankan ibadah mereka. Dia berhasil mendapatkan kebebasan bagi mereka untuk menjalankan shalat lima waktu, yang di-imaminya, dan mendapatkan sebuah ruangan yang digunakan sebagai musala (tempat shalat). Sebagai seorang komandan dia juga mendapat gaji, yang nyaris seluruhnya dimanfaatkan untuk kepentingan musala dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi para tawanan. Dia berada dalam sebuah kelompok yang beranggotakan kurang lebih sembilan puluh tentara. Dia memberikan ders atau pelajaran agama kepada mereka. Keadaan di kamp serba sulit; musim dingin terasa lama, gelap, dan sangat dingin. Dengan cara ini dia berusaha menjaga semangat para tawanan.

Mustafa Yalcin, yang uraiannya tentang Nursi di garis depan Pasinler telah dikutip di atas, sudah berada di kamp ketika suatu hari dalam keter-kejutannya melihat Nursi dibawa ke sana. Dari yang bisa diingatnya, dia mengatakan:

Ketika kami sampai di sana, mereka bilang ada sejumlah tawanan yang datang dari front timur. Karena penasaran, kami semua berkumpul di luar. Banyak sekali tawanan, tetapi hanya ada dua yang mereka bawa dari sisi lain dan mengamati kami. Aku melongok dan tiba-tiba kulihat bahwa mereka itu adalah Molla Said beserta para muridnya; salah sa-tunya adalah seseorang yang kami sebut Iznikli Osman. Dia membawa koper yang berisikan kitab-kitab ustaz. Ustaz melarang siapa pun mene-maninya selain Osman. Osman memenuhi kebutuhannya. Beliau terlu-ka. Rupanya yang terluka adalah kakinya. Mereka merawatnya di sana. Mereka menempatkan ustaz di sebuah asrama.

Saat itu cuaca sangat dingin, dan kami kesulitan membedakan an-tara siang dan malam. [Di musim panas] matahari tidak terbenam. Be-gitu pula Molla Said Efendi, beliau tidak tinggal diam pada malam hari. Biasanya beliau pergi ke kamp-kamp lain dan membacakan kitab untuk mereka, kendati itu dilarang. Biasanya beliau sendiri yang mengimami shalat kami di siang hari. Semula mereka ikut campur dan melarang kami shalat. Kemudian ustaz berbicara kepada mereka sehingga mereka memberi kami sedikit kebebasan. Mereka tidak menghendaki kami ber-kumpul dalam jumlah yang terlalu banyak pada saat bersamaan. Kami biasa menyebut Nursi “Kepala Urusan Keagamaan.” Beliau biasa

mene-rangkan agama bahkan kepada para penjaga Rusia sekalipun. Para ten-tara itu akan menegur siapa saja yang mendengarkan Molla Said. Molla Said selalu membangkitkan semangat kami. “Jangan khawatir”, katanya. “Kita akan selamat”. Saya tidak pernah melihat beliau tidur di malam hari. Beliau selalu membaca dan mencatat. Beliau berkata kepada kami: “Orang-orang ini kelak juga akan jadi Muslim, hanya saja mereka be-lum tahu.” Kami tidak pernah takut atau tertekan selama beliau bersama kami.

Selanjutnya, Mustafa Yalcin menguraikan bagaimana suatu malam dia melarikan diri bersama sekitar tujuh belas tawanan lain. Nursi meno-lak bergabung dengan mereka, tetapi di salah satu kelompok ada seorang mayor yang pernah dilatihnya. Dia bertindak sebagai pemandu mereka, mencari jalan keluar “dari segala permasalahan mulai dari yang paling sulit hingga yang paling mudah.” Katanya: “Molla Said sama sekali tidak gentar. Beliau berjuang demi Islam baik siang maupun malam.” Beliau se-lalu berkata, “Yang penting adalah iman kepada Allah” dan “Iman kepada Allah itu lebih dari segala-galanya.”58

Seorang kawan lain sesama tawanan, Dr. M. Asaf Disci, mengingat bahwa dia pertama kali bertemu dengan Nursi di Kota Kologrif. Mereka bersama di sana selama sekitar enam bulan kemudian Nursi dikirim ke penjara kamp perang besar lainnya yang letaknya jauh lebih ke dalam. Di Kologrif mereka ditempatkan di sebuah gedung bioskop, dan dia membagi gedung ini. Sebagian dia jadikan masjid. Selanjutnya, Dr. Asaf Disci me-nambahkan:

Karena dia adalah komandan sebuah resimen, para tawanan lain mena-ruh hormat kepadanya, tetapi dia biasanya mengatakan: “Aku ini seorang hoca [guru].” ... Hidupnya amat bersahaja. Dia bisa bertahan hanya de-ngan makan dua butir telur dan sepotong roti dalam sehari ... Waktunya selalu padat. Dia membacakan tafsir Al-Qur’annya, lalu meng ajarkan kepada para tawanan. Tentara dan orang-orang memberikan perlakuan yang sangat berbeda kepadanya, mereka menghormatinya.59

Mustafa Bolay, seorang tawanan yang menghabiskan waktu enam bu-lan di kamp Kosturma bersama Nursi, menyatakan bahwa pasukan Rusia ingin membunuh Nursi dan dia juga menyatakan bahwa yang membuat Nursi dikirim ke kamp itu adalah panglima tertinggi militer.

Abdurrah-man, keponakan Nursi yang menulis biografi singkat tentang pamannya, membuktikan pernyataan ini.

“Mereka mengirim pamanku ke Kosturma melalui Van, Julfa, Tiflis, dan Kologrif. Aku ingin menggambarkan secara perinci segala bahaya yang dihadapinya pada saat ini—tentara Rusia ingin membunuhnya dalam beberapa kesempatan dan mengatakan bahwa dia mencoba bunuh diri— tetapi dia tidak mengizinkannya, maka saya menuliskannya secara sing-kat.”60

Mustafa Bolay serta Mustafa Yalcin menceritakan sebuah kejadian di kamp tawanan perang yang melibatkan Nursi. Tidak pelak lagi, cerita itu membuat takjub para tentara yang menawannya maupun tawanan lain-nya.

Suatu kali Nicholas Nicholayavich, paman Tsar, sekaligus komandan kepala pasukan Rusia di front Kaukasus, melakukan inspeksi di kamp ter-sebut. Ketika berkeliling, dia melintasi tempat Nursi yang sedang duduk. Nursi tidak memerhatikan dan sama sekali tidak bergeming. Sang jenderal memerhatikannya, dan bisa menerima, lalu melintas untuk kedua kalinya tapi Nursi masih juga tidak berdiri. Maka, dia melintas untuk ketiga kali-nya, dan berhenti. Dia bertanya kepada Nursi melalui seorang juru bahasa:

“Kamu tahu siapa aku?” “Ya, saya tahu,” jawab Nursi.

“Lantas kenapa kamu menghinaku?” Tanya jenderal.

“Maafkan saya, tetapi saya tidak bermaksud menghina. Saya hanya menjalankan apa yang diwajibkan keyakinan saya.”

“Apa yang diwajibkan oleh keyakinanmu?”

“Saya ini seorang cendekiawan Muslim, dan saya memiliki iman di hati sanubari saya. Seorang yang beriman lebih tinggi kedudukannya dibanding orang yang tidak beriman. Kalau saya berdiri, itu berarti saya melecehkan keyakinan saya. Maka dari itu, saya tidak berdiri.”

“Kalau begitu kamu mengatakan bahwa aku tak memiliki iman, dan kamu menghina diriku sekaligus dinas ketentaraan yang menjadikan aku salah satu anggotanya, juga negaraku, dan Tsar. Pengadilan militer akan segera dilaksanakan, dan kamu akan dimintai keterangan.”

Sesuai perintah jenderal, maka pengadilan militer pun dilaksanakan. Tentara Turki, Jerman, dan Austria datang ke markas dan berusaha

mem-bujuk Nursi agar minta maaf kepada jenderal, tetapi katanya kepada me-reka:

“Aku menginginkan kerajaan akhirat dan menjadi bagian dari umat Rasullullah, dan aku harus mempunyai paspor untuk itu. Aku tidak bisa mengkhianati keyakinanku.”

Demi mendapatkan jawaban ini, mereka pun hanya bisa menunggu putusan pengadilan. Interogasi selesai. Kemudian putusan yang diambil adalah Nursi harus dieksekusi di lapangan karena menghina Tsar dan ten-tara Rusia.

Ketika pasukan datang untuk menjalankan hukuman, Nursi meminta waktu lima belas menit “untuk menjalankan kewajiban.” Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk berwudhu dan shalat dua rakaat. Jenderal Ru-sia tiba di tempat kejadian ketika Nursi sedang melaksanakan shalatnya. Seketika itu juga sang jenderal menyadari kesalahannya dan mengatakan kepada Nursi seusainya shalat: “Maafkan aku! Kukira engkau berperilaku seperti itu untuk menghinaku, maka aku mengambil tindakan yang aku anggap tepat. Sekarang aku tahu, kamu hanya menjalankan apa yang diwajibkan oleh keyakinanmu. Hukumanmu dihapuskan. Engkau layak mendapat penghargaan atas keteguhanmu kepada keyakinan yang kau anut. Sekali lagi aku minta maaf.”61

Nursi menyebutkan peristiwa yang menunjukkan keberaniannya dan kebanggaannya yang luar biasa terhadap Islam ini dalam sepucuk surat yang dia tulis untuk salah seorang muridnya yang sedang berada di pen-jara lain, Afyon, pada 1949. Kisah itu dimuat di surat kabar.

Peristiwa yang terjadi saat saya dipenjara pada dasarnya memang benar, tapi saya tidak menguraikannya secara perinci karena saya tidak punya saksi. Bagaimanapun juga, [semula] saya tidak tahu bahwa skuat itu datang untuk mengeksekusi saya. Baru kemudian saya mengetahuinya. Saya juga tidak tahu kalau komandan Rusia itu mengatakan sesuatu dalam bahasa mereka untuk menyampaikan permintaan maafnya. Se-lanjutnya, kapten Muslim yang pada saat itu berada di sana dan me-nyampaikan kepada surat kabar tentang peristiwa itu mengerti bahwa komandan itu berulang kali mengatakan: “Maafkan aku! Maafkan aku!”62 Pada musim gugur 1918, Nursi mendapat kesempatan untuk melari-kan diri di tengah kekacauan yang diakibatmelari-kan pecahnya Revolusi

Bolshe-vik. Pada tahun-tahun berikutnya, dia menulis sebuah deskripsi menarik tentang “kebangkitan sementara” yang dialaminya di dalam ke ge lapan musim dingin pada hari-hari terakhir menjelang pelariannya. Dia juga menulis tentang betapa mudahnya dia melarikan diri. Rasanya seperti mukjizat. Sebelum kami berikan kutipan panjang, perlulah kiranya disam-paikan bahwa pada 2002 masih hidup seorang perempuan Tatar berusia sembilan puluh tujuh tahun di Kosturma. Ketika berusia delapan tahun, perempuan ini biasa melihat Nursi dari jendela atau pintu masjid di Vol-ga. Aisya Apa, putri Mametiyeva, tinggal di sebelah masjid dan biasa me-nyaksikan “sang kolonel” shalat di sana. Di masjid itu, busananya berbeda denga n busana orang lain. Dia mengenakan turban dan jubah, serta topi bulu Tatar.63 Deskripsi Nursi, sebagai berikut:

Pada Perang Dunia I, sebagai seorang tawanan, saya berada di Provin-si Kosturma yang jauh di RuProvin-sia Utara. Di sana ada sebuah masjid kecil milik orang Tatar di samping Sungai Volga yang terkenal. Saya sering kali merasa jenuh berada di antara teman-teman dan tentara-tentara lain. Saya mendambakan keheningan, tetapi tidak mungkin keluar tanpa izin. Kemudian, dengan jaminan tertentu, mereka berhasil membawa saya ke ka wasan Tatar, ke masjid kecil di tepian Volga. Biasanya saya tidur sendiri an di mesjid itu. Musim semi sudah dekat. Biasanya saya terjaga pada malam-malam nan panjang di negeri utara itu. Percikan air nan pilu dari Volga dan rintik hujan yang muram serta hembusan angin yang sedih pada malam-malam kelam di pengasingan yang gelap itu ter-kadang membangunkan saya dari tidur nyenyak. Saya tidak menyadari kalau diri saya sudah tua, tetapi semua orang yang mengalami Perang Besar pasti juga cepat tua. Sebab, itulah hari yang membuat siapa saja jadi tua, bahkan anak-anak. Seolah-olah hal ini membuktikan ayat “Hari

yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. al-Muzzammil, 73: 17). Dan

ketika usia saya menginjak 40 tahun, saya merasa seperti sudah berumur delapan puluh tahun. Pada malam-malam gelap dan panjang dan peng-asingan penuh penderitaan serta keadaan yang menyedihkan itu, saya merasa kehilangan harapan atas kehidupan dan kampung halaman saya. Saya mengamati ketidakberdayaan dan kesendirian saya, serta harapan saya yang telah sirna.

Kemudian, dalam keadaan semacam ini, datang pertolongan dari Al-Qur’an al-Karim. Lidahku berucap: “Cukuplah Allah menjadi Penolong

Hati saya menangis tersedu-sedu: “Saya ini orang asing, sendiri, le-mah, tidak berdaya: aku mohon belas kasihmu, aku mohon ampunanmu, aku mohon pertolonganmu, wahai Tuhanku!”

Saat memikirkan sahabat-sahabat lama saya di kampung halaman, seperti Niyazi Misri, dan membayangkan saya akan mati di pengasingan, jiwaku mengungkapkan baris-baris ini:

Lari dari derita dunia,

Terbang bersama kasih dan kerinduan. Kukepakkan sayapku di ruang hampa, Menangis di tiap helaan napas, Sobat! Sobat!

Ia mencari sobat-sobatnya.

Bagaimanapun juga, kelemahan dan ketidakberdayaan saya menjadi penengah sungguh kuat di pengadilan Ilahi pada malam yang panjang, melankolis, menyedihkan, terpengaruh perpisahan hingga saya takjub ter-hadapnya. Sebab, beberapa hari kemudian saya melarikan diri denga n cara yang paling tidak terduga, sendiri, tanpa mengerti bahasa Rusia, menem-puh perjalanan selama setahun dengan berjalan kaki. Saya diselamatkan oleh keajaiban Ilahi, yang dikaruniakan sebagai ganti atas kelemahan dan ketidakberdayaan saya. Kemudian, setelah melintasi Warsowa dan Austria, saya tiba di Istanbul, sehingga luar biasa rasanya ketika saya diselamatkan dengan sebegitu mudahnya. Saya menyelesaikan perjalanan panjang itu dengan begitu mudahnya hingga bahkan para juru cerita Rusia yang paling berani dan terampil pun tidak bisa melakukannya.

Malam itu, di masjid yang berada di tepian Volga, saya memutuskan untuk menghabiskan seluruh hidup saya di gua-gua. Cukup sudah men-jalani kehidupan sosial dengan banyak orang. Sebab, pada akhirnya saya akan masuk ke dalam kubur sendirian, saya katakan sejak saat itu bahwa saya akan memilih keheningan sampai saya merasa terbiasa. Yang me-nyedihkan, hal-hal yang tidak ada artinya seperti kawan sejati saya yang jumlahnya sangat banyak di Istanbul dan kehidupan duniawi yang penuh kemilau di sana, dan khususnya kehormatan dan ketenaran yang dika-runiakan kepada saya, yang jauh lebih besar daripada yang berhak saya dapatkan, terkadang membuat saya melupakan keputusan saya sesaat. Seolah-olah malam di pengasingan itu merupakan kegelapan yang ber-sinar di mata hidup saya, dan siang hari yang berber-sinar di Istanbul, cahaya putih tanpa sinar di dalamnya. Saya tidak bisa melihat ke depan, ia

ma-sih tertidur. Sampai dua tahun kemudian, Gawth-i Jaelani membuka mata saya sekali lagi dengan kitab Futuh al-Ghaib.64

Catatan Akhir

1. Nursi, Ta’liqat, 92.

2. Sabis, Harp Hatıralarım, 1: 157, 158. 3. Ibid., 2: 32.

4. Ibid., 41.

5. Sebagai misal, Bitlisli Abdulmecit dalam Badıllı, Nursi, 1: 380; Molla Munev-ver dalam Badıllı, Nursi, 1: 382; Hulusi Bitlisi, dalam Badıllı, Nursi, 1: 382. 6. Nursi, Letters, 98; Nursi Emirdağ Lahikası(edisi 1959), 1: 272.

7. Abdulmecit (Nursi), Hatıra Defteri, 17; dikutip dalam Badıllı, Nursi, 1: 375. 8. Arif Cemil, Birinci Dünya Savaşında Teşkilat-i Mahsusa, 73.

9. Ibid., 27-28. Ini adalah satu bagian; bagian kedua beroperasi dari Trabzon. Organisasi Khusus yang mempersiapkan Kafkasya Ihtilal Cemiyeti (Perkum-pulan Revolusioner Kaukasus), yang tujuannya adalah untuk menggerakkan revolusi di Kaukasia dan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mem-percepat kekalahan Rusia.

10. Leverkuehn, Sonsuz Nöbette Görev, 29, 56.

11. Sabis, Harp Hatıralarım, 2:213. Untuk ‘Umur-u Sarkiye Dairesi,’ lihat Balcio-glu, Teskilat-i Mahsusa, 1-8.

12. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 168.

13. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 137-38, 148, 154, dan karya tersebut; Arif Cemil,

Birinci Dünya Savasinda Teskilat-i Mahsusa, 13-269.

14. Zurcher, Turkey, 144; Macfie, End of the Ottoman Empire, 154-5. 15. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 255-56.

16. Ibid., 257-58. 17. Ibid., 259.

18. Nursi, Emirdağ Lahikası(edisi 1959), 2: 13.

19. Ahlatli Ismail Hakki Arslan, dalam Şahiner, Son Şahitler, 5: 236-37. 20. Mustafa Yalcin, dalam Şahiner, Son Şahitler, 2: 21-22.

21. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 366. 22. Ibid., 427, 429.

23. Shaw dan Shaw, History, 1: 316; Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 40; Danişmend, Izahlı OsmanlıTarihi Kr’no lojisi, 4: 428. Danişmend mengatakan bahwa saat itu tanggal 13 April.

24. Öke, Yuzyılın Kan Davası, 132; Uslu, Badiuzzaman’in Kardeşi, 35; Erdem,

25. Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 36. 26. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 435. 27. Ibid., 437.

28. Shaw dan Shaw, History, 2: 316.

29. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 98.

30. Erdem, Davam, 194-95.

31. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 101; Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 36.

32. Sabis, Harp Hatıralarım, 2: 437.

33. Hukum yang mengatur relokasi orang-orang Armenia dikeluarkan pada 27 Mei 1915, tetapi deportasi tersebut nyatanya baru dimulai setelah terjadi-nya pemberontakan orang-orang Armenia di Van. Lihat Danişmend, Izahlı OsmanlıTarihi Kronolojisi, 4: 428 (24 April); Shaw dan Shaw, History, 2: 315-16.

34. Hulusi Bitlisi, dikutip dalam Badıllı, Nursi, 1: 382-83. 35. Erdem, Davam, 195.

36. Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 36. Dalam laporan Abdurrahman, Nursi kembali ke Van dengan sejumlah muridnya dan berhasil memasuki kota meskipun kota tersebut sedang diduduki Rusia dan orang-orang Armenia, dan pada saat inilah mereka melindungi diri mereka sendiri di benteng, baru pergi ketika mendapat perintah dari Cevdet Bey. Lihat Ibid., 36-37.

37. Documents sur les atrocités arméno-russes, 22-23, yang dikutip dalam Şahiner,

Bilinmeyen (edisi ke-6), 162-64. Di antara dokumen-dokumen yang

ditemu-kan baru-baru ini di antara arsip-arsip Kementerian Dalam Negeri Usmani, Direktorat Keamanan Umum, terdapat satu dokumen tertanggal 18 Haziran [1]338 (1 Juli 1916) yang jelas-jelas dokumen aslinya, sementara yang di-kutip di sini diambil dari kumpulan berbahasa Perancis. Dengan kata lain, penyunting karya yang berbahasa Perancis tetap saja menggunakan per-nyataan-pernyataan yang diambil oleh pemerintah Usmani.

38. Şahiner, Bilinmeyen (edisi ke-6), 158-59.

39. Untuk Kel Ali (selanjutnya disebut Ali Çetinkaya, pimpinan salah satu Peng-adilan Kemerdekaan pada 1925), lihat Zurcher, Unionist Factor, 81, 146. 40. Lihat Sabis, Harp Hatıralarım, 3: 77-79.

41. Lihat Stoddard, Teşkilat-i Mahsusa, 143-45.

42. Dalam Hatıra Defteri, hal. 16, saudara Nursi Abdulmecit berkata bahwa pra-jurit-prajurit yang melarikan diri itu telah ditinggalkan sebelas senapan di desa Liz. Lihat Badıllı, Nursi, 2: 402.

43. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 101.

44. Ada empat belas senjata berat dalam keterangan ini. 45. Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 37.

47. Şahiner, Bilinmeyen (edisi ke-6), 169-74.

48. Ubeid adalah putra kakak perempuan Nursi yang paling tua, Durriye. 49. Badıllı, Nursi, 1: 394.

50. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 102.

51. Jelas-jelas anggota Teskilat-i Mahsusa. Itu mungkin nama samaran. 52. Ali Cavus, dikutip dalam Şahiner, Bilinmeyen (edisi ke-6), 169-74. 53. Siddik Alp, dalam Şahiner, Son Şahitler, 4: 347.

54. Molla Munevver, dalam Şahiner, Son Şahitler (edisi 1980), 1: 80-81; Badıllı,

Nursi, 1: 393.

55. Hal ini ternyata benar, bukannya 27 hari sebagaimana diberikan dalam ca-tatan sebelumnya, meskipun sebenarnya perbedaan tiga belas hari antara penanggalan Rumi dengan Miladi mungkin bisa dijadikan alasan untuk ke-tidakcocokan ini.

56. Badıllı, Nursi, 1: 395-99.

57. Şahiner, Son Şahitler (edisi 1993), 1: 65-68.

58. Mustafa Yalcın, dalam Şahiner, Son Şahitler, 2: 23-24.

59. M. Asaf Disci, dalam Şahiner, Son Şahitler (edisi 1980), 1: 189-90. 60. Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 38.

61. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 103-4; Nursi, Rays, 520-21.

62. Nursi, Rays, 520.

63. Necmeddin Şahiner, “Kosturma,” Nur-The Light, n.s., April 2002, 58-60. 64. Nursi, Flashes, 299-301. Lihat Bab 8 n. 25 untuk Futuhul Gaib.

7

MASA-MASA GEnCATAn SEnJATA (1):

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 182-192)