• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khotbah damaskus

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 138-149)

Pada musim gugur 1910, Nursi berjalan ke selatan, dan sebelum musim semi tahun berikutnya dia sudah menempuh “perjalanan musim dingin melintasi kawasan-kawasan yang dihuni orang-orang Arab” untuk terus “mengajarkan tentang konstitusionalisme.”46 Dia melewati Diyarba-kir, Urfa, dan Kilis. Konon dia tinggal di tekke Syekh Efendi.47 Suatu ketika dia tiba di Damaskus, dan dia tinggal sebagai tamu di distrik Salhiyyah di kaki Jabal Qasyun. Di tempat yang memiliki komunitas suku Kurdi dan Turki yang lumayan besar inilah Maulana Khālid Baghdādi dimakamkan.48 Syahdan menurut sebuah catatan, tujuan awal Nursi pergi ke Kairo adalah untuk mempelajari Universitas al-Azhar dari dekat, namun dia membatal-kan niat ini begitu mengetahui bahwa semua ulama Damaskus adalah alumni dari al-Azhar dan bisa memberikan informasi yang dibutuhkan-nya.49 Versi lain mengatakan bahwa dia bermaksud menunaikan ibadah haji tahun itu (Idul Adha jatuh pada 21 November 1910), tetapi dia tidak sanggup melaksanakannya.50 Jika kita menengok catatan tentang masa lalu Nursi, kita akan menemukan bahwa dia banyak melakukan perde-batan mendalam dengan para ulama mengenai pusat pembelajaran Islam yang penting ini. Namun atas desakan para ulama, pada musim semi 1911 dia menyampaikan “Khotbah Damaskus” yang terkenal di Masjid Um-mayyad. Pasti saat itu dia cukup tenar hingga hampir sepuluh ribu orang, termasuk seratus ulama, hadir untuk mendengarkannya.51 Sesudah itu naskah khotbahnya dicetak dua kali dalam seminggu.

Dalam khotbahnya, Nursi mengemukakan argumentasi-argumenta-sinya untuk membuktikan bahwa kebangkitan Islam sudah dekat. Meski khotbah Nursi tersebut dirancang untuk memerangi “keputusasaan” yang dia identifikasi sebagai bahaya terbesar yang menghambat kemajuan

Is-lam saat itu, dan juga menekankan pentingnya regenerasi moral daIs-lam mencapai kemajuan tersebut, ada baiknya jika disertakan sejumlah fakta ringkas seputar situasi politik di provinsi yang dihuni orang-orang Arab ini. Keadaan politik tersebut ditandai dengan meluasnya kerusuhan.

Pada 1910, kelompok Turki Muda sendiri mengakui bahwa kebijakan utama Usmanisme mereka tidak berhasil. Bertolak belakang dengan yang kerap kali ditulis, hal ini bukannya membuat mereka memegang nasional-isme Turki. Mereka malah lebih memedulikan persatuan Islam, khususnya setelah terlepasnya Libia dan provinsi-provinsi Balkan.52 Pada saat baru dibentuk, di CUP maupun di partai-partai oposisi terdapat orang-orang Arab. Namun mereka tidak puas terhadap pemerintah, sebagian besar karena kebijakan pemerintahan yang terpusat, adanya kedudukan istime-wa bagi orang Turki dalam kepegaistime-waian, adanya sikap anti-Islam dalam CUP, dan adanya sejumlah pejabat yang tidak saleh.53 Antara 1910 hingga 1911, kita bisa melihat bagaimana perlahlahan tumbuhnya sikap an-tipati terhadap orang Turki di kalangan orang Arab. Salah satu alasannya adalah dikenalkannya bahasa Turki dalam seluruh cabang pemerintahan dan peradilan, yang dalam beberapa hal menggantikan bahasa Arab. Tu-juan utama dilakukannya hal ini adalah untuk mengukuhkan persatuan kekaisaran. Selama musim dingin 1910-1911, ketika Nursi berada di Da-maskus, ada beberapa faktor yang memperparah keadaan. Di antaranya semakin meningkatnya oposisi terhadap pemerintah pusat yang disu-arakan oleh pers “dengan sikap antibangsa Turki,”54 musim dingin yang benar-benar hebat, dan isu pendudukan Zionis di Palestina. Orang-orang berhati-hati untuk tidak menjual tanah kepada pendatang yang ingin menetap.55 Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Nursi sedang menyu-arakan kembali tema-tema semacam kemajuan, persatuan, dan dalam tin-dakan yang lebih rendah, pemerintahan konstitusional dengan cara yang berbeda sebagai obat penawar bagi segala macam kekuatan yang meme-cah belah itu.

Khotbah Nursi berbentuk enam “kata” yang diambil dari “apotek Al-Qur’an”, yang menjadi obat bagi “enam penyakit mengerikan” yang dia diagnosis telah menghambat perkembangan Dunia Islam. Dia mengurai-kannya sebagai berikut:

Melihat kondisi kawasan ini pada masa sekarang, saya telah memetik sebuah pelajaran di sekolah kehidupan sosial dan saya telah menyadari

bahwa yang membuat bangsa Eropa terbang jauh menuju masa depan dengan mengendarai kemajuan sambil menahan dan membuat kita ter-jebak di zaman Kegelapan, dalam hal kemajuan materiel, adalah enam penyakit mengerikan. Penyakit-penyakit tersebut, yaitu:

Pertama, hidup dan bangkitnya rasa putus asa dan tidak berdaya

dalam kehidupan sosial. Kedua, matinya kebenaran dalam kehidupan sosial dan politik. Ketiga, cinta kepada permusuhan. Keempat, tidak mengetahui adanya tali suci yang menyatukan kaum mukmin. Kelima, despotisme yang menyebar bagaikan penyakit menular. Dan keenam, hanya melakukan usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri.56

Nursi memulainya dengan mengutip ayat, “Janganlah kamu berputus

asa dari rahmat Allah” (QS. az-Zumar, 39:53), dan hadis: “Aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia,” yang menjadi dasar tema khotbah enam “kata” tersebut. Kata pertama adalah “Harapan”; di sini, perlulah kiranya disampaikan secara perinci karena pada yang pertama ini Nursi mengemukakan alasan-alasan yang lebih mendalam tentang mengapa dia optimisme dengan masa depan Islam. Di dalamnya berisi “beberapa argu-men awal” untuk argu-mendukung “keyakinannya yang kukuh” bahwa “masa depan hanya akan menjadi milik Islam dan kebenaran Al-Qur’an dan iman akan menjadi yang paling utama.” Premis dari argumen-argumennya itu adalah bahwa kebenaran Islam memang sangat bisa menghadirkan ke-majuan yang bersifat materiel serta dalam berbagai persoalan moral dan spiritual.”57 Aspek pertama adalah kemajuan dalam persoalan moral dan spiritual; aspek ini mengandung lima atau enam butir utama.

Nursi mengawali dengan mengutip ucapan masyhur komandan ter-tinggi militer Jepang bahwa berbeda dengan agama-agama lain, Islam memiliki kemampuan untuk maju dan memiliki segala yang dibutuhkan untuk mewujudkan peradaban sejati. Perlu kiranya disampaikan bahwa pengamatan yang cermat ini bukan hanya dilakukan oleh seorang non-Muslim, tetapi oleh seseorang berkebangsaan Jepang. Sebagaimana kita ketahui, bagi banyak pendukung konstitusionalisme, Jepang merupakan teladan karena sikap mereka yang hanya mengambil sains dan teknologi dari Barat dalam upaya mengejar kemajuan dan peradaban, namun tetap mempertahankan budaya serta moralitasnya. Nursi melanjutkan argu-mennya dengan menyatakan bahwa sejarah tidak pernah mencatat

ada-nya seorang Muslim yang memeluk agama lain karena tergoda keunggulan akal budi agama-agama lain tersebut, sedangkan karena “argumen yang masuk akal dan bukti-bukti tertentu,” para pemeluk agama lain “secara bertahap mendekati dan masuk Islam.” Kemudian dia menantang kaum mukminin: “Kalau kita bisa menunjukkan kesempurnaan akhlak Islam dan kebenaran iman melalui tindakan kita sehari-hari, tidak disangsikan lagi para pemeluk agama lain akan berbondong-bondong masuk Islam; bahkan semua orang yang tinggal di kawasan-kawasan dan negara-negara tertentu akan berlindung di dalam Islam.”

Selanjutnya, Nursi mendeskripsikan bagaimana manusia modern men cari agama sejati. Dia mengatakan bahwa perkembangan dalam sains beserta peperangan mengerikan dan berbagai peristiwa yang terjadi pada abad ke-20 telah membangkitkan keinginan dalam diri manusia untuk mencari kebenaran. Manusia telah tergerak oleh semua itu dan dia mema-hami “sifat sejati umat manusia dan kecenderungannya untuk memamema-hami segala hal secara menyeluruh.” Dengan cara itulah dia menyadari kebu-tuh annya akan agama, karena “satu-satunya penyangga bagi manusia yang tidak berdaya di hadapan berbagai macam bencana dan musuh dari luar maupun dalam yang menghancurkan mereka ... adalah iman, keya-kinan akan keberadaan Sang Pencipta alam, dan memercayai kehidupan akhirat. Selain hal-hal tersebut, tidak ada lagi pertolongan bagi manusia yang telah tersadar.” Selanjutnya, dia mengatakan bahwa seperti halnya seorang manusia, negara-negara juga mulai menyadari “kebutuhan yang besar umat manusia” semacam ini.

Selanjutnya, masih dalam argumen ini, Nursi mengemukakan bahwa Al-Qur’an berkali-kali “menyarankan agar manusia menggunakan akal budinya,” memerintahkan kepadanya agar memanfaatkan kecerdasannya dan merenungkan serta mengambil hikmah dari kehidupannya sendiri maupun kejadian-kejadian di masa lalu. Setelah menasihati para pende-ngarnya untuk memerhatikan peringatan-peringatan tersebut, Nursi me nyimpulkan bahwa di masa depan kehebatan Al-Qur’an akan diakui: “Kaum Muslimin yang juga merupakan murid-murid Al-Qur’an seperti kita ini hanya mengikuti bukti; kita mendekati kebenaran iman melalui akal, pemikiran, dan hati. Kita tidak meninggalkan bukti dan lebih memi-lih taklid buta dan begitu saja meniru para pemuka agama seperti dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, di masa depan, ketika yang

men-jadi ukuran adalah nalar, sains, dan teknologi, Al-Qur’an pasti dijunjung tinggi, karena ia bersandar pada bukti-bukti rasional dan selalu mengun-dang akal untuk membuktikan pernyataan-pernyataannya.”

Sebagai penutup “Aspek Pertama” ini, Nursi menguraikan “delapan kendala serius” yang telah “membuat Islam tidak berjaya di masa lalu,” namun kemudian hilang, dan Nursi melanjutkan uraian ini dengan peng-akuan akan kebenaran Islam dari dua “musuh” melalui bukti argumennya. Tiga kendala pertama yaitu “kebodohan bangsa Eropa, kebiadaban mereka di masa itu, dan fanatisme mereka dalam beragama. Ketiga ken-dala ini telah diruntuhkan oleh kebajikan ilmu pengetahuan dan peradab-an, dan kendala-kendala ini mulai sirna.”

Kendala keempat dan kelima yaitu “dominasi dan kekuasaan seme-na-mena para pendeta serta pemuka agama, dan kenyataan bahwa bangsa Eropa mematuhi dan mengikuti mereka secara membabi buta. Kedua ken-dala ini juga sudah mulai sirna dengan munculnya gagasan tentang kebe-basan dan hasrat untuk mencari kebenaran.”

Kendala keenam dan ketujuh ialah “despotisme yang menyertai kita dan tindakan-tindakan amoral maupun dekadensi moral karena kita me-nentang syariat.” Kedua hal ini juga mulai sirna sejak “bangkitnya sema-ngat (ghirah) Islam” dan tumbuhnya kesadaran bahwa tindakan-tindakan amoral itu tidak enak dilihat.

Kendala kedelapan ialah konflik semu antara ilmu pengetahuan mo-dern dan sebagian “makna kebenaran Islam sesungguhnya.” Maka, dapat dikatakan bahwa para ilmuwan dan filsuf menentang Islam karena me-reka tidak memahami makna sejatinya, tetapi “sesudah mempelajari ke-benarannya, filsuf yang paling keras kepala pun akan menerimanya.”

Nursi menutup “Aspek Pertama” itu dengan mengutip pengakuan tentang kebenaran Islam dari seorang filsuf Skotlandia abad kesembilan belas, Thomas Carlyle, dan dari pemimpin terkenal bangsa Prussia Otto van Bismarck (1815-1895). Berkenaan dengan kekuatan dari pengakuan ini, dia mengulang prediksi yang pernah disampaikannya kepada Syekh Bakhit: “Eropa dan Amerika tengah mengandung Islam dan suatu hari akan melahirkan sebuah negara Islam. Sama halnya dengan kekaisaran Usmani yang mengandung Eropa dan melahirkan sebuah negara Eropa.”

“Aspek Kedua” dalam argumen Nursi “memberikan bukti-bukti yang kuat tentang kemajuan materiel Islam dan supremasinya di masa

men-datang.” Kesemuanya ini berasal dari “lima kekuatan yang benar-benar ampuh dan tidak terkalahkan,” yang setelah “dicampur dan digabungkan ... akan tertanam di jantung kepribadian kolektif Dunia Islam.” Namun se-belum menguraikannya, dia menyampaikan hal yang sangat penting dan menarik bahwa Al-Qur’an mengajarkan kemajuan kepada manusia dan mendorong manusia untuk mencapainya. Dengan menyebutkan mukjizat para nabi, “Al-Qur’an memberitahu manusia bahwa peristiwa-peristiwa yang serupa dengan mukjizat-mukjizat itu akan muncul di masa yang akan datang melalui kemajuan dan mendorong mereka untuk berusaha mencapainya sambil seolah-olah berkata: “Ayo, bekerjalah! Berikan con-toh mukjizat-mukjizat itu! Seperti Nabi Sulaiman a.s. yang hanya mem-butuhkan satu hari untuk menempuh perjalanan yang umumnya membu-tuhkan waktu dua bulan! Seperti Nabi Isa a.s. yang bisa menyembuhkan penyakit paling mengerikan!” Kemudian dia menyebut mukjizat-mukjizat lain sebagai contoh.

Dari lima “Kekuatan” tersebut, yang pertama ialah “realitas Islam”. Kedua, “kebutuhan yang sangat besar dan kemiskinan yang sangat parah, yang memacu manusia untuk mengembangkan peradaban dan industri.” Ketiga, “kebebasan yang sejalan dengan syariat.” Keempat, “keberanian” atau “kegagahan iman”. Dan yang kelima adalah “kebanggaan Islam, yang memproklamasikan dan menegakkan Firman Allah.” Dan sebagaimana telah kita ketahui, “di zaman ini, memproklamasikan Firman Allah sudah tercakup dalam kemajuan materiel.”

Kemudian Nursi menyimpulkan bahwa karena dalam perjalanan menuju modernisasi yang sejauh ini telah dicapai Kekaisaran Usmani be-lum ada aspek-aspek peradaban yang bermanfaat yang telah dipetik se-lain “kejahatan dan ketidakadilan” yang “ditirunya”, maka kekaisaran ter-perosok ke dalam kekalahan sebagaimana ia alami pada saat itu. Karena ketidakadilan peradaban lebih kuat daripada manfaat yang bisa dipetik dari kemajuan itu, pada abad ini umat manusia mengalami perang yang berdarah dan mengerikan. “Insya Allah”, kata Nursi, “melalui kekuatan Is-lam di masa depan, kebajikan peradaban akan mendominasi, wajah Bumi akan bersih dari kekejian, dan kedamaian universal akan terwujud.”

Kemudian Nursi bertanya kepada hadirin: “Ketika ada cara dan ke-kuat an yang sedemikian ampuh dan tidak tergoyahkan bagi kemajuan materiel dan moral bagi kaum mukminin dan Muslimin, dan jalan

kebaha-giaan telah terbuka bagaikan sebuah rel kereta api, bagaimana bisa kalian merasa putus asa dan tidak berdaya menghadapi masa depan dan meng-hancurkan semangat juang dunia Islam? ... Karena dari sananya manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kesempurnaan ... kebenaran dan keadilan kelak akan menunjukkan jalan menuju kebahagiaan duniawi di Dunia Islam, insya Allah. Pada saat itulah kesalahan-kesalahan manusia yang terdahulu akan ditebus ... Seperti musim dingin yang diikuti musim semi dan malam yang diikuti pagi hari, umat manusia juga memiliki pagi hari dan musim semi, insya Allah. Semoga kalian mendapat rahmat Allah untuk menyaksikan peradaban sejati dalam kedamaian semesta yang ter-cipta berkat matahari kebenaran Islam.”58

Dengan lima “kata” lain khotbah tersebut, Nursi menunjukkan ke-pada hadirin bagaimana mereka bisa memberi kontribusi dalam mencapai peradaban sejati tersebut. Kelima “kata” tersebut sangat terkait dengan moralitas.

Kata kedua, menunjukkan adanya dampak destruktif dari rasa putus asa atau “penyakit berbahaya yang masuk ke dalam jantung dunia Is-lam.” Rasa putus asa itulah yang telah menghancurkan semangat kaum Muslim sehingga bangsa Eropa bisa menjajah mereka. Nursi mengajak bangsa Arab untuk tidak lagi berputus asa dan menegakkan “solidaritas dan kebersamaan sejati” dengan bangsa Turki, dan “mengibarkan panji Al-Qur’an di seluruh dunia.”59

Kata ketiga, “berkata benar” atau kejujuran. Kata Nursi, kejujuran ini merupakan dasar serta landasan islam, dan merupakan prinsip mendasar dari masyarakat Islami. Menurutnya, keselamatan hanya bisa diperoleh melalui kejujuran. Pada zaman dahulu, terkadang kita boleh berbohong. Namun karena kelonggoran ini disalahgunakan, maka sekarang hanya ada dua pilihan, bukan tiga: “Berkata benar atau diam”.

Kata keempat, ajakan kepada cinta kasih dan persaudaraan. Nursi mengatakan bahwa “yang paling pantas mendapatkan cinta adalah cinta, dan yang paling berhak dimusuhi adalah permusuhan.” Karena cintalah yang menjaga kehidupan bermasyarakat dan memberi kebahagiaan, se-dangkan permusuhan dan kebencian menghancurkannya.”60

Pada kata kelima, Nursi mengajak bangsa Arab untuk bekerja sama dengan bangsa Turki sebagai “para penjaga benteng suci bangsa Islam.” Kita sudah melihat bagaimana konstitusionalisme bisa mengembangkan

kesadaran akan rasa kebangsaan Islam di antara kaum Muslim. Di sini kita akan lebih mengetahui mengapa ia penting bagi Dunia Islam. Nursi menjelaskan kepada para pendengarnya bahwa pada masa kini perbuata n manusia, baik atau buruk, sering kali tidak hanya berdampak kepada pe-lakunya saja, tetapi dampaknya bisa dirasakan orang lain. Oleh karena itu, dia mengingatkan bangsa Arab agar melawan kemalasan, karena perbuat-an baik “bisa menguntungkperbuat-an jutaperbuat-an mukminin.”

Selanjutnya, Nursi mengingatkan kepada mereka akan tanggung jawab mereka sebagai guru dan pemimpin bagi yang lain, yaitu kaum atau kelompok-kelompok Muslim lain yang lebih kecil. Tanggung jawab ini telah mereka abaikan dikarenakan kemalasan. Pada saat yang sama, per-buatan baik mereka itu sungguh hebat, dan Nursi memprediksikan bahwa dalam waktu 40 atau 50 tahun, bangsa Arab yang sangat beragam itu akan “mendapatkan kedudukan mulia ... seperti yang dialami Amerika Serikat,” dan akan “berhasil dalam menegakkan pemerintahan Islam di separuh Bumi ini ... Jika tidak terjadi kemalangan yang mengerikan dalam waktu dekat, insya Allah generasi yang akan datang akan menyaksikannya.”

Namun demikian, Nursi segera melanjutkan: “Hati-hati saudaraku! Jangan mengira saya mendorong kalian untuk menyibukkan diri dengan politik. Jangan sampai! Kebenaran Islam lebih mulia dibanding segala ma-cam politik. Segala politik mungkin saja bisa melayani Islam, tetapi tidak ada politik yang bisa memperalat Islam untuk kepentingannya sendiri.”

Dan kemudian: “Dengan pemahaman saya yang cacat, saya mem-bayangkan masyarakat Islam saat ini dalam bentuk sebuah perusahaan yang berisi banyak roda dan mesin. Kalau satu roda tertinggal di belakang atau menabrak roda lain, yang merupakan kawan-kawannya sendiri, maka mekanisme mesin itu tidak akan berfungsi lagi. Maka, waktu yang tepat untuk persatuan Islam sudah dimulai. Kita tidak boleh mencari-cari ke-salahan sesama kita.” Nursi mengatakan bahwa supremasi Islam akan diperoleh melalui kemajuan materiel dan teknologi yang dicapai melalui persatuan dan kerja sama di antara berbagai komponen yang ada—yaitu, kelompok dan kaum—yang menjadi bagian dari Dunia Islam.

Kata keenam, atau unsur obat keenam yang diresepkan Nursi bagi Dunia Islam, adalah musyawarah demi kemaslahatan. Dia menggam-barkannya sebagai “kunci kebahagiaan kaum Muslim dalam kehidupan masyarakat Islam,” dan menekankan pada arti pentingnya sebagai dasar

kemajuan dan perkembangan ilmiah. Selain itu, dia juga menambahkan bahwa salah satu alasan keterbelakangan Asia adalah kegagalannya mem-praktikkan musyawarah. Kemudian dia mengatakan bahwa itu merupakan “kunci yang memperlihatkan Benua Asia dan masa depannya,” dan dia juga mengatakan bahwa “seperti halnya individu yang harus saling ber-musyawarah, bangsa-bangsa dan benua-benua pun juga harus bermusya-warah.”

Sebagai penutup, Nursi menjelaskan bahwa ketulusan dan solidaritas yang timbul dari musyawarahlah yang memberi makna bagi kehidup an dan kemajuan. Sebab, “tiga orang yang memiliki solidaritas sejati mung-kin bisa memberi manfaat bagi bangsa sebanyak manfaat yang bisa di-peroleh dari seratus orang. Banyak peristiwa sejarah yang menunjukkan kepada kita bahwa berkat ketulusan sejati, solidaritas, dan musyarawah, sepuluh orang bisa melakukan pekerjaan seribu orang.”61

Catatan Akhir

1. Nursi, Kastamonu Lahikası, 40.

2. Badıllı, Nursi, 1: 328.

3. Nursi, Kastamonu Lahikası, 121.

4. Dengan demikian, pada 1910 Nursi telah memprediksikan tersibaknya “tiga kegelapan” yang akan terjadi pada orang-orang Kaukasia dan Türkistan, yang terakhir akan terwujud pada 1991-92. Tersingkapnya tiga kegelapan ini bisa diartikan sebagai runtuhnya zaman Tsar Rusia, runtuhnya komunisme, dan berdirinya negara-negara Islam di kawasan tersebut setelah mendapat-kan kembali kemerdekaan mereka dengan runtuhnya Uni Soviet. Dalam bio-grafi Nursi tulisan Abdurrahman, dia mengutip seorang polisi Rusia yang mengatakan, “Kebebasan akan menyebabkan kalian [Kekaisaran Usmani] terpecah belah.” Untuk itu Nursi menjawab: “Kalianlah yang akan terpecah belah, dan saya akan datang untuk membangun madrasah saya di sini.” Li-hat Abdurrahman, Tarıhçe-i Hayatı, 34-35. Juga, dalam 1990, Bitlis dan Tiflis diproklamirkan sebagai “kota kembar”.

5. Nursi, Sünühat, 63-64. 6. Nursi, Damascus Sermon, 32.

7. Erdem, Davam, 193. Murid Nursi Ali Cavus mengatakan “sekitar enam bu-lan,” tetapi mungkin saja tidak selama itu.

8. Nursi, “Munazarat,” dalam Asar-i Bedi’iyye, 406. 9. Ibid., 407.

11. Ibid., 416. 12. Ibid., 417. 13. Nursi, Munazarat, 15-16. 14. Ibid., 17. 15. Ibid., 19. 16. Ibid., 18.

17. Nursi, “Munazarat,” dalam Asar-i Bedi’iyye, 410-11. 18. Şahiner, Bilinmeyen (edisi ke-6), 134.

19. Nursi, “Munazarat,” dalam Asar-i Bedi’iyye, 412. 20. Nursi, Munazarat, 46-47.

21. Risale-i Nur Külliyati Müellifi, 127. Konsep şahs-i manevi (kepribadian kolek-tif) memasuki pemikiran Usmani dari pemikiran Eropa melalui tulisan-tu-lisan Namik Kemal (lihat Mardin, Genesis of Young Ottoman Though, 333-34, 399-400); Nursi mengadaptasi gagasan itu untuk menyesuaikannya dengan pemikirannya sendiri.

22. Nursi, Munazarat, dalam Asar-i Bedi’iyye, 50-51. 23. Ibid., 22-23, 55.

24. Nursi, “Munazarat,” 416. 25. Nursi, Munazarat, 7-8.

26. Sebagai misal, dalam pidato yang dia berikan pada upacara pemakaman 50 prajurit Tentara Operasi yang tewas selama perebutan Istanbul setelah pem-berontakan 31 Maret 1909, “Enver Bey (Pasya) menekankan bahwa kaum Muslim [sic] serta orang-orang Kristen tergeletak berdampingan ... dengan demikian [mereka] sama-sama menjadi patriot yang tidak akan ada bedanya baik itu dalam hal agama maupun ras.” Pears, Forty Years in Constantinople, 282.

27. Öke, Yuzyılın Kan Davası, 141. 28. Nursi, Munazarat, 25.

29. Lihat J. McCarthy, Muslims and Minorities, Bab 1. 30. Shaw dan Shaw, History, 2: 202.

31. Nursi, Munazarat, 20.

32. Nursi, “Munazarat,” dalam Asar-i Bedi’iyye, 433. 33. Nursi, Munazarat, 20-21.

34. Ibid., 39-41. 35. Nursi, Rays, 202. 36. Nursi, Muhakemat, 73.

37. Nursi, Sikke-i Tasdik-i Gaybi, 153; Nursi, Kastamonu Lahikası 78-79. 38. Nursi, Muhakemat, 7.

40. Ibid., 8. 41. Ibid., 32. 42. Ibid., 34. 43. Ibid., 13-14. 44. Ibid., 112-13. 45. Ibid., 136.

46. Nursi, “Munazarat,” dalam Asar-i Bedi’iyye, 404.

Dalam dokumen Kelahiran dan Awal Masa Kanak-kanak (Halaman 138-149)